Ketika Dekopin Mengulang Sejarah..
Oleh : Djabaruddin Djohan
“Mereka yang tidak belajar dari masa lalu,
akan dihukum dengan mengulangi kesalahan yang sama”
George Santayana (Filosof Spanyol-Amerika,1863-1932)
- L’histoire se repete, ini adalah pepatah Prancis, yang terjemahan bebasnya adalah sejarah berulang dengan sendirinya. Apa yang telah terjadi di masa lalu yang telah menjadi kenangan atau sejarah, muncul kembali di kemudian hari. Biasanya, peristiwa yang terulang kembali kadangkala adalah sesuatu yang sebetulnya tidak kita harapkan, tetapi berulang dengan sendirinya.
Peristiwa yang terjadi di organisasi gerakan koperasi Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) sekitar 15 tahun lalu, misalnya, adalah peristiwa “perebutan“ pucuk pimpinan organisasi gerakan koperasi Indonesia, yang kemudian berulang lagi dengan motif yang kurang lebih sama, yaitu nafsu berkuasa yang tidak lagi terkendali, brerikut aktor utama yang juga sama.
Untuk mengetahui bagaimana konflik di tubuh gerakan koperasi Indonesia itu bisa terjadi, ada baiknya kita putarkan kilas balik peristiwa konflik sejak awal. Konflik sebenarnya sudah dimulai sejak 1993, yaitu pada awal kepemimpinan Dekopin di bawah Sri Edi Swasono, saat memasuki periode kedua.
Konflik terjadi antara Pimpinan Dekopin dengan Menteri Koperasi saat itu, Subiakto Tjakrawardaya. Pokok masalah terfokus pada fungsi Dekopinwil. Pihak Dekopin menghendaki Dekopinwil memiliki hak suara sedangkan pihak Menteri Koperasi menghendaki hanya Induk-Koperasi/Koperasi tingkat nasional saja yang memiliki hak suara. Ketika turun Keppres 1997 yang mengesahkan AD/ART Dekopin, ternyata hanya Induk Koperasi/ Koperasi tingkat nasional saja yang diberi hak suara, sehingga konflikpun terus berlanjut.
Pada 21 Mei 1998 pemerintahan Orde Baru tumbang. BJ Habibie naik tahta sebagai Presiden dan Adi Sasono diangkat sebagai Menteri Koperasi. Pak Menteri memprakarsai rekonsiliasi melalui Temu Nasional Koperasi (TUNASKOP) pada 22-24 Mei 1998, yang kemudian membentuk Tim Lima di bawah pimpinan Ibnu Soedjono. Tim ini bertugas menyusun AD/ART Dekopin, yang setelah tersusun disyahkan dengan Keppres tahun 1999. Tidak lama kemudian diselenggarakan Rapat Anggota Dekopin, yang memilih Nurdin Halid, politisi Golkar sebagai Ketua Umum periode 1999-2004.
Dalam Rapat Anggota (12-14 Juli 2004), Nurdin Halid terpilih lagi sebagai Ketua Umum Dekopin periode 2004-2009, tetapi sebagian Koperasi sekunder tingkat nasional dan Dekopinwil meninggalkan ruang rapat karena tidak setuju dengan keputusan rapat. Tiga hari setelah rapat anggota, Nurdin Halid ditahan sebagai tersangka korupsi yang kemudian harus menjalani hukuman selama 2,5 tahun.
Anggota Dekopin yang tidak setuju dengan pengangkatan Nurdin Halid sebagai Ketua Umum, kemudian membentuk Dekopin Tandingan di bawah pipinan Benny Pasaribu (Dekopin Asahan), sementara Nurdin Halid dari dalam penjara menunjuk Sri Edi Swasono sebagai Pejabat Sementara Ketua Umum Dekopin. Dalam upaya rekonsiliasi, Menteri Koperasi, Suryadarma Ali pada pada Desember 2005 menyelenggarakan Rapat Anggota Sewaktu (RAS), yang memilih Adi Sasono sebagai Ketua Umum Dekopin. Alhasil, terjadi dualisme kepemimpinan Dekopin, yaitu Adi Sasono dan Sri Edi Swasono yang mewakili Nurdin Halid.
Kubu Dekopin pimpinan Sri Edi Swasono yang tidak terima dengan penyelengaraan RAS kemudian menggugat di PTUN dan menang, sehingga setelah bebas, Nurdin Halid kembali memegang lagi tampuk pimpinan Dekopin.
Demikian kisah terjadinya konflik perebutan pucuk pimpinan Dekopin hingga membuahkan dua pimpinan sekaligus. Sayang, peristiwa yang sudah menjadi sejarah dan seharusnya kita lupakan ini, terulang lagi. Apakah peristiwa ini terjadi karena “ kita tidak belajar dari masa lalu, sehingga kita dihukum dengan mengulangi kesalahan yang sama” seperti dinyatakan oleh George Santayana, atau didorong oleh keserakahan untuk berkuasa yang tidak lagi terkendali, sehingga sekat-sekat ”malu”pun ditabraknya?
Mengulangi Sejarah
Pengulangan tragedi perebutan pimpinan Dekopin ini terjadi dalam Musyawarah Nasional (Munas) Dekopin yang diselenggarakan pada 11-14 November 2019 di Makassar. Dalam Munas ini Nurdin Halid kembali terpilih sebagai Ketua Umum untuk periode 2019-2024. Tetapi keterpilihan Nurdin Halid untuk periode ketiga ini tidak berjalan mulus. Pasalnya, sebagian peserta mempersoalkan keabsahan pemilihannya, yang dinilai melanggar Anggaran Dasar dengan mengubah pembatasan masa jabatan Ketua Umum Dekopin yang semula hanya dua periode menjadi tiga kali, semata-mata untuk memungkinkan Nurdin Halid bisa menduduki Ketua Umum Dekopin untuk ketiga kalinya.
Anggaran Dasar yang diubah dalam Munas Khusus ini adalah Anggaran Dasar yang disahkan dengan Keppres No 6/2011, sehingga perubahan Anggaran Dasar dalam Munas Khusus ini juga baru akan berlaku setelah disahkan dengan Keppres.
Sebagai kelanjutan dari kericuhan itu sebagian anggota Dekopin yang tetap berpegang pada Anggaran Dasar lama melakukan pemilihan kepengurusan Dekopin dan memilih Sri Untari Bisowarno sebagai Ketua Umumnya. Menurut Sri Untari, Ketua Fraksi PDIP DPRD yang juga Ketua Dekopinwil Jawa Timur ini, Nurdin Halid tidak punya legitimasi lagi untuk mengajukan pengesahan AD mengatasnamakan Dekopin. Karena dia terpilih tidak berdasarkan AD yang sah. Jadilah Dekopin memiliki dua Ketua Umum, Nurdin Halid dan Sri Untari, yang masing-masing tentu mengklaim dirinya paling berhak memimpin Dekopin.
Kontestasi kedua Ketua Umum Dekopin mulai menunjukkan babak baru setelah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menerbitkan pengakuan secara hukum terhadap kepengurusan Dewan Koperasi Indonesia yang dipimpin Dr Sri Untari Bisowarno, M.Ap. Pengakuan tersebut tertuang dalam surat pengesahan Kemenkumham cq. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang Undangan No. PPE. PP. 06.03-1017 tentang Pendapat Hukum yang mengesahkan keberadaan Dekopin Sri Untari.
Dengan demikian, Dekopin yang dipimpin Sri Untari dinyatakan sah. Direktur Jenderal Perundang-undangan Kemenkum HAM, Prof. Dr. Widodo Ekatjahjana, SH, M.Hum menyerahkan langsung surat pengesahan tersebut kepada Sri Untari. “Kita sudah sah jadi Dekopin yang diakui pemerintah, setelah memperoleh Surat Pendapat Hukum dari pemerintah. Jadi, kalau kemarin-kemarin kita disebut Dekopin SU alias Sri Untari, maka sekarang sudah sah jadi Dekopin,” ujar Sri Untari, menanggapi pengakuan secara hukum terhadap Dekopinnya oleh Kemenkumhan.
Menanggapi pengakuan secara hukum terhadap Dekopin Sri Untari oleh Kemenkumham, Tim Kuasa Hukum Dekopin Nurdin Halid sudah mengirim surat resmi yang meminta Dirjen Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM membatalkan pendapat hukumnya karena mengandung unsur cacat hukum, tidak sesuai fakta, sesat dan menyesatkan publik, serta merugikan Dekopin secara kelembagaan yang dapat merusak keutuhan organisasi Gerakan Koperasi Indonesia.“Harusnya Dirjen Perundang-undangan menggali informasi yang utuh, bersikap hati-hati dalam membuat suatu pendapat hukum, jangan sampai merugikan orang lain, tidak boleh gegabah dan tidak boleh berdasarkan informasi yang sesat serta menyesatkan,” kata Muslim Jaya Butar Butar, Kuasa Hukum Dekopin Nurdin Halid.
Belum diketahui, bagaimana respon Kemenkumhan terhadap surat Dekopin Nurdin Halid. Yang pasti, politisi Golkar yang cerdik ini akan berjuang mati-matian untuk bisa mendapatkan kembali kursi Ketua Umum Dekopin yang telah dinikmatinya selama belasan tahun. Dengan demikian, de facto, terdapat dua kepengurusan Dekopin, yaitu kepengurusan Nurdin Halid dan Sri Untari.
Menyedihkan, Memprihatinkan..
Sungguh prihatin jika mengikuti perjalanan Dekopin, khususnya sejak tahun 90-an yang sarat dengan pergolakan di kalangan elit kepengurusannya. Gelagat pengurusnya yang lebih sibuk mempertahankan dan menyelamatkan kedudukannya di pucuk pimpinan, menjadikan tugas utama untuk memperkuat kelembagaan serta usaha ekonomi anggota dalam koridor nilai dan prinsip-prinsip koperasi jadi terabaikan. Itulah kesan kuat terhadap organisasi gerakan koperasi Indonesia, yang baru saja melewati 73 tahun usianya.
Dekopin adalah organisasi gerakan koperasi, yang keberadaannya diakui oleh pemerintah melalui Anggaran Dasar yang disahkan oleh Presiden. Sebagai organisasi gerakan koperasi tingkat nasional yang diakui pemerintah, maka pucuk pimpinannya mempunyai akses yang luas dengan pimpinan lembaga negara. Dengan posisi yang sedemikian strategis plus alokasi APBN yang jumlahnya puluhan milyar rupiah, menjadikan pucuk pimpinan Dekopin menjadi sasaran perebutan oleh banyak pihak, termasuk para politisi.
Sejatinya bukan masalah siapapun yang menjadi pimpinan Dekopin, termasuk politisi, sepanjang dia paham benar masalah perkoperasian serta tugas utamanya untuk memperkuat kelembagaan dan usaha ekonomi organisasi-organisasi koperasi anggotanya dengan tetap berada dalam koridor jati dirinya. Bukan sekedar sebagai kendaraan politik, apalagi sebagai “sawah ladang”nya sembari beretorika seakan hendak menjadikan koperasi sebagai ”soko guru perekonomian nasional” atau “pilar negara” -- seperti selama ini sering kita dengar atau baca -- tanpa berbuat apa-apa untuk memperkuat koperasi-koperasi di akar rumput sebagai fondasinya.
Kunci untuk masa depan koperasi kita adalah apakah kita bersedia belajar dari kegagalan-kegagalan yang kita alami selama ini, jika tidak maka tunggu saja, “kita akan dihukum dengan mengulangi kesalahan yang sama”.(*)
Ctt : ARtikel adalah bagian dari tulisan dalam buku "Wajah Koperasi Indonesia (2)" yang akan segera terbit.
Komentar