Setelah 7 BUMN Bangkrut, Saatnya Dikoperasikan?
Menyusul perusahaan plat penerbangan plat merah Garuda Indonesia yang secara teknis disebut bangkrut, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, memastikan akan membubarkan tujuh perusahaan BUMN lain yang bernasib serupa. Garuda yang menunggak utang triliunan rupiah memang tengah ditambal di sana sini, tapi tujuh BUMN yang positif akan dibubarkan memang telah tidak beroperasi. Sejumlah pegiat koperasi menawarkan agar BUMN bisa dikoperasikan.
Tujuh BUMN yang akan dibubarkan itu adalah PT Industri Gelas (Persero) atau Iglas, PT Merpati Nusantara Airlines (Persero), dan PT Kertas Leces (Persero), PT Industri Sandang Nusantara (Persero), PT Istaka Karya (Persero), PT Pembiayaan Armada Niaga Nasional (Persero), dan PT Kertas Kraft Aceh (Persero).
Selain ketujuh BUMN di atas, BUMN lain kinerjanya disebut menyedihkan adalah PLN. Awal Agustus lalu, bahkan, area Jabodetabek, Jawa Barat, dan sebagian Jawa Tengah gelap gulita akibat listrik padam. Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai BUMN pemasok utama setrum di negeri ini, kesulitan mengendalikan manajemen bisnis hingga teknis. Direksi berulangkali diganti, baik karena dinilai gagal mengelola PLN, maupun skandal yang berakibat diseret Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke pengadilan.
Merespon hal itu, sejumlah elemen gerakan koperasi mewacanakan perlunya PLN dan sejumlah BUMN lainnya ‘dikoperasikan’. Tentu bukan hal mudah, meskipun di negara-negara maju, pengkoperasian perusahaan pemasok listrik yang semula dikelola negara, sudah lama berlangsung dan sukses.
Saat ini, model kepemilikan perusahaan di seluruh dunia sedang mengalami pergeseran drastis kearah yang lebih demokratis. Kepemilikan konvensional yang digerakkan investor (investor driven) mulai digeser dengan kepemilikan yang berorientasi bagi banyak pihak, baik itu pelanggan, pekerja, produsen, investor maupun pemerintah. Termasuk terhadap berbagai layanan jasa dan barang publik yang diselenggarakan oleh BUMN (badan usaha milik negara) kita selama ini.
Menurut praktisi koperasi Surata, BUMN yang seharusnya mengemban fungsi sebagai layanan publik (public service obligation) memiliki peranan strategis apabila dapat menjadi contoh bagi pengembangan model bisnis ini. Hal ini juga akan berkesesuaian dengan perkembangan era revolusi industri 4.0 yang sedang menggeser berbagai bisnis ke arah yang simplis (sederhana) terhubung dalam basis koneksi internet saat ini.
Dengan revolusi model kepemilikan BUMN ke arah kepemilikan multipihak juga bukan hanya akan menjadi pengemban fungsi sebagai penyelenggara layanan publik secara nyata, namun akan menjadi akselerator bisnis masyarakat yang sungguh-sungguh. Akan ada banyak manfaat strategis yang dapat dinikmati masyarakat yang selama ini de facto hanya menjadi obyek dari penyelenggaraan bisnis BUMN.
Model kepemilikan bersama oleh masyarakat luas akan menjadi tindakkan strategis bagi pembaharuan BUMN yang selama ini tempatkan masyarakat hanya sebagai pihak yang dilayani. Perubahan model kepemilikan ke koperasi publik ini akan jadikan masyarakat berperan membangun kemajuan perusahaan sebagai investor, perumus kebijakan langsung, produsen, serta konsumen loyal, karena basis kepemilikannya yang langsung melekat pada perusahaan.
Secara sederhana dapat digambarkan misalnya, dalam bisnis perbankan yang diselenggarakan oleh bank-bank BUMN selama ini. Apabila seluruh bank-bank yang ada ini diganti model kepemilikannya dari model perseroan yang berorientasi pada investor semata, kemudian berubah menjadikan seluruh nasabahnya sebagai pemilik dalam model koperasi, maka akan dengan sendirinya model itu menjadikan masyarakat semakin loyal pada bank tempat mereka menyimpan dan meminjam selama ini. Sebab, secara langsung seluruh keuntungan sebagai nilai tambah manfaat yang ada di bank ini akan menjadi nilai tambah bagi individu.
Demikian juga yang akan terjadi dalam berbagai sektor bisnis BUMN lain yang berjalan selama ini. Seperti misalnya di sektor pangan, industri pengolahan, telekomunikasi, asuransi, konstruksi, pengadaaan air, pengolahan sampah, perdagangan, pertambangan, pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, transportasi dan penggudangan dan lain sebagainya. Bisnis-bisnis ini apabila digeser kearah model kepemilikan koperasi maka akan berdampak strategis bagi masyarakat, dan apa yang disebut dengan makna yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai ‘dikuasai negara untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat’ akan benar-benar dapat diwujudkan.
Tidak hanya itu, dengan transformasi model kepemilikan yang bergeser dari model perseroan yang investor drivendan jadi perburuan rente para pemilik modal besar, kondisi tersebut akan terhenti dengan sendirinya. Sikap-sikap mental feodal dari para penyelenggara perusahaan BUMN selama ini pun akan berubah, karena seluruhnya akan berorientasi pada pelayanan lantaran posisinya tidak lagi hanya mewakili pemerintah namun langsung dari masyarakat luas.
Perusahaan-perusahaan ini juga akan berubah menjadi perusahaan yang ekologis dan humanis karena masyarakat bukan lagi menjadi obyek perusahaan melainkan akan menjadi pemegang kedaulatan penuh, dimana suaranya akan didengarkan dalam rapat pemilik perusahaan.
Dengan bergeser ke tangan banyak orang yang lebih demokratis dan bersifat multipihak, maka model opsi saham bagi kepemilikan buruh dalam model ESOP(employee share ownership plan) yang sebetulnya satu langkah lebih maju dari model kepemilikan konvensional saat ini juga telah dilampaui. Seluruh layanan BUMN juga akan terhindar dari berbagai bentuk komersialisasi dan komodifikasi layanan jasa dan barang publik yang selama ini sebetulnya sudah sangat merugikan masyarakat.
Dalam kasus model perbankan misalnya, model kepemilikan Desjardin Bank yang jadi bank milik nasabahnya adalah merupakan bank of the year di Canada dan Credit Populeir adalah merupakan model kepemilikan bank oleh nasabahnya yang sukses menjadi Bank of The year di Perancis. Koperasi Fonterra adalah merupakan model kepemilikan yang terbuka bagi peternak yang sukses menguasai pangsa pasar terbesar dunia dari New Zeland, dan masih banyak yang lainnya seperti misalnya NTUC Fair Price di Singapore dan lain sebagainya.
Kalau kita mau merujuk ke model di negara Amerika Serikat yang selalu kita tuduh sebagai model kapitalis juga mungkin kita semua akan kaget. Fakta mencegangkan ditulis oleh Profesor Gar Alperovitz di New Tork Times, 2011 lalu. Dia menyampaikan bahwa model kepemilikan demokratis yang masif di Amerika Serikat yang kita tuduh-tuduh gunakan konsep kapitalis, sekitar 130 juta orang Amerika, mereka menjadi pemilik dari perusahaan koperasi. Lebih dari 13 juta pekerja Amerika menjadi pemilik saham dari 11 ribu perusahaan. Bahkan 6 juta lebih menjadi pemilik perusahaan dari serikat pekerja. Model kepemilikan demokratis ini meliputi sektor perlistrikan, rumah sakit, ausransi, lembaga keuangan dan lain sebagainya.
Bagaimana dengan konsep kepemilikan perusahaan kita yang menganut sistem gotong royong dan sistem demokrasi ekonomi seperti disebutkan dalam konstitusi? Faktanya sungguh sangat menyedihkan. Model ESOP belum menjadi wacana, dan koperasi sengaja dikunci oleh berbagai regulasi dan ditaruh di belakang, di buritan. Kepemilikan perusahaan oleh negara atau BUMN masih sangat ortodoks, dan semua mengambil model badan hukum komersial perseroan, lalu ini dikunci dalam bentuk regulasi.
Kondisi Menyimpang
Sejak diterbitkannya UU No. 19 Tahun 2003, seluruh BUMN sebetulnya sudah tidak ada bedanya dengan usaha swasta lainnya. Mereka adalah korporasi pengejar keuntungan. Sehingga masyarakat dalam posisi sebagai obyek eksploitasi bisnis semata. Munculnya masalah protes buruh outsourchingyang gaji dan nasibnya tidak jelas dan jauh timpang dibandingkan pekerja BUMN, tetap merupakan salah satu dampaknya. BUMN-BUMN sebagai layanan jasa dan produk kebutuhan hajat hidup orang banyak menjadi bersifat komodikatif dan komersialitatif, sehingga masyarakat luas cenderung menjadi obyek eksploitasinya.
BUMN yang ada saat ini sudah menyimpang jauh dari konstitusi dan membahayakan perekonomian dan kemandirian bangsa. Selama satu dasawarsa lebih, BUMN telah terseret jauh menjadi kapitalistik, bahkan membuka keran bagi dominasi asing terhadap instalasi vital ekonomi negara.
UU dan produk regulasi turunannya itu keliru secara basis epistemologis. Undang-undang ini jelas bertentangan dengan asas demokrasi ekonomi karena pemerintah dan masyarakat kehilangan kendali terhadap perusahaan. Hal mana bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan karena justru mendorong pada penguasaan aset negara untuk segelintir orang dan akhirnya justru ciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi di masyarakat.
Pada tahun 2017, 143 BUMN membukukan keuntungan sebesar Rp 187 triliun. Sementara asetnya hanya sebesar Rp 7.200 triliun. Apabila dilihat dari sisi pasivanya, total liabilitiesatau utangnya Rp 4.825 triliun. Jadi nilai aset riel kita hanya Rp 2.375 trilyun. Secara solvabilitas, ini tentu sangat berbahaya karena nilai aset penjamin utangnya jauh di bawah. Jadi apabila sedikit saja alami masalah likuiditas maka seluruh aset BUMN yang ada, dapat lepas ke tangan investor perorangan.
Masyarakat awam selama ini banyak yang tidak tahu, kalau BUMN kita itu beberapa di antaranya tidak lagi dimiliki oleh negara secara de facto. BUMN yang ada saat ini tak ubahnya sebuah sapi perahan. Kalau merugi dianggap sebagai aktifitas in-efisiensi dan kalaupun berpotensi hasilkan keuntungan sudah dirampas oleh para kreditor. Sudah begitu, perusahaan yang sudah go publicpun ternyata kinerjanya banyak ditopang modal penyertaan dan dana penempatan dari pemerintah. Saham BUMN kita yang terdaftar di bursa efek sudah banyak yang terdelusi hingga 90 persen. Sebagian sahamnya yang dijual di pasar modalpun lalu dikuasai oleh segelintir orang dan bahkan dikuasai asing. Itu artinya kita sudah tidak bisa lagi mengendalikan apa yang kita miliki.
Menurut UU No. 19 Tahun 2003, secara redundant menyebut tujuan dari BUMN adalah untuk mengejar keuntungan (profit oriented) seperti disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (2), Pasal 2 poin b, Pasal 4, dan Pasal 12. Secara isomorfisBUMN jelas tidak cocok dengan korporasi yang berbadan hukum perseroan dimana basis filosofinya mengejar keuntungan. Ini jelas telah menyalahi UUD 1945 terutama pasal 33 yang menganut sistem demokrasi ekonomi.
Konsepsi Koperasi Publik
Konsep yang cocok sebetulnya adalah koperasi publik. Koperasi publik adalah bentuk koperasi yang melibatkan seluruh komponen baik perwakilan pemerintah, pegawainya, masyarakat pengguna jasanya yang dijamin dalam fungsi demokrasi yang benar-benar setara (equal). Konsep kepemilikan yang wajibkan berbadan hukum persero dalam UU BUMN adalah bentuk diskriminasi yang sesungguhnya bertentangan dengan pasal 28 D yang seharusnya memperlakukan seluruh badan hukum bisnis adalah sama.
Koperasi adalah sebuah badan hukum privat yang diakui oleh negara. Selain itu koperasi tujuanya adalah bukan untuk mengejar keuntungan (profit oriented) melainkan memaksimalkan manfaat (benefit oriented). Koperasi adalah bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi ekonomi sebagaimana prinsip sistem ekonomi konstitusi kita. Jadi, koperasi semestinya lebih besar peluangnya untuk dijadikan sebagai badan hukum penyelenggaraan BUMN ketimbang model Perseroan.
Kepemilikan demokratis koperasi ini juga akan berfungsi ganda. Selain mendatangkan layanan masyarakat secara langsung juga akan memberikan nilai tambah ekonomis dan sosial bagi masyarakat yang menjadi pemiliknya. Model koperasi yang menangani urusan layanan publik ini disebut sebagai koperasi publik yang dapat mewakili seluruh pemangku kepentingan (multistakeholder) yang merupakan salah satu model dari koperasi generasi baru.
Dari total BUMN kita yang sebanyak 143, ada baiknya mulai dipikirkan kearah pergeseran ke model kepemilikan koperasi ini. Sebut saja, misalnya dimulai dari konversi PT (Persero). PLN menjadi Koperasi Pubik Listrik (KPL). Andaikan BUMN yang satu ini dapat dikonversi menjadi milik masyarakat pelanggannya maka akan ada 80 juta masyarakat Indonesia yang menjadi pelanggannya berubah menjadi pemegang sahamnya. Dan, ini artinya akan ada peluang untuk mendorong masyarakat seluruh Indonesia untuk mendukung proses elektrifikasi dengan turut berinvestasi.
Secara perlahan, beban utang yang selama ini telah menyedot potensi keuntungan PLN akan dapat disubstitusi oleh bagian keuntungan dari para pelanggan-pemiliknya. Selain itu, dengan model kepemilikan pelanggan ini, seluruh masyarakat akan turut dapat mendorong agar perusahaan listrik ini menjadi lebih transparan dan akuntabel. Sehingga akan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Kita dapat membuat benchmarkdengan model kepemilikan perusahaan koperasi listrik di Amerika Serikat yang selama ini beroperasi di 51 negara bagian, seperti National Rural Electricity Co-operative Association (NRECA).
Berangkat dari analisa di atas, menurut saya perlu dilakukan kajian lebih dalam lagi atas kemungkinan koperasi sebagai alternatif badan hukum layanan publik yang demokratis. Demi partisipasi, transparansi, demokrasi, serta keberlanjutuan dari BUMN yang ada saat ini. Lebih dari itu, semua adalah upaya untuk mencapai keadilan sebagaimana diamanahkan oleh konstitusi kita.
(Priono)
Komentar