Pencanangan Pilot Project APEX LKM Jateng (Ikhtiar Membangun Ekosistem Sadar Mitigasi Risiko LKM dan Koperasi)
Oleh Dr. Ahmad Subagyo (Ketua Umum IMFEA)
Ada hal yang layak disyukuri di sela-sela
rangkaian kegiatan MUNAS IMFEA-I di Semarang, 10-11 Maret lalu. Yaitu, agenda soft launching pembentukan APEX LKM di
Jawa Tengah, yang akan menjadi Pilot
Project bagi IMFEA dalam program kerja 2023.
Dalam soft launching, hadir sejumlah pihak. Antara lain Pengurus Asosiasi LKM-LKMS Indonesia, anggota Komisi XI DPR RI Dr. H. Musthofa, Pembina IMFEA Dr. Nining A Susilo, Direksi BPR Agung Sejahtera selaku Bank jangkar, Direksi Pusat Investasi Pemerintah (Direktur Hukum dan Manajemen Risiko). Hadir juga perwakilan PT. Asuransi Takaful Umum Sutrimo (Research Development & Technical Group Head), CEO PT.Sarana Pasar Digital Rocky Tanumihardjo, COO OpenBank+ Ilham Joenoes, dan yang sangat memotivasi dalam acara Business Matching tersebut, adalah kehadiran Kepala OJK Kantor Regional 03 Semarang dan DIY Sumarjono.
APEX : Ikhtiar Mengayomi LKM dan Koperasi
Mengapa APEX (Yunani : pengayom)? Seperti diketahui, koperasi dan LKM selama ini tidak memiliki pengayom yang genuine berkenaan dengan risiko bisnis yang dihadapinya. Meliputi risiko likuiditas, risiko operasional dan risiko pembiayaan. Risiko likuiditas misalnya, merupakan risiko kritis yang dapat berakibat fatal dan mematikan.
Manakala nasabah/anggota penyimpan “GAGAL” menarik dana yang disimpan atau didepositokan ke LKM/Koperasi dalam suatu waktu, maka LKM/Koperasi akan menghadapi “RUSH” akibat hilangnya kepercayaan anggota/nasabah.
LKM/Koperasi sebesar apapun, ketika menghadapi “RUSH”, kecil sekali kemampuannya untuk bertahan. Karena pada hakekatnya, dana yang dihimpun oleh LKM/Koperasi sedang diputar dalam bentuk pembiayaan (kredit) kepada debitur/anggota peminjam, dan pada umumnya dana tunai yang tersedia tidak lebih dari 30%. Dengan kata lain, 70% lebih dananya sedang berputar (outstanding) di anggota lain yang meminjam. Kasus-kasus RUSH yang dialami oleh LKM dan koperasi sudah cukup banyak terjadi. Dengan nominal kerugian mencapai triliunan rupiah. Belum lagi kerugian berupa merosotnya TRUST publik terhadap reputasi LKM dan Koperasi, yang proses pemulihannya jauh lebih rumit dan kompleks.
Ada pertanyaan menarik, mengapa sejak KRISMON (Krisis Moneter) pada 1997 sampai saat ini, tidak ada Bank ditutup akibat “gagal bayar”? Jawabannya sederhana, karena Bank memiliki lender of the last resort, yakni Bank Indonesia (BI). Dalam konteks ini, BI berfungsi sebagai pemberi pinjaman kepada bank, yang dalam keadaan “darurat” demi menjaga likuiditas bank tersebut.
Masih segar ingatan kita dengan kasus Bank Century di awal 2000an. Bank yang nyaris kolaps akibat kesulitan likuiditas, menjadi terselamatkan karena ada bantuan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Tulisan ini tidak sedang mengulas argumen etis, ekonomis, dan terlebih dimensi politis, ihwal apa yang mendasari mengapa Pemerintah melalui BLBI menempuh kebijakan bail out.
Lebih urgen adalah menjawab pertanyaan, mengapa tak sedikit Koperasi yang mengalami gagal bayar alih-alih pulih melainkan (hampir seluruhnya) ambyar? Jelas sudah, salah satu faktor penyebabnya adalah karena Koperasi tidak memiliki Lender of the Last resort.
Efek domino akibat “gagal bayar” satu lembaga keuangan akan berisiko besar terhadap keberlangsungan lembaga tersebut secara massif. Kerusakan setitik yang berdampak katastropik.
Ibarat suatu kawasan agrikultur yang tidak memiliki “BENDUNGAN”, embung, dan sistem irigasi yang baik. Ketika air hujan dengan intensitas tinggi mengguyur kawasan tersebut, maka melalui bendungan debit air dapat diatur. Mekanisme irigatif berlangsung di wilayah-wilayah berisiko tersebut. Alhasil, banjir dapat dikendalikan dan terbebaslah wilayah itu dari resiko gagal panen dan kebanjiran.
Fungsi APEX, sejatinya tidak hanya sebagai Lender of the last resort. Melainkan juga berfungsi dalam ADVOKASI teknis, capacity building (literasi-edukasi-peningkatan SDM) dan akses pembiayaan.
Sistem kerja dan operasi APEX bersifat “ECOSYSTEM supporting” karena logika
kerjanya adalah SDM pengelola/pengurus yang memadai (kompeten) akan menghasilkan
tata-kelola yang baik. Tatakelola yang baik akan menghasilkan kepercayaan
publik, dan bermuara pada kemudahan dalam akses ke lembaga pembiayaan dalam rangka
penguatan permodalannya.
Pilot Project APEX LKM Jawa Tengah dan Output yang Diharapkan
Pilot project APEX LKM Jateng ini, sengaja tidak melibatkan terlalu banyak LKM demi mendapatkan LESSON LEARNED dengan variabel-variabel uji “success factor” yang terukur. Agar kelak dalam implementasi yang sebenarnya, faktor-faktor kelemahan dan kekurangan selama proyek percontohan ini dapat diperbaiki dan disempurnakan.
Adapun tahapan yang dilaksanakan selama pilot ini antara lain:
1. Pendataan Calon Anggota APEX
2. Penandatanganan MoU antara LKM/LKMS-KOMITE APEX dengan BANK JANGKAR (Soft Launching)
3. Pembentukan Komite APEX
4. Penetapan dan Pengesahan RKAT (Rencana Kerja)
5. Launching APEX KOPERASI/LKM
6. Pelatihan Upgrading Pelaksana APEX
7. Penguatan Permodalan Anggota APEX
Dalam penandatangan MoU soft launching APEX LKM dalam Munas IMFEA beberapa waktu lalu, melibatkan tiga pihak, yaitu (1) bank jangkar, (2) IMFEA, dan (3) Industri LKM/LKMS. Ada pembagian tugas dan peran dari masing-masing pihak. Antara lain, pihak yang akan menjadi koordinator APEX adalah bank jangkar, pihak yang akan memberikan pendampingan (bantuan teknis) adalah IMFEA, serta anggota APEX yaitu LKM/LKMS, akan aktif berpartisipasi dalam program-program APEX. Termasuk memanfaatkan fasilitas dukungan yang akan diberikan oleh Bank Jangkar dan pendamping.
Melalui Pilot APEX LKM ini kita dapat belajar, bagaimana lembaga keuangan membangun suatu ekosistem untuk melindungi dirinya (mitigasi risiko). Melalui perbaikan diri sendiri sebab sadar akan kebutuhan “tatakelola yang baik”, lalu ada insentif dengan “tatakelola yang baik” dan diakui oleh Lembaga Pemeringkatan. Bermuara pada terbukanya akses asuransi dan penjaminan dan dapat menyalurkan dana idle dengan lebih aman. Begitu pun sebaliknya, sewaktu-waktu dibutuhkan, ada standby loan yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah likuiditas Lembaga.
Harapan dari Pilot APEX LKM ini, kita sebagai anggota LKM dapat merasakan manfaat dan dapat belajar memahami bahwa “hidup bersama dalam kegotongroyongan” lebih nikmat dan nyaman dibandingkan dengan hidup “sendirian”.
Jika kesadaran dan pengalaman batin ini sudah dirasakan oleh LKM dan Koperasi, niscaya Pemerintah tidak perlu lagi “menyuruh dan memerintah” melalui instrumen regulasi (UU dan turunannya). Dengan kata lain, Pemerintah pun secara tidak langsung akan mendapatkan manfaat. Pada hakekatnya, Lembaga Keuangan Mikro (Koperasi dan LKM) memang akan solid dan kuat jika saling bekerjasama dalam mengatasi tantangan, problem, dan membangun ekosistem kondusif bersama-sama. Semoga! (*)
Komentar