Dua Tahun UU Omnibus Law dan Pesan (Koperasi) tak Sampai


Undang-Undang No.11 tahun 2020 tentang Ciptakerja (UU Ciptaker) resmi disyahkan 2 November 2020. UU Setebal 1.187 halaman itu, juga dikenal sebagai UU Omnibus Law. Dalam perjalanan Panjang penyusunannya, tak pernah sepi dari kontroversi dan pro-kontra. Entitas gerakan koperasi sempat berharap agar sejumlah hal bisa diakomodasi dalam (R)UU ‘Sapujagat’ itu. Bagaimana realitasnya kini?

Seperti diketahui, melalui sejumlah pernyataan di sejumlah media, Presiden RI Joko Widodo menyebut omnibus law sebagai visi besar yang harus bisa diwujudkan secara sinkron melalui semua kementerian dan lembaga negara.

Kementerian Koperasi dan UKM sempat membentuk tim beranggotakan pakar dan peneliti untuk melakukan kajian terhadap penyusunan draf Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, dan memastikan substansi yang masuk dalam Omnibus Law berdampak positif terhadap koperasi dan UKM.

Omnibus diharapkan mendorong kemudahan bagi masyarakat untuk mendirikan koperasi,” papar Teten Masduki dalam sejumlah kesempatan. Dalam pernyataan terpisah, Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Rully Indrawan mengatakan, draf Omnibus Law yang akan diajukan ke DPR benar-benar untuk melindungi kepentingan para pelaku koperasi dan UKM. "Idealnya nanti betul-betul untuk kepentingan ekonomi nasional, khususnya bagi pelaku UKM," katanya. “Sejak mereka memulai usaha dengan perijinan yang lebih mudah dan simpel, masalah pengupahan, hingga urusan pajak,” imbuh Rully.

Praktisi Koperasi Frans Meroga Panggabean menilai UU 'Sapu Jagat' akan berdampak positif bagi iklim usaha masyarakat dan bisa menjadi momentum gerakan ekonomi kerakyatan. " Pemerintah terlihat berkomitmen mempercayakan ekonomi kerakyatan sebagai tulang punggung transformasi ekonomi," kata Frans.

Para pelaku koperasi ingin UU Omnibus Law mengatur adanya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Koperasi. "Uang yang beredar di Koperasi saat ini mencapai Rp 600 triliun, ini adalah mata uang Indonesia dan milik warga negara Republik Indonesia berarti harus sama-sama dijaminkan. LPS Koperasi akan konkrit jadi bukti perlakuan setara dan buka kesempatan yang sama bagi Koperasi dan UMKM," ujar Frans.


Tiga hal mendesak perlunya LPS Koperasi dalam UU Omnibus Law, adalah pertama, LPS Koperasi akan menjadikan koperasi diperlakukan setara dan dimungkinkan akses pendanaan yang lebih luas sehingga dapat lebih terlibat aktif dalam inklusi keuangan masyarakat. Kedua, LPS Koperasi dapat difungsikan sebagai lembaga yang merilis kategori peringkat investasi Koperasi dan UMKM. Karena secara regulasi koperasi dimungkinkan untuk menerbitkan Surat Utang Koperasi (SUK) dan baru-baru ini pemerintah mendorong semakin banyak UMKM yang melantai di bursa.

Meskipun saat ini sudah ada PT Pefindo dan lembaga rating lain, masih diperlukan lembaga pemeringkat investasi khusus Koperasi dan UMKM karena karakter dan segmentasinya yang unik. Terakhir, adanya LPS Koperasi sebagai enforcement untuk meningkatkan kopetensi dan kredibilitas bagi Koperasi dan UMKM.

Momentum Keadilan Pajak Koperasi

Pakar Perpajakan, Yustinus Prastowo yang merupakan anggota tim pembahasan draf Omnibus Law mengatakan, momentum pembahasan Omnibus Law harus tegas membahas pajak UKM. "Jangan hanya untuk pajak usaha besar saja, melainkan juga mendorong perlakuan pajak bagi UKM juga," kata Yustinus.

Omnibus Law merupakan kesempatan emas memasukkan kebijakan pajak bagi koperasi dan UKM agar mendapat insentif. Harus ada perlakuan yang berbeda dibanding usaha besar, supaya UKM bisa berkompetisi. 

Yustinus mencontohkan, Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi, misalnya, masih menjadi objek PPh. Korporasi bisa mendapat pengurangan tarif, sementara koperasi tidak bisa. Maka, perlu relaksasi agar KUMKM bisa berkembang.

Sampai hari ini, persoalan pajak koperasi belum benar-benar tuntas disepakati. Baik oleh pemerintah maupun kalangan gerakan koperasi sendiri. Sejak tiga dekade silam, mengemuka setidaknya dua kutub pandangan dengan argumen masing-masing : perlukah koperasi mendapat pembedaan dalam pajak, atau persamaan seperti perusahaan lainnya. 

Bagi yang setuju perlunya pembedaan, adalah pendapat bahwa koperasi adalah sebuah entitas ekonomi yang berbeda. Koperasi memiliki nilai ‘adiluhung’ tapi diperlakukan secara semena-mena karena potensi dan kekuatannya. Dalam pusaran sejarah, koperasi seringkali dikooptasi, disubordinasi, sebagai elemen perangkat kekuasaan yang mengagungkan politik sebagai panglima.

Sejak kemerdekaan hingga sekarang, pelaksanakan Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, tak pernah steril dari orientasi politik penguasanya. Di masa Orde lama (1959-1965) gerakan koperasi digiring sebagai alat revolusi. Rezim berganti, di masa Orde baru (1966-1998) koperasi diposisikan sebagai instrumen mobilisasi massa dan proyek “pembangunanisme”. Koperasi-koperasi lantas terbangun. Tembok dan dinding lumayan megah, tapi fondasi keropos, sebab bukan dibangun atas prakarsa sendiri para anggotanya.

Bermacam fasilitas tumpah ruah. Mengucuri mulai Koperasi Unit Desa sampai Koperasi Pemuda. Rupa-rupa permodalan dan dukungan  infrastruktur, juga privilese. Tentu saja, aktivitas koperasi memang menggeliat riuh rendah. Sekaligus tercerabut dari akar dan substansi bagaimana koperasi yang sehat seharusnya berdiri. 

Fakta di lapangan juga jadi tambahan amunisi bagi yang menghendaki pembedaan pajak bagi koperasi. Ibarat pertempuran, Koperasi melawan Korporasi ibarat Belanda vs Indonesia di jaman revolusi fisik. Kalah persenjataan modern, manajemen angkatan bersenjata modern, dan pengalaman perang modern.  Koperasi kalah dalam banyak hal dibandingkan korporasi, terutama secara kuantitatif.

Sementara yang mengehendaki agar koperasi pajak disamakan, berpandangan bahwa koperasi adalah tangguh dan kuat sejak filosofinya. Maka ia tak butuh spesialisasi. Tak perlu previlese, termasuk dalam hal pajak.

Pegiat  koperasi kredit FX Joniono mengemukakan, kalangan koperasi dan usaha kecil belum mendapatkan keadilan dalam hal pajak. "Koperasi dan usaha kecil saat ini terasa seakan digencet pajak oleh pemerintah,". Joniono mengatakan, pajak final yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 46 tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan dari usaha yang diterima, atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.

Beleid ini mengenakan pajak sebesar satu persen kepada pelaku UKM yang beromzet kurang lebih Rp 4,8 miliar setahun. Pemerintah, seharusnya memberikan insentif dan membebaskan pajak pada UKM. UKM dinilai telah memberikan sumbangan besar bagi perekonomian Indonesia dan penciptaan lapangan pekerjaan. "Kalau perlu, justru yang diberikan itu pembebasan pajak (tax free)," papar Joniono.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis, Suroto, mengatakan bahwa Undang Undang No. 36 Tahun 2008 tentang PPh mengenakan PPh kepada badan usaha, termasuk koperasi. Menurut dia, pengenaan pajak koperasi itu tidak adil. "Koperasi secara mendasar jelas berbeda dengan tujuan dari badan usaha yang mengejar keuntungan (profit company)," kata Suroto.

Sistem perpajakan ini bisa membuat koperasi dan UKM kehilangan daya saing. Sekretaris Umum Koperasi Trisakti, Mochammad Sobirin, mengatakan negara tetangga seperti Filipina, malahan telah membebaskan pajak terhadap pendapatan koperasi yang berasal dari transaksi anggotanya.

 Lalu, ada juga Singapura yang membuat kebijakan di mana koperasi diminta memajaki dirinya sendiri dengan menyetorkan bagian keuntungan koperasi untuk membiayai kegiatan pelatihan, riset, dan pengembangan koperasi. "Dananya dikelola lewat mekanisme trust fund," kata Sobirin.

 Dia pun meminta pemerintah dan parlemen, agar merevisi regulasi pajak dan koperasi. Kalau perlu, kata Sobirin, perlu ada kebijakan khusus kepada koperasi dan UKM dalam bentuk paket kebijakan ekonomi. "Selama ini, belum menyentuh permasalahan koperasi dan UKM," imbuh Sobirin.

Muncul kritik menyangkut berapa besar kontribusi koperasi dalam pendapatan nasional yang berasal dari pajak. PPH badan koperasi umumnya kecil sesuai volume usaha dan SHU koperasi. Juga pada PPH perseorangan dari tabungan dan SHU yang dibagikan. Beberapa koperasi produsen mungkin ada yang ekspor dan impor hingga kena PPN, mungkin tak sampai 10% dari jumlah penerimaan negara dari pajak. Masalah mendasar koperasi itu bukan karena beban pajak, tapi ada masalah lain.  Jika koperasi kelak bisa berlaku sebagai soko guru perekonomian maka penyumbang pendapatan negara dari pajak berasal dari koperasi dan para anggotanya.

Menurut Suroto, tax free untuk pajak penghasilan badan karena itu hak moral koperasi yang berwatak sosial. Ikut menciptakan keadilan sebagai fungsi pajak itu sendiri. Pajak-pajak orang pribadi yang posisinya stagnan justru yang harus digenjot oleh negara sebagai bentuk didikan demokrasi partisipatorik.

Menyoal Asas perpajakan itu equal for all, dalam pandangan Suroto, merupakan asas yang salah. Keadilan tidak bisa diberikan dengan perlakukan hal sama terhadap sesuatu yang berbeda. Koperasi bukan bertujuan untuk keuntungan sedang korporasi jelas tujuannya untuk keuntungan. “Struktur ekonomi yang timpang juga karena pajak diperlakukan secara sama kepada mereka yang super kaya dan mereka yang tidak berpunya dan juga perlakuan yang simplistis secara administrasi. Musti ada reforma aturan perpajakan untuk keadilan”.

Mengutip review Koperasi Trisakti, perpajakan memang suatu lembaga yang sudah sangat tua, setua dengan tumbuhnya sistem kekuasaan. Penguasa memerlukan biaya dalam bentuk pajak untuk menunjang kegiatan pemerintahannya dan hal itu dapat dilaksanakan dengan menggunakan kekuasaan. Pada awalnya sistem pajak itu bersifat “memaksa”, alasanya karena pada dasarnya secara alamiah orang itu tidak suka membayar pajak. Ada yang dilakukan dengan cara tidak melaporkan dengan sebenarnya mengenai penghasilan, melakukan tindakkan penghindaran pajak (tax avoidence atau tax evasion) dan lain sebagainya.

Agar orang tidak merasa “dikuliti”, pemerintah juga gencar melakukan promosi serta jargon-jargon pembayar pajak yang taat sebagai patriot, warga negara yang baik, turut berpartisipasi dalam pembangunan serta melalui upacara-upacara pemberian penghargaan kepada wajib pajak yang taat. Termasuk melalui pengambilan kebijakan-kebijakan trade-off bagi dunia usaha dengan memberikan pembebasan pajak dalam waktu tertentu (tax holiday), peringanan pajak (tax breaks), subsidi (ditanggung pemerintah), dan sampai dengan pembebasan pajak (tax free).

Masyarakat saat ini mulai menyadari betapa penting fungsi pajak itu bagi pembangunan. Bagaimana agar program-program yang memerlukan biaya bagi peningkatan kesehatan, pendidikan, pembangunan infrastruktur dan lain sebagainya itu dibutuhkan biaya yang musti dipenuhi secara mandiri melalui pajak. Namun perlu disadari bahwa sistem pajak itu tetap penting untuk mengacu pada salah satu prinsipnya, yaitu untuk keadilan. Termasuk didalamnya adil bagi subyek pajak, penentuan obyek pajak, dan penetapan besaran tarifnya serta cara-cara pemungutan dan pembayaran pajaknya.

Tanpa dipahami secara mendalam hakekat dari makna nilai keadilan ini dalam sistem pajak, maka sudah barang tentu bukan tidak mungkin pada akhirnya akan menimbulkan pertentangan-pertentangan yang seringkali justru kontraproduktif bagi tujuan pembangunan itu sendiri. Kepastian hukum dalam bentuk peraturan-peraturan yang mengatur hak dan kewajiban wajib pajak musti jelas dan demikian juga dalam kaitanya dengan keadilan, kemampuan membayar (ability to pay) juga musti diperhatikan.

Dalam kaitanya dengan masalah pajak, bagi koperasi di Indonesia masalahnya adalah sangat mendasar. Pengertian penghasilan di koperasi sebagai organisasi yang tidak mengejar keuntungan (non profit organization) tidak diletakkan pada dasar pemahaman yang bersifat filosofis. Sehingga pengaturan hukumnya akhirnya tidak diberikan distrinsi yang memadai. Apa yang terjadi justru sebabkan pajak berganda (double tax ) di koperasi. Pajak terhadap koperasinya dan juga anggota individunya. Koperasi yang telah lakukan distribusi secara adil dalam pendapatan dan kekayaan kehilangan hak (moral) nya untuk dibebaskan dari pajak.

Sedangkan usaha-usaha kecil (termasuk sebagian besarnya koperasi) bahkan dapat perlakuan disinsentif bagi proses pertumbuhan ekonomi dan pemerataannya dengan diterapkanya sistem pajak final. Sementara, bagi mereka usaha-usaha besar yang selama ini justru telah menerima berbagai priveledge dari pemerintah, diberikan pengampunan pajak (tax amnesty), pembebasan pajak(tax holiday) dan bahkan pembebasan pajak (tax free).

Kini, dari RUU Koperasi hingga RUU PPSK

Rancangan Undang Undang Perkoperasian yang disemangati oleh UU Ciptaker, akhirnya intens dibahas. Lagi-lagi, seperti UU Ciptaker, juga mencuatkan pro-kontra di kalangan gerakan koperasi.

Seperti diketahui, Kementerian Koperasi dan UKM melansir Draft Rancangan Undang Undang (RUU) Perkoperasian pada pada 5  September 2022 lalu. Seperti dikemukakan Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM Ahmad Zabadi, RUU tersebut rencananya rampung penyusunannya Oktober lalu. Namun, hingga bulan November memasuki pekan kedua saat ini, belum didapat perkembangan lebih lanjut. 

Pakar perkoperasian dan ekonomi mikro Dr. Ahmad Subagyo, misalnya, menelisik sejumlah pasal dalam RUU Perkoperasian yang dinilainya perlu dicermati entitas gerakan koperasi. Terkait Pengertian Koperasi, misalnya, menurut Subagyo tidak ditemukan perubahan berarti dibandingkan dengan UU No. 17 tahun 2012 yang diamandemen dan tidak berlaku lagi. Terkait Definisi Koperasi, RUU Perkoperasian 2022 juga menabalkan Koperasi sebagai Perkumpulan Orang.

 

Pasal 1 Pengertian Umum. Tidak ditemukan pengertian Koperasi Multipihak. Sementara dalam bagian (BAB) RUU tersebut terdapat pasal yang menyebut Koperasi Multipihak (Pasal 85). Idealnya, perlu dirumuskan secara jelas Pengertian Koperasi Multipihak,” ujarnya.

 

Lebih lanjut, terdapat perubahan mendasar terkait kedudukan (status) koperasi. Dari semula sebagai Badan Usaha berubah menjadi Badan Hukum (bab III pasal 7). Hal ini sudah sesuai dengan kebutuhan legal entity saat ini.  Sudah selayaknya Koperasi menjadi badan hukum yang sejajar dengan badan hukum yang lain. Perseroan, misalnya. Hal ini guna mendukung Koperasi terkait kepemilikan hak privat dalam  kepemilikan asset.Fakta hingga saat ini, asset-aset koperasi seringkali diatasnamakan Pengurus atau Pengawas. Situasi demikian berpotensi menimbulkan konflik dan merugikan koperasi terkait hak  kepemilikan tanah (hanya HGB). Ini berakibat pada turunnya nilai asset,” terang Subagyo.

 

Dalam pasal tentang status dan badan hukum Koperasi, sebaiknya juga menyebut tambahan pasal tentang jenis Koperasi. Bisa terdiri dari (1) Koperasi Konvensional dan (2) Koperasi  syariah. Mengingat ke depan Koperasi syariah memiliki potensi untuk berkembang.

 

“Lalu Pasal 63, Pengurus dan Pengawas koperasi berdasarkan RUU “..tidak harus dari  anggota koperasi”.Dapat diangkat dari para professional berdasarkan Rapat  Anggota. Hal ini jelas tidak sesuai dengan  Prinsip Koperasi ke-3 yaitu Democratic member control, kritik Subagyo.  

 

Pasal 8 Bentuk Koperasi. Pada ayat 2, bentuk koperasi dibagi menjadi dua, yaitu (1)  koperasi primer dan (2) Koperasi sekunder. Sementara dalam pasal 85 disebutkan adanya (bentuk) koperasi multipihak. Dengan demikian, sebenarnya Koperasi multipihak itu merupakan bentuk koperasi (kelembagaan) ataukah bentuk usaha? Jika merupakan bentuk koperasi, maka idealnya koperasi multipihak menjadi bagian dari pasal 8 (2).

 

Ditambahkan, Pasal-Pasal tentang Pengurus (Pasal 46-55) dan Pengawas (56-62) memuat terlalu detail terkait tugas dan fungsi Pengurus dan Pengawas. Idealnya pasal-pasal di atas memuat dimensi umum terkait Pengurus dan Pengawas. Dalam Pasal-pasal itu, misalnya, tercantum Tugas Pengurus memelihara buku daftar Anggota; buku daftar Pengawas;  buku daftar Pengurus; buku daftar Iuran Pokok dan Modal Anggota; risalah  Rapat dan seterusnya. Ini lebih baik diserahkan ke internal koperasi untyui mengaturnya. Atau jika ada kekhususan yang perlu dielaborasi, cukup melalui PP atau Peraturan Menteri (Permen).

 

Terkait Bab Permodalan, Penggunaan istilah IURAN dalam PERMODALAN (EQUITY) KOPERASI pada bab tersebut, akan sangat berdampak terhadap perkembangan dan perubahan  PERKOPERASIAN ke depan. Selain istilah itu mengandung makna “VOLUNTARY”, istilah tersebut juga tidak dikenal dalam istilah perkoperasian dunia. IURAN akan  memisahkan “yang meng-IUR” dengan “nilai iurannya”. Artinya, orang akan sesuka hati mengeluarkan iuran berapapun jumlahnya kepada koperasi dalam pembentukan permodalannya. Jika istilah itu tetap dipergunakan, justru akan menurunkan semangat kewirakoperasian. Dalam Praktek Koperasi Dunia (kecuali di Indonesia), hanya dikenal istilah share atau saham dalam kepemilikan koperasi. Adapun yang khas pada koperasi dibandingkan perusahaan non koperasi, besaran saham koperasi tidak  berpengaruh terhadap hak suara dalam pengambilan keputusan. Bab VI Pasal 67-79 tentang Permodalan, juga terlalu rinci. Baiknya diturunkan dalam regulasi yang lebih rendah dari UU atau sepenuhnya jadi diskursus internal koperasi”.

 

Setali tiga uang dengan RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK), yang dijuluki sebagai Omnibus Law Keuangan, juga memanen kritik dari beragam kalangan. Dan suara dari gerakan koperasi, termasuk paling kencang. Apa pasal? Entitas pegiat koperasi protes keras dengan masuknya Otoritas Jasa Keuangan. Menilainya sebagai bentuk intervensi internal koperasi.

 

Sejumlah pegiat koperasi simpan pinjam (KSP) dan entitas pegiat koperasi lainnya, bahkan terang-terang “kampanye” menolak RUU PPSK. Mereka menemui Manteri Koperasi dan Parlemen untuk mengadukan kegalauannya.

 

Pakar perkoperasian yang juga anggota Tim Perumus RUU Perkoperasian Dr. Ahmad Subagyo, mengemukakan, Regulasi yang kosong dalam pengawasan sangat mendesak untuk segera diisi, karena tanpa dasar regulasi yang kokoh, penguatan terhadap KSP/USP tidak akan pernah terjadi dan yang terjadi justru sebaliknya akan menambah deretan panjang korban-korban KSP gagal. Waktu yang tepat dalam RUU Omnibus Law ini, negara hadir dengan memberikan mandat kepada Pemerintah untuk melakukan pengawasan kepada KSP/USP kita.

Dipaparkan Subagyo, selama ini fungsi pengawasan dijalankan oleh Kemenkop UKM sesuai dengan kebijakan pemerintah, namun dalam perjalanan dan proses pengawasan yang terjadi, hasilnya dapat kita lihat sendiri, ternyata fungsi-fungsi fundamental pengawasan kurang berjalan sebagaimana mestinya. “Saya tidak perlu menjelaskan di mana sisi kelemahan dan kekurangannya, namun secara garis besar dapat dikatakan bahwa (1) pengawasan berjalan (tanpa) dukungan regulasi yang kuat, (2) SDM Pengawas belum terlatih dan kompeten, (3) teknologi pengawasan yang masih manual, dan (4) anggaran yang tidak memadai,” ujarnya.

Sisi yang lain, KSP juga tidak sedikit yang memainkan peran pseudo keanggotaan, yang mana KSP semestinya melayani hanya kepada anggotanya saja dalam prakteknya melayani masyarakat umum. Inilah faktor kunci sebenarnya yang menyebabkan koperasi gagal. Anggota tidak terlibat dalam pengendalian organisasi koperasinya. Pengelolaan dan pengambilan keputusan dilakukan hanya oleh segelintir orang “kunci” tanpa sepengetahuan dan persetujuan anggota. Sehingga dana yang jumlahnya tidak sedikit dapat dengan mudah dipindahkan ke entitas lain secara illegal. 100% koperasi gagal akibat tindakan orang “kunci” karena tata-kelola yang lemah menjerumuskan kepada BANKRUPT. Koperasi-Koperasi yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip perkoperasiannya jarang bahkan tidak ada yang GAGAL,” terang Subagyo.

“Saya berharap, Pemerintah memiliki Otoritas Pengawas Koperasi (OPEK), pemikiran ini juga menjadi jamak bagi perumus lainnya. Dalam konsep Otoritas Pengawas Koperasi (OPEK), pemerintah semestinya memiliki Lembaga yang berfungsi melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap Koperasi Simpan Pinjam (KSP/USP). Melalui Lembaga ini pemerintah dapat mendesain pengaturan dan pengawasan sesuai dengan karakter dan jati diri koperasi.

Proses politik RUU Perkoperasian masih harus melewati perjalanan yang agak panjang, di sisi lain RUU P2SK yang mengambil bagian pengawasan KSP/USP menjadi salah satu pasal yang sangat krusial. Jeda waktu tunggu RUU Perkoperasian masih belum jelas, namun pengawasan KSP/USP kebutuhannya sudah di depan mata. “Akankah OJK akan mengambil peran fungsi pengawasan ini terhadap KSP/USP?

Menurut Subagyo, sebaiknya diupayakan semaksimal mungkin pengawasan koperasi di atur oleh UU Perkoperasian dengan memandatkan Lembaga Independen Pengawasan Koperasi dalam pengawasan eksternal KSP/USP. Namun, jika pengawasan tetap dimasukkan dalam RUU P2SK dan memandatkan pengawasan koperasi kepada OJK, maka OJK perlu membentuk tim di luar struktur yang saat ini ada (tidak masuk dalam Direktorat Pengawasan Bank dan tidak masuk juga dalam IKNB). OJK juga harus  membentuk Direktorat sendiri yang memahami karakter dan prinsip-prinsip Koperasi serta instumen pengawasan yang dilakukan disesuaikan dengan standar perkoperasian. Tidak semua KSP/USP masuk dalam pengawasan OJK hanya Koperasi skala menengah besar (KUK III dan KUK IV) saja yang masuk dalam pengawasan OJK.

Berikutnya, koperasi diklasifikasikan ke dalam dua model besar yaitu (1) CLOSE LOOP, dan (2) OPEN LOOP. Koperasi yang menjalankan kegiatan usaha dan operasionalnya berbasis pada close loop berada dalam pengawasan Kemenkop UKM, sedangkan KSP/USP yang menjalankan kegiatan usahanya masuk dalam kategori OPEN LOOP, maka masuk dalam pengawasan OJK.

“Saya melihat arah kebijakan yang akan diambil oleh Pemerintah dan DPR sedang menuju pada peran OJK untuk mengambil fungsi pengawasan KSP/USP.  Barangkali yang perlu diperhatikan bahwa pengawasan kepada koperasi MUSTAHIL dilakukan jika berbasis pada ONE FIT FOR ALL, satu model aturan digunakan untuk seluruh model bisnis KSP/USP.  Bagaimana mungkin menyamakan penilaian untuk Koperasi berbasis tanggung renteng yang tidak ada agunan fisik akan disamakan dengan model bisnis kuasi bank yang berbasis kolateral (misalnya)”.  Contoh sederhana penghitungan kualitas aktiva produktif di perbankan, Ketika ada kredit tanpa agunan maka Bank harus mencadangkan risiko sejumlah total pinjamannya, maka KSP berbasis tanggung renteng akan habis dana tunai-nya karena digunakan untuk pencadangan (PPAP-nya). Ini baru satu parameter indicator penilaian Kesehatan, bulam indicator lainnya.  Inilah tantangan besar yang harus di hadapi oleh Gerakan Koperasi sekaligus OJK ke depan.

Pertanyaan lebih lanjutnya adalah Ketika pengawasan dilakukan oleh OJK, apakah KSP/USP akan mendapatkan layanan ekosistem yang sama dalam mendukung mitigasi risiko kelembagaan dan proteksi terhadap nasabahnya (anggotanya), seperti akses terhadap biro kredit, akses terhadap LPS, akses terhadap penjaminan dan seterusnya?  Kita akan lihat bagaimana Pemerintah akan membela golongan yang lemah dan menerapkan keadilan bagi para pelaku usaha di negeri ini?”.

Proses pembahasan RUU Koperasi dan RUU PPSK memang mulai mendekati finish. Publik gerakan koperasi perlu mendapatkan kejelasan informasi terkait tahapan proses dan issue-issue penting terkait pembahasan kedua RUU itu. Jika tidak, maka sejak awal para praktisi koperasi akan memasuki lorong berliku, gelap, dan belum jelas akan berujung kemana. (PRIONO)   

Kategori
WARTAUTAMA

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar