Bisnis Simpan Pinjam Koperasi Diawasi OJK, Seberapa Perlu?


Masih maraknya kasus-kasus koperasi gagal bayar, ditengarai mendorong Pemerintah mempercepat pengawasan yang lebih dalam melalui Otoritas Jasa Keungan (OJK). Memang benar, sejak awal tahun ini saja, misalnya, dunia perkoperasian heboh dengan kasus koperasi simpan pinjam (KSP) gagal bayar yang nominalnya mencapai Rp 8,6 triliun! Ditambah kasus-kasus serupa yang menyusul kemudian, dalam kurun waktu dua tahun, total nominal kerugian akibat KSP gagal bayar menembus Rp 20 triliun! Adapun catatan OJK, dalam sepuluh tahun terakhir, kerugian masyarakat akibat pembiayaan illegal dan investasi bodong mencapai Rp 117 triliun.

Rencana pelibatan OJK dalam pengawasan koperasi, tak serta merta mendapat dukungan. Pasalnya, koperasi-koperasi yang menbgalami fraud dan gagal bayar, serta koperasi yang menawarkan investasi tak masuk akal, merupakan koperasi yan tak menerapkan prinsip-prinuisp dan tatya kelola koperasi yang benar.

Bahkan sejak satu dekade silam, para pelaku koperasi simpan pinjam sudah keberatan atas perintah Undang-undang Koperasi No. 17 Tahun 2012 bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan terjun langsung memonitor operasional koperasi sejenis di Indonesia. Namun, regulasi ini otomatis gugur setelah gugatan judicial review oleh sejumlah entitas gerakan koperasi dikabulkan oleh MA.

Merespons permasalahan gagal bayar di sejumlah koperasi, di awal 2022 telah dibentuk Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Koperasi Bermasalah oleh Kementerian Koperasi Usaha Kecil dan Mikro (KUKM) bersama Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kejaksaan Agung, dan Polri. Tujuannya, untuk mempercepat pengaduan gagal bayar yang terjadi dalam koperasi.

Langkah ini seiring dengan uapaya pembenahan koperasi, terutama KSP(PS) yang dilakukan oleh Kementerian KUKM. Pada 2021, misalnya, Kementerian KUKM menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Nomor 09 tahun 2021 tentang Pengawasan Koperasi serta Permen Nomor 49 tahun 2021 tentang Perizinan Usaha Berbasis Risiko Simpan Pinjam sektor Koperasi.

Permen Pengawasan Koperasi memuat empat klasifikasi koperasi yang disebut Klasifikasi Usaha Koperasi (KUK). KUK mengacu pada sejumlah komponen : jumlah modal sendiri, asset, dan jumlah anggota. Pengawasan disesuaikan dengan KUK tersebut dan modelnya mirip dengan skema pengawasan perbankan, yang juga membuat klasifikasi bank. Pertanyaannya, kenapa langkah-langkah tersebut terkesan belum bergigi mencegah adanya KSP(PS) gagal bayar? Itukah yang akan dijadikan pintu masuk OJK?

Hadi Suryadi, Ketua II IKPRI, juga tak sepakat jika OJK “masuk” ke internal koperasi yang memiliki unit bisnis simpan pinjam untuk melakukan pengawasan. “Jika untuk mengawasi KSP-KSP bermasalah, silakan saja. Baiknya tidak perlu kewenangan (pengawasan) itu ke koperasi-koperasi yang yang memiliki unit usaha simpan pinjam. Lebih baik memperkuat kelembagaan dan kapasitas pengawasan internal koperasi,” papar Hadi yang dihubungi Warta Koperasi di kantornya, Selasa (19/7). 

Senada Hadi, Presdir Koperasi BMIGrup Kamaruddin Batubara mengatakan, sejatinya yang perlu diperkuat dalam koperasi adalah pengawasan internal. “Subyek yang paling penting adalah anggota. Ada tiga fungsi di sana, yaitu (anggota) sebagai pemilik, pengawas, dan pengguna,” tegas Kamaruddin. 

Dalam kesempatan terpisah, Iwan Rudi Saktiawan, pengamat koperasi dan keuangan mikro berpendapat, langkah-langkah pemerintah (Kemenkop UKM) di atas, ternyata tidak bisa mengantisipasi permasalahan muncul kembali. “Ada persoalan fundamental, sehingga kebijakan yang bagus di tingkat pusat tidak bisa dilaksanakan secara efektif di lapangan. Dengan demikian, meskipun kasus yang saat ini akan selesai dengan adanya Satgas Penanganan Koperasi Bermasalah, namun potensi adanya KSP(PS) yang gagal bayar masih besar peluangnya untuk terulang kembali,” papar Rudi.

Untuk itu, imbuh Rudi, perlu dilakukan review atas kondisi Dinas Koperasi dan UKM (Dinkop-UKM) di kabupaten/kota dan provinsi. Dengan kebijakan otonomi daerah yang diberlakukan saat ini, sering terjadi mutasi pada tingkat Dinkop-UKM baik kabupaten/kota maupun provinsi, terutama pada kepala dinasnya. Umumnya mutasi terjadi ketika ada pergantian kepala daerah.

Dengan kondisi tersebut, kapasitas sumber daya manusia di Dinkop-UKM menjadi kurang optimal. Tidak jarang, Dinkop-UKM diisi oleh orang yang sama sekali baru di dunia perkoperasian, sehingga yang bersangkutan masih harus belajar dari awal kembali. Selain itu, dengan seringnya orang berganti, pengawasan dan penanganan KSP(PS) bermasalah menjadi tidak efektif. Bisa jadi permasalahan suatu KSP(PS) sebenarnya sudah dalam proses penyelesaian, namun kemudian menjadi tidak tertangani hanya karena ada pergantian orang.

Bagaimanapun juga, Dinkop-UKM di kota/kabupaten dan provinsi adalah ujung tombak pelaksanaan dari Kementerian KUKM. Sehingga sehebat apapun kebijakan di tingkat pusat, akan tidak ada maknanya bila tidak bisa dijalankan dengan baik di tingkat provinsi dan kota/kabupaten. Persoalan ini (mutasi-rotasi SDM di Dinkop-UKM) tidak bisa diselesaikan dengan hanya mengubah sistem dan mekanisme organisasi di sektor koperasi-UKM saja. Ini merupakan kebijakan nasional tentang otonomi daerah, yang karenanya untuk mengubahnya perlu mengubah sistem pemerintahan Indonesia secara keseluruhan.

“Solusinya adalah dengan mengubah hal fundamental terkait dengan pengawasan KSP(PS) yaitu mengalihkan pengawasannya ke lembaga negara yang memang didesain untuk mengawasi jasa keuangan atau LK yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dengan demikian, untuk perizinan badan hukum tetap ke Kementerian KUKM, sedangkan untuk izin usaha dan pengawasannya oleh OJK,” papar Rudi.

Ihwal pengawasan, selain simpan-pinjam dan pembiayaan, ada juga koperasi yang berusaha di bidang retail, produksi (dengan berbagai jenis produk), dan lain-lain. Merupakan hal yang sulit dan berat bila semua jenis usaha harus dikuasai dan diawasi oleh Kementerian Koperasi. Selain itu, untuk apa adanya kementerian/lembaga (K/L) yang lain bila semuanya ditangani oleh Kementerian KUKM?

Masih menurut Rudi, pengalihan pengawasan aspek usaha jasa keuangan kepada OJK memiliki beberapa keunggulan. UKM bisa lebih berdaya lagi, karena Dinkop-UKM bisa lebih fokus ke pemberdayaan UKM dan koperasi non simpan pinjam. Ini berdampak positif; selain meringankan, Dinkop-UKM juga KSP(PS) akan lebih berkualitas karena UKM anggota KSP(PS) terbina dengan baik.

Selain itu, OJK memiliki kultur pengawasan LK yang sudah terinternalisasi dengan baik serta memiliki jalur komando yang tegas dari tingkat pusat hingga daerah. OJK memiliki SDM yang terhindari dari mutasi sebagaimana yang terjadi di Dinkop-UKM.

Mungkin ada kekhawatiran bila KSP(PS) diawasi oleh OJK, pemberdayaan UKM yang selama ini dilakukan oleh KSP(PS) akan hilang. Kekhawatiran itu bisa ditepis dengan fakta bahwa saat ini OJK telah mengawasi suatu model LK bahkan dengan model yang sangat "sosial" yakni LK berbasis dana wakaf. Nama LK-nya adalah Bank Wakaf Mikro (BWM). Meski ada label "bank" pada namanya, namun merupakan Lembaga Keuangan Mikro Syariah.

Bukan Soal Pengawasan, Tapi Keterpenuhan Legal

Perspektif berbeda dikemukakan Ketua IMFEA dan Pakar Ekonomi Mikro Dr. Ahmad Subagyo. “Dalam pandangan saya, poinnya bukan permasalahan atau persoalan pengawasan oleh Kemenkop atau OJK, tapi lebih pada keterpenuhan legal, ekosistem, struktur dan infrastruktur kelembagaan. Menurut hemat saya, jika kembali pada fitrah ideologi koperasi, maka koperasi semestinya mampu membangun sistem regulasi, ekosistem, struktur dan infrastruktur dirinya secara memadahi,” ujarnya.

Namun sayang, sistem struktur dan infrastruktur regulasi di UU 17 2012 dibatalkan MK, sehingga fundamental pengawasan koperasi yg independen di luar OJK hilang, tentunya tidak mungkin KSP mendapatkan fasilitas dukungan LPS, Biro Kredit, dsb tanpa sistem pengawasan. Yang dimaksud dengan sistem pengawasan adalah dasar regulasi, struktur dan infrastruktur, kebijakan dan anggaran serta ekosistem.


Sistem pengawasan koperasi kita saat ini minus dasar regulasi, infrastruktur dan ekosistem, sehingga tidak memadahi. Sementara kebutuhan terhadap perlindungan konsumen UU NO.24 th 2004  memandatkan kepada pemerintah mendesak dilakukan.

“Untuk saat ini lembaga pengawasan di sektor keuangan yg telah memiliki infrastruktur dan ekosistem memadahi baru OJK, namun blm memiliki dasar regulasi. Maka dengan terbitnya P2SK  sistem pengawasan KSP dlm waktu sementara akan terlengkapi. Pertanyaan berikutnya, apakah ini kebijakan permanen ataukah solusi antar waktu karena adanya kevakuman regulasi dan fungsi?,” tutup Subagyo.

 

(PRIONO)

Kategori
WARTAUTAMA

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar