Era Baru (Digitalisasi) Koperasi

Kini, digitalisasi menyeruak nyaris ke semua bidang, dan tak lagi menyisakan celah untuk menghindar. Dunia sains dan bisnis adalah beberapa yang paling sigap menyambut. Bagaimana dengan kalangan koperasi? Jika harus “mendigitalkan” diri, maka harus dimulai dari mana? Sudah ada kah contoh suksesnya? Sebuah lokakarya bertajuk "Meretas Era Baru Koperasi" yang dihelat  27-28 Agustus 2018 lalu, di Purwokerto, mencoba menjawabnya.

Dalam perhelatan itu, sejumlah narasumber ahli yang  membagi pengalaman serta pengetahuannya adalah Suroto, HC., Ketua AKSES Indonesia. Lalu ada Dr. Hizkia Yosie dari Koperasi Riset Purusha.id. Ada juga Firdaus Putra, HC., Direktur Kopkun Institute, CEO Kopkun Group Herliana, HC. Hadir juga pada lokakarya itu,  Direktur Coopermondo Camilla Carabini, dari Italia. Coopermondo merupakan sebuah lembaga studi pengembangan perkoperasian yang disegani di Italia.

Lokakarya mengupas model-model baru seperti koperasi pekerja (worker coop), platform koperasi (coop platform), koperasi start up (coop start up) dan lainnya. Diikuti oleh 45 peserta dari berbagai daerah di Indonesia seperti Bekasi, Lampung, Tasikmalaya, Jakarta, Tuban, Kudus, Yogyakarta dan Purwokerto.

Peserta terdiri dari beragam latar beragam. Pelaku start up, pegiat creative hub, praktisi koperasi, akademisi dan pegiat komunitas. Fokus kegiatan ini adalah menggali model-model baru koperasi seperti: worker coop atau koperasi pekerja, coop platform dan coop start up.

 

Bangun Pathway dan Ekosistem Baru

Dalam era baru dimana ekonomi digital tumbuh dan disrupsi terjadi dimana-mana, koperasi harus beradaptasi. Tentu saja beradaptasi dengan cara, sikap dan mindset yang juga baru. Salah satunya dengan jalan membangun pathway serta ekosistem baru yang lebih ramah terhadap generasi milenial.

"Rendahnya partisipasi generasi milenial ini sudah menjadi kegelisahan bersama. Tentu harus disikapi. Caranya, membawa masa depan ke hari ini, bukan menarik masa lalu ke hari ini. Sehingga kita harus inisiasi model-model baru yang akrab bagi mereka", papar Firdaus Putra, Direktur Kopkun Institute yang sekaligus tuan rumah workshop.

Secara umum ada dua sesi kegiatan: sesi pemaparan materi dan sesi panel session praktika. Tampil sebagai pembicara pertama, Suroto, HC., Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Srategis (AKSES) Indonesia. Ia membawakan materi tentang Revolusi Kepemilikan di Era Revolusi Industri 4.0.

Suroto mengkritik kecenderungan platform atau marketplace hari ini yang cenderung menguntungkan pemilik platform belaka. Di sisi lain, provider serta user sama-sama menjadi komoditi bagi platform tersebut. Dia menawarkan proposal pentingnya mengembangkan coop platform untuk menjawab tantangan zaman tersebut.

Camila Carabini, Direktur COOPERMONDO, Italia, menupas praktika koperasi pekerja di negeri pizza. Sejarah koperasi pekerja di Italia berkembang sejak abad 19. Menariknya, regulasi di sana telah merekognisi dan mengatur skema take over/ buy out perusahaan privat menjadi koperasi pekerja sehingga dimiliki para pekerjanya. Caranya? "Dengan mengagunkan dana pensiun, para pekerja memperoleh pinjaman modal dari bank koperasi untuk mem-buy out perusahaan yang bermasalah itu", ujarnya.

Model lain yang ia bagi pada kesempatan itu adalah tentang social coop yang berkembang massif di sana. Berbeda dengan koperasi konvensional, social coop bertujuan untuk membangun inklusi social,  misalnya bagi kelompok kurang beruntung (alkoholik, pengguna narkoba, imigran dan kelompok marginal lainnya). Pemerintah Italia juga sangat mengapresiasi keberadaan social coop tersebut karena berdampak nyata.

Dr. Hizkia Yosie Polimpung dari Koperasi Riset Purusha, menarik jauh ke konsepsi ekonomi-politik pentingnya koperasi pekerja berangkat dari analisis kapitalisme tentang akumulasi primitif,

Koperasi atau koperasi pekerja dapat menganulir modus tersebut. Koperasi, karena kepemilikan itu dibagi kepada semua orang, menjadi solusi dari sistem kapitalisme dewasa ini. "Sehingga tidak tidak akan terjadi apa yang namanya: sparasi (pemisahan relasi kerja), proletarisasi (pemiskinan) dan komodifikasi (mengkomoditikan hasil kerja)," terang Yosie.

 

Model-Model Baru

Kesempatan keempat, Firdaus Putra, HC., Direktur Kopkun Institute, memaparkanihwal model-model baru: worker coop, coop platform dan coop start up. Worker coop atau koperasi pekerja itu berbeda dengan koperasi karyawan. Parameternya adalah si pekerja bekerja dan digaji oleh koperasi.

Sedangkan coop platform merupakan respon terhadap tren collaborative economy yang menghubungkan berbagai pihak dalam rantai nilai tertentu. Coop platform ini berbeda dengan apa yang namanya koperasi go online. Kata kunci platform terletak pada multi pihak yang berada di dalam platform tersebut.

Terakhir, coop start up lahir untuk merespon tren private start up business. Sehingga coop start up berbeda dengan koperasi rintisan konvensional. Seperti halnya start up, kata kuncinya terletak pada market solution dan potensi scaling up atau inovasi baru dalam membangun pasar (blue ocean market). Perbedaan ketiga model itu terletak pada model bisnisnya.

Herliana, HC., Ketua Koperasi Kopkun, mengurai tahapan dan tata cara membangun koperasi pekerja. Beberapa skema untuk memulai koperasi pekerja bisa dipilih. "Bisa mendirikan dari awal atau cara lain, yakni mentransformasi bisnis pribadi (PT/ CV) menjadi koperasi pekerja. Tentu saja model dan proses bisnisnya masih sama. Yang berbeda adalah kepemilikan yang kemudian dibagi kepada para karyawannya," papar Herliana.

Ia menyampaikan, dari sudut pandang pemilik (bos) atau karyawan, pilihan di atas sama-sama menguntungkan. Bagi bos, ia akan memperoleh tambahan modal baru yang bisa diinvestasikan ke usaha lain. Bagi karyawan, tentu saja akan mempertinggi semangat kerja dan produktivitasnya.

 

Dari PEDI Help hingga Narakopi

Workhsop semakin menarik dengan kehadiran sejumlah praktisi koperasi dan bisnis rintisan berbasis koperasi. Sejumlah embrio dan inkubasi tampil dalam sesi panel praktika. Sesi pertama, Aef Nandi, HC., mengisahkan ihwal PEDI Help and Cleaning.

PEDI Help merupakan rintisan koperasi pekerja yang bergerak di jasa kebersihan dan perbantuan. Saat ini ada 9 pekerja yang sebagian adalah tukang becak. Tujuannya, adalah menambah penghasilan tukang becak yang sepi penumpang.

Dalam masa inkubasi sembilan bulan, PEDI Help telah mengerjakan puluhan pekerjaan. Salah satunya adalah kontrak kebersihan dengan perusahaan skala menengah di Purwokerto. Layanan lainnya seperti paket kebersihan untuk mahasiswa serta perumahan: bersih rumah, dapur, kamar, halaman, kebun, cuci motor dan sebagainya.

Dilanjutkan dengan Sena Lupdhika, HC., CEO dan Co-Founder Meridian.id. Mengurai perusahaan start up yang dibangunnya. Start up dengan jasa pembuatan dan pengembangan aplikasi serta website itu memiliki 11 karyawan. Saat ini, Sena dan teman-teman sedang berpikir mentransformasi perusahaannya menjadi koperasi pekerja.

"Ada beberapa karyawan yang ingin resign dan berencana mendirikan start up seperti Meridian. Nah saya pikir mengapa harus mendirikan baru, kenapa tidak kita miliki dan besarkan bersama Meridian ini. Akhirnya saya terpikir untuk merubahnya menjadi koperasi pekerja", ujarnya. Basecamp Meridian saat ini ada di Bandung.

Sesi selanjutnya, Bimo Suryandaru, HC., COO Narakopi.id. Narakopi digadang menjadi coop platform. Dimana setiap pelaku bisnis dalam rantai nilai bisnis kopi terhubung satu sama lain dalam skema fair trade. Narakopi juga concern untuk mendampingi para petani kopi. Hal itu yang membuat skema fair trade harus ada untuk menjaga keadilan bagi semua pihak. Basecamp Narakopi ada di Jakarta.

Sama.id serta Esensiana.id, tampil sebagai start up yang bergerak di sektor media. Amrul Hakim, HC., Redaktur Sama.id menyampaikan visi medianya berangkat dari kegelisahan ihwal kurang independennya media arus utama.

Ia menawarkan kepemilikan masyarakat luas bagi Sama.id hanya dengan membayar 10 ribu rupiah per bulan. Dengan cara ini, media yang fokus pada jurnalisme investigatif ini dapat senantiasa berpijak pada kepentingan publik.

Fajar Nusantara, HC., dari Esensiana.id mengungkapkan, medianya lahir sebagai alternatif dari media arus utama juga. Timnya ada lima orang, yang biaya operasionalnya ditutup dari Adsense.

Lalu Cecil Mariani, HC., dari Koperasi Pekerja Seni Upakati. Idenya adalah membangun koperasi pekerja seni. Yang menarik, dari konsep Upakati adalah arisan proyek. Maksudnya, seseorang membantu proyek eksperimentasi teman yang lain dan sebaliknya. Sehingga apa yang mereka bagi dan pertukarkan bukan melulu soal uang, melainkan adalah waktu dan pekerjaan. Dengan cara begitu, berbagai proyek eksperimentasi para seniman dapat dikerjakan secara bergiliran dan kolektif.

Tampil berikutnya adalah Ragil Chandra, HC., CEO AdaIde Creative Studio. AdaIde merupakan rintisan koperasi pekerja sektor kreatif. Layanannya seperti desain grafis, movie maker, pembuatan website serta multimedia lainnya.

Bisnis AdaIde sudah berjalan selama enam bulan dengan hasil yang lumayan padahal belum melakukan pemasaran intensif. Pasca wisuda bulan September mendatang, Ragil berkomitmen untuk menyeriusi start up yang berisi tujuh orang kreatif ini.

Anis Saadah, HC., aktivis koperasi Pemuda Indonesia dan Youth Coop (ICA-Asia Pasific), mengulas tentang PEDI Solution, yakni market place yang berbasis koperasi pekerja. PEDI Solution ini menghubungkan beberapa koperasi seperti PEDI Help, Kopkun Swalayan, AdaIde serta UKM lokal.

Bekerjasama dengan vendor lokal, PT Nemolab Intermedia, PEDI Solution digawangi oleh empat anak muda. "Saat ini aplikasi sedang tahap uji coba sebelum dikenalkan ke masyarakat secara massif. Sebagai core service-nya, PEDI Solution mengincar layanan belanja pasar tradisional yang potensi pasarnya bagus: orang kantoran dan perumahan, yang mereka ingin masak untuk keluarga namun tak punya waktu ke pasar", ujarnya.

 

Konsorsium Inovasi Koperasi

Hari kedua workshop, peserta dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama mengkaji tentang perlunya membentuk Konsorsium Inovasi Koperasi Indonesia atau Indonesian Consortium for Cooperative Innovation (ICCI). Sedangkan kelompok kedua berisi 15 start up baru yang membahas bagaimana membangun perusahaannya berbasis koperasi.

Peserta kelompok pertama, yang sebagian besar telah berpraktik dan lakukan inkubasi, sepakat pentingnya membangun konsorsium tersebut. Tujuan pendirian konsorsium itu yakni: menumbuhkembangkan model-model baru koperasi di Indonesia, Membangun daya dukung dan daya ungkit bagi inovasi model-model baru koperasi di Indonesia, Membangun ekosistem dan kolaborasi multi pihak untuk mengawal inovasi model-model baru koperasi di Indonesia dan Mensistematisir, mendokumentasikan, mempublikasikan dan mensindikasikan praktika- inkubasi model-model baru koperasi di Indonesia. Tiga fungsi utama konsorsium yakni ecosystem enabling, innovation and incubation serta pooling resources.

Konsorsium berperan dalam rangka membangun daya dukung dan daya ungkit berbagai kebutuhan anggotanya dalam hal inovasi model. Kebutuhan itu bisa bermacam-macam, misalnya berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang model bisnis tertentu. Kebutuhan perlunya mentor atau coach. Tak ketinggalan, kebutuhan pada infrastruktur penunjang: teknologi, kantor dan sebagainya. Secara kolaboratif, anggota konsorsium memobilisasi berbagai sumberdaya itu untuk kepentingan bersama.

Pada kelompok kedua selepas mereka dijelaskan tentang tahapan membangun perusahaan berbasis koperasi, tim melakukan pitching idea kepada 15 start up tersebut. Hal ini merupakan tindak lanjut MoU antara Kopkun Institute dengan STMIK AMIKOM Purwokerto.

Sena Lupdhika, Anis Saadah serta Fajar Nusantara tampil sebagai panelis yang menguliti gagasan bisnis mereka. Ide-ide kreatif mereka sebagian besar masih lemah di segi monetisasi atau cara start up hasilkan revenue. Hal itulah yang akan diinkubasi sehingga suatu ide dapat diterima pasar (market validation) sehingga menghasilkan keuntungan.(PRIONO/FOTO ISTIMEWA)

Kategori
WARTAUTAMA

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar