ANDAIKAN PARA PENDIRI NKRI MENGAUDIT PERKEMBANGAN NKRI HINGGA SEKARANG, APA KESIMPULANNYA?

Oleh: Agus Pakpahan *)
Prolog: Ruang Audit yang Sunyi
Bayangkan sebuah ruang rapat tua. Bung Karno, Bung Hatta, Sutan Sjahrir, dan Mr. Soepomo duduk mengelilingi meja kayu. Di hadapan mereka bukan rancangan konstitusi, melainkan laporan tebal:
- Utang luar negeri Indonesia yang menembus USD 433,3 miliar (Rp 7.117 triliun).
- Statistik buruh migran: ±320 ribu orang sepanjang 2024, mayoritas bekerja di Hong Kong (33%), Taiwan (28%), dan Malaysia (20%).
- Grafik stunting: 19,8% balita Indonesia (±4,48 juta anak) masih tumbuh dengan gizi buruk.
- Peta deforestasi: Indonesia kehilangan 101 ribu mil persegi hutan tropis, menempati posisi kedua terparah di dunia.
- Grafik kontribusi manufaktur: merosot dari 28% (2001–2002) ke 18% (2023–2025).
- Rasio sarjana: hanya 10,2% penduduk dewasa Indonesia bergelar sarjana, jauh tertinggal dari Malaysia (28%), Thailand (27%), dan Korea Selatan (56,2%).
- Catatan kelam krisis politik-ekonomi 1998: negara harus mengeluarkan Rp 600 triliun untuk BLBI akibat konglomerat gagal membayar utang luar negeri, yang membuat Indonesia kehilangan kedaulatannya.
- Dan satu fakta yang mengejutkan: hingga hari ini, koperasi belum diakui sebagai rumpun keilmuan multidisiplin mandiri.
Bagian 1: Audit yang Membongkar Ilusi
Hatta: Pasal 33 yang Tergadai
Bung Hatta membuka map pertama:
“Dulu kita menulis: ‘Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.’ Kini, yang menguasai justru sertifikat HGU di tangan konglomerat. Nilainya Rp 118 triliun, tetapi rakyat mendapat apa? Banjir, kesulitan hidup, keterasingan di tanah sendiri, dan utang luar negeri yang menjerat masa depan.”
Bagian 2: Detransformasi—Kemunduran yang Disamarkan
Sjahrir: Deindustrialisasi dan Migrasi
Sjahrir menatap grafik manufaktur:
- 2001–2002: manufaktur menyumbang 27–28% PDB,
- 2023–2025: hanya 18% PDB.
Ia lalu menunjuk data buruh migran:
“Sepanjang 2024, ±320 ribu orang meninggalkan tanah air untuk bekerja di luar negeri. Mayoritas di Hong Kong, Taiwan, dan Malaysia.
Jika dibandingkan dengan angkatan kerja nasional (147 juta orang), jumlah itu memang hanya 0,2%, tetapi secara sosial adalah alarm keras: ratusan ribu orang setiap tahun mencari nafkah di luar negeri karena sistem domestik gagal menyediakan pekerjaan bermartabat.”
Bagian 3: Krisis Sosial-Ekologis dan Pendidikan
Soekarno: Generasi yang Terancam
Bung Karno menatap grafik stunting:
“Prevalensi stunting memang turun dari 21,5% (2023) menjadi 19,8% (2024), tetapi itu berarti 4,48 juta balita tumbuh dengan gizi buruk. Revolusi kita belum selesai jika anak-anak bangsa masih kehilangan masa depan sejak dalam kandungan.”
Soepomo: Hutan yang Hilang
Mr. Soepomo menunjuk peta deforestasi:
“Indonesia kehilangan lebih dari 101 ribu mil persegi hutan tropis, atau 22% dari total area. Di Batang Toru, Sumatera Utara, deforestasi mencapai 30% dalam lima tahun terakhir. Hutan yang seharusnya menjadi benteng kehidupan kini berubah menjadi ladang bencana.”
Hatta: Pendidikan yang Tertinggal
Bung Hatta menatap piramida pendidikan:
“Indonesia hanya memiliki 10,2% penduduk dewasa bergelar sarjana. Bandingkan dengan Malaysia (28%), Thailand (27%), dan Korea Selatan (56,2%). Bonus demografi yang kita banggakan rapuh jika rakyat tidak berpendidikan tinggi. Tanpa ilmu, mereka mudah tergadai: menjadi buruh migran, terjebak stunting, dan kehilangan hutan.”
Bagian 4: Krisis Kedaulatan—Pelajaran dari 1998
Sjahrir membuka catatan lama tentang krisis politik-ekonomi 1998:
“Negara harus mengeluarkan Rp 600 triliun untuk BLBI, karena para konglomerat gagal membayar utang luar negeri mereka. Dana itu bukan hanya menguras kas negara, tetapi juga dibiayai dengan utang luar negeri baru. Akibat fatalnya: Indonesia kehilangan kedaulatannya.”
Bung Karno menambahkan dengan suara berat:
“Kedaulatan suatu negara bisa hilang bukan hanya karena kalah perang, tetapi juga karena gagal membayar utang luar negeri. Tahun 1998 adalah bukti: kita tidak kalah di medan perang, tetapi kalah di meja utang.”
Bagian 5: Kooperatisasi—Jalan Pulang yang Terlupakan
Bung Hatta membuka arsip lama:
“Kita tidak perlu menciptakan sistem baru. Kita hanya perlu kembali. Koperasi bukan sekadar bisnis, tapi cara hidup—seperti pohon tropis yang akarnya saling menopang.”
Namun ia menambahkan dengan nada prihatin:
“Sampai hari ini, koperasi belum diakui sebagai rumpun keilmuan multidisiplin mandiri. Implikasinya sangat serius: belum ada sarjana koperasi di Indonesia, tidak seperti halnya sarjana pertanian, kesehatan, atau pertahanan. Padahal koperasi adalah sintesis ekonomi, sosial, hukum, teknologi, dan budaya. Tanpa pengakuan akademik, koperasi akan terus diperlakukan sebagai instrumen, bukan sebagai subjek ilmu dan sistem kehidupan.”
Contoh nyata hadir: Koperasi Kredit Keling Kumang di Kalbar, dengan aset Rp 3,2 triliun dan 230 ribu anggota, membuktikan bahwa ekonomi rakyat bisa tumbuh tanpa harus tergadai pada utang luar negeri atau eksploitasi hutan. Lebih nyata lagi perkembangan Koperasi Kredit Keling Kumang menunjukkan fenomena baru: perilaku koperasi kuantum yang lahir di pedalaman dengan 72% anggotanya petani. Tantangan untuk melahirkan ilmu pengetahuan baru berbasis model empiris.
Bagian 6: Laporan Akhir Audit—Pilihan di Tangan Kita
Para pendiri bangsa menutup rapat dengan kesimpulan yang mengguncang:
1. Kita Telah Menyimpang dari Pasal 33
HGU dijadikan komoditas finansial, utang luar negeri membengkak, amanah konstitusi berubah menjadi alat akumulasi modal.
2. Kita Sedang Memakan Masa Depan Anak Cucu
Setiap anak yang stunting, setiap hektar hutan yang hilang, setiap pekerja migran yang pergi, setiap generasi yang gagal kuliah, adalah tanda utang sosial-ekologis generasi mendatang.
3. Kita Pernah Kehilangan Kedaulatan
Krisis 1998 membuktikan: negara bisa kehilangan kedaulatan bukan karena perang, tetapi karena utang.
4. Kita Belum Mengakui Ilmu Koperasi
Tanpa pengakuan akademik, koperasi akan terus dipinggirkan. Padahal ia adalah jalan pulang yang paling relevan bagi bangsa tropis.
5. Tapi Masih Ada Waktu untuk Berbalik
Dengan Kooperatisasi dan Tropikanisasi, kita bisa membangun ekonomi yang mengakar pada realitas tropis Indonesia—bukan mengejar fantasi pertumbuhan yang menghancurkan.
Epilog: Pesan dari Ruang Audit
Bung Karno berdiri, suaranya bergema:
“Kami tidak meminta kalian kembali ke masa lalu. Kami meminta kalian menghidupkan kembali jiwa kami—jiwa yang percaya bahwa Indonesia bisa mandiri, bermartabat, dan berdaulat tanpa mengeksploitasi sesama dan alam.”
Bung Hatta menambahkan dengan tenang:
“Pilihannya sederhana: teruskan eksploitasi yang membunuh, atau mulailah Kooperatisasi yang menghidupkan.” (*)
*) Prof.Dr.Ir. Agus Pakpahan, Pakar Perkoperasian, Rektor IKOPIN University.
Komentar