Setelah RUU Perkoperasian Ditunda

Setelah melalui protes dan desakan berbagai pihak, akhirnya RUU Perkoperasian resmi ditunda. Itu merupakan hasil keputusan dalam rapat paripurna terakhir di DPR RI periode 2014-2019, Senin (30/9/2019) siang. Draf regulasi yang diusulkan parlemen sejak empat tahun lalu itu kini dibenamkan ke dalam 'peti es' bersama sejumlah RUU lainnya. Agenda pengesahan RUU Perkoperasian yang sedianya akan disyahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI kemarin akhirnya dibatalkan untuk disyahkan dan dimasukan dalam agenda pembahasan oleh anggota DPR RI periode 2019-2024. Penulusaran WartaKoperasi, ada tarik menarik kepentingan diantara pihak-pihak yang menginginkan agar RUU Perkoperasian segera disyahkan berhadapan dengan sejumlah elemen gerakan koperasi yang menolak pengesahan. Di saat-saat terakhir, Menteri Koperasi dan UKM bahkan mengirimkan surat kepada pimpinan DPR RI agar RUU ditunda pengesahannya.

Dari informasi yang dihimpun Warta Koperasi, banyak pihak mengapresiasi usulan pemerintah ini, meski alasan mereka kurang terang. Penundaan diperlukan karena sejumlah pasal dalam RUU itu masih menyimpan sejumlah masalah. Salah satunya adalah kehadiran Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) yang diamanatkan dalam Pasal 130 RUU. Karena merupakan kepanjangan tangan pemerintah dan sifatnya wadah tunggal. Dekopin tak jarang berseberangan dengan kepentingan koperasi yang dijalankan secara mandiri oleh masyarakat. Contohnya, saat MK membatalkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian yang dinilai bermasalah, misalnya, Dekopin justru tampil membela peraturan ini habis-habisan. 

Ada pula pasal lain seperti: penambahan birokrasi pendirian (Pasal 11), intervensi perencanaan kerja koperasi (Pasal 77-80), serta pengaturan alokasi hasil usaha koperasi (Pasal 87). Ini semua bertentangan dengan Resolusi PBB No. 56/114 tahun 2001, Rekomendasi ILO 193/2002, serta sidang PBB di Afrika Selatan 2016 yang menegaskan koperasi sebagai 'gerakan otonom’. 


Koreksi Mendasar

Masalah lain terdapat dalam Pasal 82 huruf  h dan Pasal 132. Pasal ini mengharuskan koperasi membayar iuran kepada Dekopin. Peraturan ini bermasalah karena Dekopin mendapatkan pendanaan dari APBN dan APBD seperti diatur Pasal 133. RUU tersebut juga mengerdilkan koperasi secara sistematis. 

Sebab, dalam Pasal 122, pemerintah hanya mengakui koperasi sebagai badan hukum penerima penyisihan laba BUMN dan BUMD. Ketentuan tersebut membuat koperasi 'turun kelas' sebab mereka seharusnya bisa jadi alternatif Perseroan, Yayasan, maupun Perkumpulan. Pasal 123 juga dinilai cacat karena koperasi hanya dilihat sebagai penerima kredit dari perbankan. 

Padahal, koperasi justru bisa bersaing dengan perbankan karena memiliki peran simpan-pinjam. Hanya saja selama ini pemerintah lebih mengistimewakan bank dalam hal penyaluran kredit, seperti memberikan subsidi bunga, talangan (bail out), sampai fasilitas lembaga penjaminan. RUU ini sengaja mengerdilkan dan melempar koperasi keluar dari lintas bisnis modern. RUU ini harus dikoreksi secara mendasar. 

Berpotensi digugat ke MK Ketua Pengurus Keling Kumang Group dan praktisi koperasi, Mikael, meragukan niat pemerintah dan DPR untuk memperbaiki RUU Perkoperasian. Indikasinya sederhana: banyak pasal bermasalah dalam UU Perkoperasian sebelumnya--yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2014- tetap dimasukkan. “Seakan tidak belajar dari sejarah kelam legislasi tersebut,” ucap Mikael. 

Lantaran itu, sejumlah pegiat koperasi siap melakukan judicial review ke MK jika poin-poin yang mengerdilkan koperasi tak dihilangkan saat RUU tersebut disahkan. “Saya dan teman-teman akan melakukan upaya hukum ke MK, akan terus melawan karena UU Perkoperasian tidak mengakomodasi kepentingan koperasi,” ucap Mikael.

Pandangan berbeda mengemuka dari Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Rully Indrawan. Menurut Rully,  sebetulnya RUU ini perlu segera disahkan sebelum pimpinan DPR purnatugas. Rully menyatakan kalau RUU ini perlu disahkan agar memberi kepastian hukum bagi koperasi. 

Terutama menggantikan UU No. 25 Tahun 1992 yang dinilai belum ramah pada era digitalisasi. Ia bahkan menyebutkan kementerian sudah menyiapkan peraturan pemerintah sebagai turunannya. “Jika kita memiliki UU, sama artinya memiliki back-up yang kuat untuk banyak hal,” ucap Rully seperti dikutip dari Antara.


Kepentingan Kelompok

Perjalanan proses penggantian UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian sudah cukup lama. Sudah dilakukan pembahasan sejak tahun 2000 atas usulan masyarakat yang kemudian jadi inisiatif Pemerintah.  Melalui pembahasan yang panjang akhirnya RUU inisiatif pemerintah tersebut disyahkan menjadi UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.  Walaupun tak lama berselang langsung mendapat reaksi keras berbagai kelompok masyarakat untuk diuji materi ke Mahkamah Konstitusi ( MK) yang berujung pembatalan sepenuhnya oleh MK karena secara substansi dianggap inkonstitusional. 

UU No. 17 Tahun 2012 waktu itu sebetulnya hanya kontinum dari UU No. 25 Tahun 1992 yang tempatkan koperasi sebagai badan hukum semata dan juga banyak diintervensi dan langgar prinsip demokrasi koperasi seperti pencantuman DEKOPIN sebagai wadah tunggal hingga banyak berpotensi merugikan masyarakat koperasi. Itu kenapa akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. 

UU No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian yang berlaku sementara saat ini sebetulnya juga sudah tidak memenuhi syarat dalam menjamin tumbuh berkembangnya koperasi yang baik karena selain hanya tempatkan koperasi sebagai badan usaha, tidak memberikan pengakuan mendasar terhadap nilai dan prinsip koperasi, juga tidak imperatif dan memberikan distingsi bagi pengembangan koperasi yang baik. 

Untuk itu, pembahasan RUU Perkoperasian yang dicarry-over ke anggota DPR RI yang baru harus serius perhatikan masalah krusial seperti jaminan otonomi dan kemandirian koperasi, hak berdemokrasi, ancaman berbagai upaya pengkerdilan terhadap koperasi. 

Kelompok masyarakat sipil dan koperasi harus tetap waspada karena ada beberapa kelompok tertentu yang mencoba terus memaksakan kehendaknya agar mereka mendapat fasilitas dan keuntungan bagi kelompoknya melalui undang-undang. Sistematis dan terstruktur dalam mengintervensi RUU perkoperasian, bahkan sejak masih jadi draft di Pemerintah. 

Alhasil, gerakan koperasi Indonesia tetap membutuhkan regulasi yang konstruktif dan disusun dari hasil kajian komprehensif dan melibatkan elemen-elemen riil gerakan koperasi. Bukan hanya kepentingan elit politik dan elit gerakan koperasi. Semoga. (PRIONO/foto istimewa)

Kategori
WARTAUTAMA

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar