Kopdes Merah Putih, Koperasi Merpati Meluncur Kembali?


Presiden Prabowo Subianto berencana membentuk 70 ribu koperasi desa (Kopdes) dengan anggaran mencapai Rp 350 triliun. Rinciannya, Rp 3-5 miliar per unit koperasi per desa. Dana bersumber dari sejumlah pintu. Mulai dari Himbara, APBN, APBD, hingga Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Peluncuran akan dilakukan 12 Juli mendatang, bertepatan dengan Hari Koperasi Indonesia. Tak belajar dari masa lalu?

img-1741587246.jpg

Target pembentukannya, disebut sebagai upaya pemerintah untuk memperkuat ekonomi desa dan membantu mengentaskan kemiskinan di pedesaan melalui penyerapan produk-produk pertanian, peikanan,  dan hasi ternak daerah.

Koperasi diarahkan mampu membuka dan mengelola gerai sembako, gerai obat murah, apotek desa, kantor koperasi, gerai USP koperasi, klinik, cold storage hingga distribusi logistik. 

Koperasi desa dibentuk juga agar dapat menjadi penyalur bahan baku program Makan Bergizi Gratis (MBG). 

Pemerintah, seperti dikemukakan Wakil Menteri Koperasi Ferry Juliantono, berencana menggalang partispasi aktif dalam pendiriannya. Kementerian akan memberikan modul-modul pelatihan hingga penyusunan pengurus koperasi. Pengurus akan dilatih mengelola koperasi. Mencakup pengetahuan dan keterampilan dan model bisnis. 

Rencana pemerintah ini mendapat tentangan dari banyak pihak. Bahkan, kalangan Kepala Desa berencana melakukan demosntrasi besar jika gagasan Kopdes Merah Putih tetap dipaksakan untuk berjalan. Mereka keberatan, salah satunya, sebab di pedesaan sudah ada BUMDES yang lebih dulu eksis. Kebijakan Kopdes Merah Putih dikhwatirkan akan tumpang tindih dan menggagalkan program-program desa yang sudah berjalan.

 “Bagaimana kabar BUMDES? Apakah sudah ada evaluasinya? Sebaiknya jika mau tetap dibangun Kopdes Merah Putih, harus jelas evaluasi BUMDES, agar kejadian yang sama tidak berulang dimana setiap lima tahun ganti model bisnis,” papar Iman Pribadi, pegiat Indonesia for Cooperatives Consortium Innitiative.  

Bagaimana dengan BUMDes? “Sudah 10 tahun lebih BUMDes dibentuk dengan banyak uang negara, uang rakyat, yang diinvestasikan. Namun dampaknya sepertinya tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Perlu dievaluasi,” papar Suroto, praktisi koperasi.

Lebih satu dekade lalu, telah dikembangkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDES), yakni  badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh desa untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa. BUMDES ini dibentuk oleh pemerintah desa dengan tujuan agar kesejahteraan masyarakat desa meningkat lewat pendayagunaan semua potensi ekonomi, kelembagaan perekonomian, sumber daya alam, dan juga sumber daya manusia. Pendirian BUMDES ini berdasarkan pada kesepakatan antara pemerintah desa dan masyakat desa setempat yang dilakukan melalui Musyawarah Desa (MUSDES), sebagai pemegang kedaulatan tertinggi BUMDES Pendirian BUMDES dilakukan melalui musyawarah desa, yang kesepakatannya disahkan dengan Peraturan Desa, yang sekaligus merupakan pengesahan BUMDES . 

Untuk mencapai  tujuannya, BUMDES dapat membentuk unit-unit usaha, yang terdiri dari dua jenis. Pertama dalam bentuk Perseroan Terbatas, sebagai persekutuan modal, yang dibentuk berdasarkan perjanjian, dengan modal yang sebagian besar dimiliki oleh BUM Desa. Kedua berbentuk  Lembaga Keuangan Mikro dengan andil BUMDES sebesar 60 (enam puluh) persen, sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang lembaga keuangan mikro.

Menurut data Kemendes, per Desember 2018 sudah terbentuk sekitar 41 ribu BUMDES dari total 74.957 Desa di Indonesia. Berarti pada saat ini sudah 64 persen, bahkan mendekati 70 persen  desa-desa di Indonesia sudah punya BUMDES.

img-1741587314.jpg

Sebagai lembaga yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masarakat desa yang bersemangatkan kebersamaan, kekeluargaan dan gotong royong, yang tidak berbeda sama sekali dengan semangat yang disandang koperasi, BUMDES sama sekali mengabaikan bentuk koperasi sebagai sarana untuk mencapai tujuannya. Mengapa hal ini terjadi?

Kuat dugaan, mengapa BUMDES tidak menggunakan koperasi sebagai sarana untuk mencapai tujuannya, adalah karena “trauma”: terhadap kegagalan KUD di masa lalu yang telah  meninggalkan citra  buruk terhadap lembaga koperasi pada umumnya. KUD yang amat dimanja  oleh Pemerintah dengan berbagai fasilitas, dalam kenyataanya lebih banyak dinikmati dan disalahgunakan oleh segelintir pengelolanya, sehingga manfaatnya sama sekali tidak banyak dirasakan oleh  masarakat pedesaan. Akibanya KUD  ambruk satu demi satu setelah tiada lagi fasilitas dari Pemerintah.

Pernah eksis lebih dari 7.000 KUD, sekarang yang aktif tak lebih dari 150 KUD. KUD yang tersisa ini, kebanyakan tidak lagi melakukan kegiatan yang secara langsung berkaitan dengan sektor pertanian. Mereka mencoba survive dengan usaha layanan pembayaran rekening listrik, konter pulsa, layanan payment point online bank (PPOB), dan semacamnya. Ini pun sudah tergerus oleh usaha serupa yang dilakukan oleh minmarket dan warung-warung kecil yang juga masif di perdesaan. 

Sebelumnya KUD masih menghelat usaha inti (core business) berupa simpan pinjam, waserda atau toserba, sentra kulakan, peternakan, dan perdagangan umum lainnya. Usaha yang masih relevan dengan sektor pertanian ialah penggilingan padi (Rice Milling Unit), distribusi pupuk atau sarana produksi padi atau pertanian (saprodi/saprotan). 

Memang beberapa KUD yang tetap berkembang dengan baik, karena sejak sebelum menjadi KUD telah memiliki kegiatan usaha yang berhasil tanpa tergantung pada fasilitas Pemerintah, seperti persusuan, perikanan atau perkebunan.  

Akibat kegagalan KUD yang meninggalkan citra buruk terhadap koperasi,  BUMDES terkesan trauma dan kemudian alergi terhadap  bentuk  lembaga koperasi. Yang kemudian seringkali terabaikan adalah pertanyaan, mengapa KUD (dan juga koperasi lainnya) bisa gagal, padahal berbagai bentuk fasilitas telah terpenuhi? 

Sebaiknya Presiden Prabowo Belajar dari Nong Hyup

Di balik rontoknya KUD-KUD di Indonesia dan niatnya untuk membangun Kopdes Merah Putih, ada pelajaran berharga yang bisa diambil pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saat ini. Ada koperasi pertanian yang dikembangkan dalam waktu yang hampir bersamaan dengan perintisan KUD (1970an). Kondisi awal yang melatari sejarahnya pun tidak jauh berbeda, yaitu sama-sama dikembangkan “dari atas” (top down approach). Dialah Nong Hyup, koperasi pertanian kebanggan Korea Selatan yang jadi langganan jawara koperasi kelas dunia dan telah menjelma menjadi konglomerasi koperasi. 

Tidak jauh berbeda dengan proses pendirian KUD (1969/1970), pendirian NH terang-terangan dibangun dari atas oleh pemerintah Korea Selatan. Adapun pendirian KUD masih melalui proses pengembangan BUUD (Badan Usaha Unit Desa) dengan menyertakan para petani. 

Proses pendirian NH berbeda, didahului dengan membentuk induk koperasi pertanian, NACF (National Agricultural Cooperative Federation) pada tahun 1961. Dilanjutkan dengan mengembangkan koperasi-koperasi pertanian tingkat primer pedesaan dan koperasi pertanian tingkat sekunder di tingkat propinsi. Pembentukan koperasi-koperasi pertanian model ini bukan atas kemauan para petani, melainkan atas keinginan pemerintah sebagai sarana pembangunan ekonomi pedesaan. Walaupun sama-sama top down, dalam perkembangan selanjutnya kedua model koperasi pertanian tersebut menemukan progres bak langit dengan bumi. Ribuan KUD di Indonesia berguguran. Nong Hyup di Korea Selatan bermekaran dan reputasinya harum di level global.

Menurut pakar koperasi almarhum Djabaruddin Djohan, selama hampir tiga dekade KUD merasa “nyaman” menikmati fasilitas Pemerintah sampai “akhir hayatnya” (1998). Menerima akibat buruk sebab tetap tergantung pada Pemerintah. Tidak demikian halnya dengan NH. Merasa tidak nyaman selalu dikendalikan oleh Pemerintah, timbul kesadaran di kalangan petani, bahwa pengembangan koperasinya harus ditentukan oleh mereka sendiri. Pada tahun 1965 para petani anggota koperasi memprakarsai bangkitnya Gerakan Petani Baru dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran petani sebagai pelaku utama dalam gerakan koperasi. Dengan kata lain, mereka menyadari, bahwa status  kemandirian yang bebas dari intervensi dari luar sebagai prinsip yag harus ditegakkan dalam koperasinya, sebagai bentuk percaya pada diri sendiri (self confidence).  

Gerakan dari bawah tersebut semakin menemukan bentuknya, ketika terjadi perubahan sistem pemerintahan dari pemerintahan militer yang otoriter ke pemerintahan demokrasi pada tahun 1987. Pada saat itu, para petani anggota koperasi juga menginginkan berlakunya sistem demokrasi dalam manajemen NH. Oleh desakan dari bawah ini, NACF kemudian menyelenggarakan seminar, sejak pertengahan tahun 1987 hingga akhir tahun 1988. Hasilnya cukup fenomenal, undang-undang yang menyatakan bahwa pengurus NH yang ditunjuk oleh pemerintah dihapus, dan berdasarkan undang-undang yang baru para petani anggotanya dapat memilih sendiri ketua/pengurus koperasi primernya. Demikian pula Presiden/Ketua NACF yang semula ditunjuk oleh Presiden Korea Selatan atas rekomendasi Menteri Pertanian dan Kehutanan, berdasarkan undang-undang yang baru dipilih langsung oleh para ketua NH tingkat primer. Pemilihan pengurus secara langsung oleh anggota ini mulai dilaksanakan sejak 1990. Dari sini, Nong Hyup mencapai titik balik kemakmurannya.

Ketika dibentuk pada 1970an, KUD berjenis koperasi pertanian, yang hanya beranggotakan petani dan melakukan kegiatan yang berkaitan dengan sektor pertanian. Tetapi sejak 1973, KUD berubah menjadi Koperasi Serba Usaha (KSU) pedesaan, yang mengakomodasi kepentingan seluruh penduduk desa (tidak hanya petani) dan menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha yang tidak selalu berkaitan dengan sektor pertanian. 

Sebaliknya Nong Hyup, tetap konsisten dan fokus sebagai koperasi pertanian, yang melakukan berbagai kegiatan pelayanan yang berkaitan dengan kebutuhan anggotanya yang seluruhnya adalah petani. Diantaranya di bidang keuangan (perbankan, asuransi), pemasaran, sarana produksi dan lain-lain. Meskipun sejak 1989 NH membuka pintu bagi bukan petani untuk juga mendapat pelayanan sebagai associate member (anggota yang dilayani), tetapi orientasi kegiatan tetap pada berbagai usaha yang berkaitan dengan sektor pertanian.

Pendirian KUD-KUD kemudian diikuti dengan pendirian Pusat KUD (PUSKUD) di tingkat propinsi, dan Induk KUD (INKUD) pada tingkat nasional, yang juga mendapat fasilitas dari Pamerintah. Ketika fasilitas terhenti pada 1998 bersamaan dengan berlakunya  perdagangan bebas, keberadaan KUD tingkat sekunder dan nasional ikut terimbas. Untuk mempertahankan hidupnya, PUSKUD dan INKUD melakukan usaha apa saja, yang seringkali tidak ada kaitannya dengan kebutuhan petani. Sementara NH, yang semula  juga  memiliki 3 tingkat organisasi, demi efisiensi dan efektivitas pelayanan kepada anggota (petani) kemudian memangkas keberadaan tingkat pusat, yang kemudian dijadikan perwakilan tingkat induk (NACF). Hasilnya, praktis koperasi model ini hanya memiliki induk (NACF) dan koperasi primer.   

Pasca NH lepas dari kendali pemerintah sejak 1990, pemerintah bukannya lepas tangan, melainkan membantu memperkuat tanpa perlu mengintervensi. Hal ini tertera dalam konstitusi Republik Korea pasal 124 ayat (3) yang berbunyi: “pemerintah berkewajiban memperkuat organisasi mandiri para petani, nelayan, industri kecil dan menengah, serta harus menjamin kenetralan mereka dalam politik”. Selanjutnya, dalam Undang-undang Koperasi Pertanian pasal 11 dinyatakan tanggungjawab pemerintah untuk mendukung koperasi pertanian dan memberikan status hukum kepada mereka untuk melaksanakan berbagai kegiatan usaha tanpa hambatan dari undang-undang ini. 

Wujud dukungan pemerintah pada koperasi pertanian, antara lain dalam bentuk pemberian izin kepada Bank Koperasi Pertanian sebagai satu-satunya bank yang diberi hak untuk menyalurkan kredit sektor pertanian. Pemerintah juga memberikan perlakuan khusus dalam perpajakan kepada koperasi pertanian, misalnya untuk pajak pendapatan, kepada koperasi primer hanya dikenakan 10%, federasi koperasi nasional dikenakan 18-25%, sementara kepada perusahaan swasta dikenakan 18-32%. 

Serelah fasilitas pemerintah dihentikan, satu persatu KUD berguguran, kecuali beberapa KUD yang untuk bisa bertahan hidup harus menjalankan usaha apa saja, yang tidak ada kaitannya dengan sektor pertanian. Sementara NH setelah benar-benar terlepas dari kendali pemerintah pada 1990 bisa bergerak bebas mengembangkan usaha-usahanya dalam upaya melayani anggotanya. 

Status kemandirian NH berimbas pada tumbuhnya semangat untuk mengembangkan diri. Etos kerja orang Korea yang terkenal seperti kerja keras, fokus pada bidang pertanian, disiplin, gigih, pantang menyerah, memberikan dorongan yang amat kuat bagi keberhasilan pengembangan usaha-usahanya. Meliputi bidang  produksi, pemasaran, distribusi, serta jasa keuangan (perbankan dan asuransi). Fokus tetap pada pelayanan kepada anggota. 

Untuk melayani kebutuhan anggotanya di dalam negeri, NACF memiliki beberapa toko serba ada (department store), pasar swalayan (supermarket),dan pusat jajan makanan (food center). Untuk melayani kebutuhan keuangan anggota NH/NACF memiliki usaha perbankan dan asuransi. Bank-bank/NACF merupakan bank komersial terbesar nomor dua di antara 32 bank di Korea.  Sedangkan unit asuransinya, merupakan perusahaan asuransi terbesar nomor empat di Korsel, yang menawarkan 21 jenis asuransi jiwa dan tujuh asuransi non jiwa. Sedangkan pada  tingkat perdagangan internasional NACF pada 1990 mendirikan Korea Agricultural Cooperative Trading Co, dan membuka perwakilan di New York, (Amerika Serikat) dan Fokuoka, (Jepang) sebagai pusat pembeliaan barang-barang kebutuhan petani (Agricultural Product Shopping Center) serta untuk memasarkan hasil pertanian anggota.

Berfungsinya secara optimal aspek kelembagaan maupun aspek usaha koperasi pertanian Korea, tidak terlepas dari peranan pendidikan yang sejak awal pendiriannya sudah mendapat perhatian besar. Untuk melatih staf NACF maupun koperasi-koperasi primer anggotanya, pada tahun 1962 didirikan Agricultural Cooperative College, yang masih tetap berfungsi hingga saat ini.

Revitalisasi KUD Tak Terwujud

Pada tahun 2016, Menteri Koperasi dan UKM, Puspayoga  menyatakan akan menghidupkan kembali fungsi Koperasi Unit Desa (KUD) untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Pengelolaan koperasi akan didorong supaya lebih profesional. Kehadiran KUD- katanya, diharapkan mampu menjadi kepanjangan tangan Perum Bulog untuk membantu menyerap gabah yang dihasilkan petani. KUD juga akan didorong untuk melakukan fungsi- lainnya, yakni simpan pinjam dan penyaluran pupuk. 

Beberapa tahun sebelumnya (2009), Fakultas Pertanian UGM dalam suatu seminar yang juga bekerja sama dengan Kementerian Koperasi dan UKM, menyimpulkan, bahwa KUD perlu direvitalisasi, baik yang berkaitan dengan internal KUD maupun yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Untuk itu, dibutuhkan reformasi KUD sebagai lembaga ekonomi berparadigma baru yang mampu melindungi dan memfasilitasi usaha anggota dalam sistem bisnis dari hulu sampai hilir,

Hingga  hampir selesai masa tugasnya,  belum terdengar realisasi  pernyataan Menteri Koperasi dan UKM ini.  Apabila dilaksanakanpun, dengan rencana revitalisasi KUD dengan konsep sebagai kepanjangan tangan BULOG, bisa dipastikan akan mengalami nasib serupa dengan  yang dialami KUD seperti kisah awal keterpurukannya. Kemunduran sebagian besar KUD pada 1998, karena KUD tidak mampu bersaing dalam era perdagangan bebas, setelah tiada lagi fasilitas pemerintah.Dengan menjadikan KUD sebagai perpanjangan tangan BULOG, maka berarti  juga menjadikan KUD sepenuhnya tergantung pada BULOG. Ini berarti, jika fasilitas dari Bulog ini juga  berhenti, maka keberadaan KUD ini  dapat dipastikan juga akan berhenti. 

Bagaimanapun, jika ingin merevitalisasi KUD dengan serius dan berkesinambungan, cara kerja Nong Hyup Korea Selatan layak dijadikan acuan. Paling tidak semangat kemandiriannya harus benar-benar ditegakkan, semangat yang tidak tergantung pada siapapun dan apapun, kecuali  pada kekuatan anggotanya.

Fokus kegiatan koperasi  hanya ditujukan kepada sektor pertanian, baik yang meliputi sarana produksinya, proses produksinya, pemasarannya, bidang keungannya. Juga bidang pelatihan/pemndidikannya. Pengalaman masa lalu, di mana KUD dijadikan sebagai Koperasi Serba Usaha (KSU) yang mengerjakan segala macam bidang yang bisa dikerjakan asal menguntungkan, justru mengabaikan sektor pertaniannya.  Yang juga amat vital bagi keberhasilannya, adalah faktor etos kerja, yang berarti manajemen dan pengelolanya harus mau kerja keras, pantang menyerah, dan tentu juga harus profesional. Kebiasaan KUD di masa lalu yang serba tergantung pada fasilitas Pemerintah, harus ditinggalkan. (*/foto : bumdes air sebakul, bumdes sumber rejeki).

Kategori
NASIONAL

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar