Kenapa SHU Tetap Dipajaki?

Setelah sekian tahun berputar-putar dari satu diskusi ke diskusi, seminar ke seminar, akhirnya pemerintah bersedia menurunkan pajak bagi pelaku UMKM dari satu persen menjadi 0,5 persen. Buah usaha panjang dan pantang menyerah sejumlah eksponen gerakan koperasi. Perlu usaha strategis untuk menindaklanjuti. Salah satu targetnya, SHU dihapus sebagai obyek pajak dalam UU KUP.

Keberhasilan sejumlah eksponen gerakan koperasi dan usaha kecil memperjuangkan pengurangan pajak memang layak diapresiasi. Biarpun demikian, ini masih jauh dari selesai.“Perjuangan teman-teman akhirnya tercapai. Mesti berjuang lebih keras lagi agar Sisa Hasil Usaha (SHU) dihapus sebagai obyek pajak di UU KUP,” papar Suroto, pegiat koperasi yang juga salah satu inisiator gerakan koperasi untuk keadilan pajak. "Saat ini pemerintah telah mengajukan revisi tentang Undang Undang Perpajakan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sayangnya dalam draft yang diajukan belum mengakomodir kepentingan koperasi".

Padahal, pemberian distingsi bukan sekadar kebijakan "trade-off" dengan memberikan pembebasan pajak dalam waktu tertentu (tax holiday), peringatan pajak (tax breaks), dan subsidi yang ditanggung pemerintah. Jadi harus permanen perlu dihapuskannya pajak badan bagi koperasi. Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi ini tidak boleh dijadikan sebagai obyek pajak. 

Dalam istilah koperasi ini disebut 'economic patronage refund'. Pembebasan pajak itu adalah hak moral koperasi karena sistem koperasi itu sebetulnya sudah ikut menjalankan prinsip keadilan yang merupakan tujuan dari pajak.

Dalam urusan pajak untuk koperasi, UU Nomor 36 Tahun 2008 dinilai merupakan sebuah kemunduran dibandingkan dengan UU Nomor 7 Tahun 1983. Apalagi jika dibandingkan dengan negara lain. Misalnya di Singapura dan Filipina, di negara ini koperasi dibebaskan dari pajak badan. Bahkan diberikan banyak insentif misalnya dibebaskan dari bea masuk untuk impor barang modal. Jika koperasi di Indonesia tetap tidak diberikan distingsi maka daya saing koperasi akan melemah jika dibandingkan dengan negara lainnya.

Saat ini juga RUU Perkoperasian juga sudah masuk di DPR. Jadi momentumnya pas. Dua RUU yang diajukan ini mestinya sinkron. Dalam RUU, SHU koperasi mestinya dikeluarkan sebagai subyek pajak dan definisi koperasi harus disesuaikan dengan filosofinya yang benar agar tidak menjadi dasar yang salah seperti di UU yang ada sekarang. Jangan sampai di-judicial review lagi ke Mahkamah Konstitusi karena tidak memperhatikan hal-hal mendasar dan filosofis.

Sejak lebih dari tiga dekade silam, persoalan pajak koperasi belum benar-benar tuntas disepakati. Baik oleh pemerintah maupun kalangan gerakan koperasi sendiri. Setidaknya ada dua kutub Menurut Sekretaris Inkopdit FX Joniono, kalangan koperasi dan usaha kecil belum mendapatkan keadilan dalam hal pajak. "Koperasi dan usaha kecil saat ini terasa seakan digencet pajak". 

Joniono mengatakan, pajak final yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan dari usaha yang diterima, atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu. 

Beleid ini mengenakan pajak sebesar satu persen kepada pelaku UKM yang beromzet kurang lebih Rp 4,8 miliar setahun. Pemerintah, seharusnya memberikan insentif dan membebaskan pajak pada UKM. UKM dinilai telah memberikan sumbangan besar bagi perekonomian Indonesia dan penciptaan lapangan pekerjaan. "Kalau perlu, justru yang diberikan itu pembebasan pajak (tax free)," papar Joniono. 

Undang Undang No. 36 Tahun 2008 tentang PPh mengenakan PPh kepada badan usaha, termasuk koperasi  dinilai tidak adil. "Koperasi secara mendasar jelas berbeda dengan tujuan dari badan usaha yang mengejar keuntungan (profit company)". 

Sistem perpajakan ini bisa membuat koperasi dan UKM kehilangan daya saing. Sekretaris Umum Koperasi Trisakti, Mochammad Sobirin, mengatakan negara tetangga seperti Filipina, telah membebaskan pajak terhadap pendapatan koperasi yang berasal dari transaksi anggotanya.  

Lalu, ada juga Singapura yang membuat kebijakan di mana koperasi diminta memajaki dirinya sendiri dengan menyetorkan bagian keuntungan koperasi untuk membiayai kegiatan pelatihan, riset, dan pengembangan koperasi. "Dananya dikelola lewat mekanisme trust fund," kata Sobirin. 

Dia pun meminta pemerintah dan parlemen, agar merevisi regulasi pajak dan koperasi. Kalau perlu, kata Sobirin, perlu ada kebijakan khusus kepada koperasi dan UKM dalam bentuk paket kebijakan ekonomi. "Selama ini, belum menyentuh permasalahan koperasi dan UKM," imbuh Sobirin. Muncul kritik menyangkut berapa besar kontribusi koperasi dalam pendapatan nasional yang berasal dari pajak. PPH badan koperasi umumnya kecil sesuai volume usaha dan SHU koperasi. Juga pada PPH perseorangan dari tabungan dan SHU yang dibagikan. Beberapa koperasi produsen mungkin ada yang ekspor dan impor hingga kena PPN, mungkin tak sampai 10% dari jumlah penerimaan negara dari pajak. Masalah mendasar koperasi itu bukan karena beban pajak, tapi ada masalah lain.  Jika koperasi kelak bisa berlaku sebagai soko guru perekonomian maka penyumbang pendapatan negara dari pajak berasal dari koperasi dan para anggotanya.

Menyoal Asas perpajakan itu equal for all, dinilai kurang tepat. Keadilan tidak bisa diberikan dengan perlakukan hal sama terhadap sesuatu yang berbeda. Koperasi bukan bertujuan untuk keuntungan sedang korporasi jelas tujuannya untuk keuntungan. Struktur ekonomi yang timpang juga karena pajak diperlakukan secara sama kepada mereka yang super kaya dan mereka yang tidak berpunya dan juga perlakuan yang simplistis secara administrasi. Musti ada reforma aturan perpajakan untuk keadilan. Perjuangan masih panjang.(PRIONO/FOTO ISTIMEWA)

Kategori
NASIONAL

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar