Koperasi dan Perlindungan Kelompok Ekonomi Marjinal
Saat ini, peran koperasi kembali diuji sebagai "katup pengaman" ekonomi ketika sektor lain mengalami perlambatan akibat pandemi Covid-19. Sejumlah praktisi koperasi yang diwawancarai WartaKoperasi.net hari ini (15/4) mengemukakan hal itu. "Saat ini kami terus berikhtiar untuk menjadikan koperasi sebagai sentra solidaritas bagi anggota terdampak covid-19," papar Muhammad Arsady, pegiat Koperasi Banyumas. Ketua Gabungan Koperasi Pegawai RI Kalimantan Selatan HM. Yahya berpendapat, Koperasi Pegawai RI ttetap berdampak tapi tidak separah koperasi lain yang tidak memiliki basis anggota yang kuat. "Basis anggota dan SDM kalangan KPRI cukup bagus, juga punya pengalaman panjang dalam menghadapi krisis," papar Yahya.
Entitas gerakan koperasi pasti mahfum, cita-cita koperasi ini adalah untuk mewujudkan hubungan masyarakat global yang berperikemanusiaan dan berkeadilan (humanistic global community). Perbedaan mendasarnya seperti yang dinyatakan oleh Ian Macpherson (1994) sebagai : koperasi mengambil pandangan natural manusia secara optimistik dan percaya bahwa sejumlah besar orang (baca : rakyat banyak) dapat mengontrol persoalan ekonomi mereka.
Koperasi percaya bahwa sistem demokrasi dapat dipergunakan secara efektif di tengah pasar dan manfaatnya telah nyata. Koperasi percaya bahwa organisasi ekonomi itu harus inheren dalam tujuan sosialnya. Koperasi percaya pada fungsi integrasi dari struktur federasi untuk mempertajam tujuan ekonomi. Koperasi percaya bahwa “nilai lebih’ itu dapat didistribusikan melalui basis partisipasi.
Ya, kini pandemi Covid-19 menyerang di satu negara, maka salah satu dampak yang paling nyata adalah ekonomi. Apabila tidak tertangani dengan baik berpotensi menyebabkan kondisi chaos dan melebar menjadi masalah sosial dan politik.
Dalam situasi sedang dilanda wabah virus Covid-19 saat ini misalnya, orang menjadi takut tertular. Masyarakat akan mengurangi aktifitas dan bahkan mengunci diri. Aktifitas ekonomi menjadi berkurang atau bahkan mandeg dan aktifitas tertier atau tidak penting ditiadakan.
Dampaknya, secara ekonomi akan mudah sekali menyerang mereka yang berada dalam kelompok rentan. Mereka adalah yang tidak memiliki uang yang cukup untuk dibelanjakan, tidak memiliki persediaan makanan yang cukup dan tidak memiliki perlindungan sosial maupun kesehatan yang memadai.
Keselamatan mereka tidak hanya menjadi paling mudah terancam wabah penyakit, tapi juga terancam hidupnya karena kesulitan mencari sumber pendapatan.
Dalam konteks Indonesia, kelompok rentan itu seperti penganggur terbuka, sektor usaha mikro, pekerja informal/ outsourching, buruh tani dan lain-lain. Mereka menjadi rentan karena selama ini usahanya juga bersifat subsisten atau cukup hanya untuk bertahan hidup dengan penghasilan hari ini habis untuk hari ini juga. Tidak memiliki tabungan atau harta benda yang berarti untuk digadaikan atau yang lainya.
Di negeri ini mereka adalah jumlah yang dominan. Pengangguran terbuka sebanyak 5 persen atau 6,8 juta orang dari 136 juta angkatan kerja. Usaha mikro sebanyak 99,2 persen atau 63 juta jumlah pelaku usaha. Pekerja informal jumlahnya adalah sebanyak 74 juta orang atau 71 persen dari jumlah tenaga kerja kita. Buruh tani jumlahnya adalah 74 persen dari jumlah petani kita sebanyak 35 juta orang.
Sementara kita tahu,kondisi sosial ekonomi Indonesia saat ini dalam situasi yang sangat mengkhawatirkan dan dapat mengancam Keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan untuk menuju kondisi chaos sudah mendapatkan bahan bakarnya yang terbaik.
Menurut laporan lembaga riset bereputasi internasional Credit Suisse ( 2019), 82 persen dari 173 juta orang dewasa Indonesia hanya memiliki kekayaan di bawah 10.000 dollar amerika. Jauh diatas rata-rata dunia yang hanya 58 %.
Sementara itu, hanya 1,1 % dari orang dewasa yang memiliki kekayaan di atas 100.000 dolar amerika. Jauh sekali di atas rata-rata dunia yang angkanya hingga 10,6 %.
Kondisi ini menjadikan ketimpangan kekayaan atau Rasio Gini Kekayaan kita menjadi sangat tinggi sekali, yaitu 0,83. Diperjelas dalam laporan Suisse tersebut, hanya 1% kuasai 45 % kekayaan Indonesia.
World Bank ( 2020) menambahkan, 115 juta rakyat Indonesia dalam kondisi rentan miskin. Dimana bilamana ekonomi tergoncang sedikit saja, separuh warga kita langsung terjun bebas menjadi miskin. Kasus Corona ini dan juga gejala krisis konjungtur yang sudah dapat kita rasakan di awal tahun telah menyambut. Saat ini, niscaya angkanya mungkin bertambah.
Merajut Solusi
Dalam situasi seperti sekarang ini, solusi jangka pendeknya tentu fokus pada penanganan agar virus tidak merebak. Tapi secara ekonomi juga perlu dilakukan langkah penanganan yang penting juga secara simultan.
Pertama, perlu kebijakan alokasi fiskal yang langsung menyasar pada kelompok rentan. Seperti misalnya : mengalokasikan pendanaan langsung untuk pencegahan meluasnya wabah dan alokasi bantuan langsung bagi mereka yang menganggur baik dari pengangguran terbuka dan mereka yang kehilangan pekerjaan dan usahanya karena dampak wabah minimal untuk bertahan hidup selama 3 sampai 4 bulan.
Kedua, mengembangkan diskresi pajak lebih tinggi bagi seluruh kegiatan bisnis skala menengah dan besar dan pajak kekayaan orang dengan kepemilikkan asset di atas 1,5 milyard secara khusus untuk menanggulangi dampak ekonomi langsung dan dialokasikan langsung ke kelompok rentan.
Ketiga, mengajak seluruh bisnis yang masih wajib operasi seperti produsen bahan makanan dan jalur distibusinya untuk merekrut tenaga kerja temporer kelompok rentan tanpa syarat.
Keempat, membangun protokol khusus penanganan dampak ekonomi wabah dan memastikan kebijakan kelembagaan-kelembagaan pemerintah yang fokus di bidang sosial ekonomi tepat pada sasaranya.
Keempat tindakan di atas niscaya akan berdampak positif jika Pemerintah tegas dan semua elemen gerakan koperasi siap mem back up hingga ke level primer atau daerah. Gerakan koperasi perlu intens memberi tekanan secara intens kepada pemerintah untuk konsisten.
(PRIONO)
Komentar