PENGAWASAN KOPERASI KEUANGAN, SEBUAH UTOPIA?
Oleh : Dr. Ahmad Subagyo (Ketua Umum IMFEA)
Kedepan, akan seperti apa sistem pengawasan KSP kita?
Pertanyaan di atas menjadi teka-teki yang sulit dijawab. Terlebih dalam kondisi dunia pengawasan koperasi sektor keuangan yang problematis dan penuh ketidakpastian saat ini. Ibarat ‘maju kena mundur pun kena’.
Sebagai pengamat dan peneliti koperasi, penulis memiliki harapan dan mimpi tersendiri. Terlepas dari hiruk-pikuk dan tarik-menarik kepentingan terkait pengawasan Koperasi Simpan Pinjam (KSP/KSPPS), yang saat ini sedang berproses di Senayan.
Sejanak kita membuka catatan sejarah. KSP/KSPPS kita berkembang dan bertumbuh sejak era Orde Baru. Tak terhitung berapa banyak penduduk Indonesia dan warga negara ini yang mendapatkan layanan darinya. Baik sebagai pengelola maupun sebagai pengguna jasanya.
Koperasi yang menjalankan usaha simpan pinjam ini bertumbuh dalam habitat dan kondisi yang heterogen. Ada yang tumbuh dari basis kelompok pengajian atau entitas keagamaan lainnya. Ada yang muncul dari kelompok usaha, juga kelompok pedagang. Hadir di tengah-tengah industri dan pabrik melalui koperasi karyawan-pegawainya. Bahkan, ada juga yang sengaja didirikan oleh pengusaha kaya. Realitas keragaman ini, sangat mempengaruhi model bisnis yang akhirnya membentuk kultur yang spesifik. Termasuk di dalamnya adalah terkait cara koperasi menghimpun dana, cara menyalurkan, dan teknik mitigasi risikonya.
Fakta yang dapat kita temukan dan kita lihat, adalah cara koperasi dalam menjalankan usahanya untuk mencapai tujuan. Hal ini kemudian kita sebut dengan istilah “model bisnis”, dan telah berkembang lebih dari lima (5) Bisnis Model. Gambaran bisnis model koperasi keuangan ini, lengkapnya dapat dibaca dan diakses melalui www.ahmadsubagyo.com.
Keberadaan koperasi-koperasi dengan beragam model bisnisnya, juga telah menstimulasi terbentuknya komunitas dan perhimpunan di antara mereka. Mereka berhimpun dengan acuan kemiripan model bisnisnya. Sebagai contoh, Koperasi Kredit (Kopdit) akan tergabung dalam koperasi sekunder mereka yang kita kenal sebagai Pusat Koperasi kredit (PUSKOPDIT), juga Induk Koperasi Kredit (INKOPDIT).
Koperasi syariah juga akan mengelompok sesuai dengan karakternya. Bergabung dalam Koperasi sekunder, seperti Pusat Koperasi Syariah (PUSKOPSYAH) dan Induk Koperasi Syariah (INKOPSYAH). Begitu juga koperasi di kalangan pegawasi RI (PNS) yang tergabung dalam Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI). Di level sekunder, mereka bergabung dalam PKPRI dan di tingkat nasional bergabung dalam Induk KPRI (IKPRI).
Tak ketinggalan adalah usaha simpan pinjam tanggung renteng yang lazim dipraktekkan kalangan Koperasi Wanita (KOPWAN). Disamping mengelola Koperasi primer, mereka juga bergabung dalam Koperasi sekundernya (Puskopwan). Koperasi Unit Desa (KUD) yang tersebar hampir di seluruh kecamatan juga memiliki Pusat KUD (PUSKUD) yang berlokasi di tiap Provinsi, dan Induk KUD (INKUD) yang berkantor di Jakarta. Mereka bergabung dalam koperasi sekunder karena memiliki kesamaan dalam bisnis modelnya.
Bagi koperasi primer yang berniat bergabung dalam Koperasi sekunder, seringkali dituntut untuk memenuhi sejumlah persyaratan. Ketat atau tidaknya persyaratan yang harus dipenuhi koperasi primer agar dapat bergabung di sebuah sekunder, juga tergantung masing-masing koperasi sekunder.
Koperasi sekunder memang bekerja untuk mendukung dan melayani para anggota primernya. Memberikan pinjaman kepada anggotanya, menyediakan system informasi dan teknologi yang diperlukan anggotanya, memberikan penguatan kapasitas kepada para pengurus, pengawas dan anggota primernya dan layanan lainnya. Termasuk berbagi informasi/sharing data dan laporan keuangannya, demi meningkatkan mitigasi risiko bersama dalam menghadapi berbagai ancaman dan tantangan yang dihadapi oleh industri mereka. Dalam konteks ini, penulis sengaja menggunakan istilah “industri” mengacu pada “usaha yang sejenis”.
Proses pengawasan koperasi sebenarnya telah berjalan dengan sendirinya di dalam Koperasi sekunder itu. Mereka sangat mengetahui indikator-indikator kinerja kesehatan di organisasi mereka sendiri berdasarkan pada bisnis model masing-masing.
Lantas bagaimana jika saat ini koperasi primer kerap kita dapati mengalami kegagalan? Mengacu penelitian “koperasi gagal” yang penulis lakukan, ternyata hampir 99% dari mereka tidak tergabung dalam Koperasi Sekunder. Mereka berdiri sendiri. Dan salah satu karakter dari “OPEN LOOP” faktor utamanya adalah koperasi ini tidak mau bergabung dalam komunitas Koperasi yang ada. Faktor lain, koperasi primer (gagal) tersebut tidak diterima oleh Komunitas Koperasi yang ada.
Sebagai Peneliti, penulis juga ingin mendapatkan informasi, barangkali di antara pembaca ada yang dapat menginformasikan jika dari kedelapan (8) Koperasi gagal itu, disebut-sebut merupakan salah satu alasan adanya perubahan system pengawasan koperasi kita. Adapun koperasi gagal yang dimaksud adalah, (1) Koperasi Sejahtera Bersama, (2) Koperasi Indosurya, (3) Koperasi Lima Garuda, (4) KSP Pracico Inti Sejahtera, (5) Koperasi Intidana, (6) Koperasi Timur Pratama Indonesia, (7) Koperasi Jasa Wahana Berkah Santosa, (8) Koperasi Pracico Inti Sejahtera. Kedelapan koperasi gagal tersebut, tercatat mengakibatkan kerugian lebih dari Rp 26 Triliun. Ini belum termasuk (9) Koperasi Pandawa, dan (10) dan Koperasi Cipaganti. Apakah ada di antara mereka yang GAGAL itu tergabung dalam Koperasi sekunder?
Menarik dicermati, mengapa dalam UU Perkoperasian disebut istilah Koperasi Primer dan Koperasi Sekunder? Istilah yuridis dan tekstualnya dapat kita baca. Namun, penjelasan filosofisnya, tidak terungkap hingga saat ini. Itulah kebijakan para Begawan penyusun UU Perkoperasian waktu itu, yang dikenal berpikir jauh ke depan. Sayangnya, penerusnya di posisi regulator, gagal menangkap pesan itu. Sehingga koperasi primer cenderung dibiarkan berjalan sendiri (open loop) tanpa payung koperasi sekunder (APEX), yang sebenarnya menjadi mandat dalam membangun ekosistem Perkoperasian yang sehat.
Mungkin saja mereka tergabung dalam suatu ASOSIASI atau suatu Forum, namun asosiasi dan forum ini bukanlah Koperasi Sekunder yang memiliki kriterium persyaratan keanggotaan jelas dan mengikat. Itulah mengapa, dalam tesis tulisan yang Penulis ajukan, menyebutkan bahwa Sistem Pengawasan Koperasi memiliki tiga (3) TIER? Yaitu (1) Pengawas Koperasi dalam struktur organ kepengurusan-Tier1, (2) Keanggotaan dalam Koperasi Sekunder-Tier2 yang selama ini berfungsi sebagai APEX Koperasi, dan (3) Pengawas eksternal-Kemenkop UKM-Tier3.
Kegagalan pengawasan koperasi yang saat ini terjadi, sebenarnya lebih diakibatkan oleh kegagalan dalam membangun MODEL PENGAWASAN, yang seharusnya dilakukan sesuai dengan Budaya-Prinsip dan Model Bisnis Koperasi yang ada, plus system regulasi yang mendukung dan infrastruktur yang memadai.
Ada dua strategi pengembangan dan penguatan system pengawasan koperasi, yang saat ini dalam diskusus hangat, juga tarik ulur, dan belum jelas titik temunya.
a. Siapapun pengawas eksternal koperasi, ia harus tetap membangun pengawasan berbasis model bisnis koperasinya. Tidak mungkin Menyusun standar tunggal dalam penilaian Kesehatan.
b. Sistem pengawasan mandiri (tier1 dan tier2) menjadi prasyarat dalam system pengawasan koperasi ke depan.
Narasi dalam artikel kolom ini, terbuka atas kontra narasi dan pembuktian. Kalangan akedemisi dan peneliti dapat mengungkap lebih dalam lagi. Selain agar bermanfaat bagi para pengambil kebijakan (regulator) dan praktisi koperasi kita, juga agar Pengawasan Koperasi sektor keuangan tidak terdegradasi menjadi utopia. (*/pr)
Komentar