Sekali Lagi, Mursia Kartini Koperasi


Bulan April, identik dengan Bulan Kartini. Putri bangsawan Jepara ini, identik dengan emansipasi kalangan perempuan dalam mengakses dunia pendidikan. Konteks zaman kala RA Kartini eksis, pribumi Hindia Belanda belum sepenuhnya mengenal koperasi. Bayangkan jika saat itu gagasan dan praksis berkoperasi sudah mulai dikenal, dan berharap RA Kartini ikut mengembangkannya melalui Sekolah "Ongko Loro" yang diampunya bagi kalangan perempuan Jepara. Entitas perempuan gerakan koperasi, sejatinya masih memiliki perempuan yang dalam sejumlah hal selevel dengan RA Kartini. Dialah Mursia Zaafril Ilyas, yang wafat pada 19 Juni 2017 silam dalam usia 92 tahun. Murid Sutan Syahrir dan mantan Sekpri Bung Karno ini, adalah legenda koperasi bukan hanya bagi kalangan perempuan.  Sistem tanggung renteng, buah pikirannya diadopsi oleh sejumlah koperasi tidak hanya di tanah air, tapi hingga luar negeri. Dulu, rumahnya menjadi lokasi kunjungan favorit para aktivis untuk sekedar berdiskusi. Termasuk Profesor Sumitro Djoyohadikusumo hingga aktivis HAM Munir.  Warta Koperasi Edisi April ini, kembali mencoba menyegarkan kembali ingatan sosok Mursia yang dinukil melalui sejumlah sumber, termasuk hasil percakapan Warta Koperasi dengan sahabat Mursia.

 

    “Kapan kita kumpul untuk diskusi masalah koperasi,” bisik perempuan renta yang saat itu menginjak umur 90 tahun, pada 5 Januari 2015 silam. Bisikan dari bibir perempuan sepuh yang seluruh rambutnya telah memutih, menjadikan Isminarti, kolega Mursia semasa bergiat di Puskopwanjati, menitikkan air mata. “Saya sangat kagum kepada beliau. Sebenarnya, karena faktor usia, menjadikannya lupa pada banyak hal. Tapi begitu melihat Saya, memori dan spirit koperasi nya langsung bangkit,” papar Isminarti kepada WartaKoperasi mengisahkan pengalamannya beberapa waktu silam.  

    Bagi kebanyakan perempuan pegiat koperasi, khususnya di Jawa Timur, perempuan kelahiran Pamekasan Madura, 5 Januari 1925 itu, bukanlah sosok asing.  Ia pantas disebut sebagai Ibu Koperasi. Pasalnya, lebih dari separuh usia Mursia dihabiskan untuk mengurusi koperasi. Ia pula penggagas koperasi wanita dengan sistem tanggung renteng pertama di Indonesia. Atau malah di dunia.

    Mursia muda merupakan sosok perempuan gigih dalam berjuang dan belajar. Seperti lazimnya kalangan intelektual dan pejuang pada zamannya, Mursia menguasai setidaknya tiga bahasa asing, yaitu Belanda, Inggris, Jerman secara aktif dan Perancis secara pasif. Sosok langka ini berintegritas kuat dan mandiri. Alhasil sampai akhir hayatnya Mursia tidak masuk partai apa pun, ia hanya berprinsip menentang kebijakan pemerintah Belanda. “Saya mengerti politik, ekonomi, dan lain-lain karena semangat revolusi”.

    Persinggungan pemikiran langsung dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional progresif macam Tan Malaka, Bung Sjahrir, Bung Hatta, Bung Karno, mewarnai pemikiran dan sikap Mursia.  Lebih dari itu, sikap Bung Sjahrir yang kooperatif dan moderat, terbilang cocok bagi Mursia muda.   “Kalau kamu berpikir dan hendak melangkah, lepaskan dulu kepentingan pribadi, dahulukan kepentingan orang banyak. Jangan takut kamu tidak makan, kamu pasti ikut makan. Kapitalis hanya membuat perbedaan kaya dan miskin,” kata Bung Sjahrir kepada Mursia.kata-kata yang sangat diingat dan kemudian dikejewantahkan dengan sikap Mursia yang enggan mementingkan diri sendiri.

    Tamat dari sekolah di Taman Madya Bagian Sosial, Yogyakarta, Mursia ingin kembali ke Madura tetapi selalu tertunda karena kondisi keamanan Republik yang tidak kondusif. Atas rekomendasi Bung Sjahrir, ia diberi surat tugas untuk bekerja sebagai sekretaris pribadi Bung Karno di Istana Kepresidenan Yogyakarta.

    Baru pada 1948, keinginan Mursia untuk pulang ke Madura tercapai. Sepucuk surat panggilan dari Dinas Inteligen Belanda (PID) membuyarkan semuanya. Ia diintrogasi dan berujung masuk bui. Perempuan penuh semangat yang kala itu berusia 23 tahun ini dimasukkan ke dalam penjara Kalisosok di Surabaya sebagai tahanan politik (tapol) selama satu bulan. Di dalam bui, Mursia meresapi arti kebebasan manusia.

    Satu tahun kemudian 1949, Mursia juga menikmati masa muda. Saat acara muda-mudi di Bangkalan, dia bertemu dengan seorang dokter asal Kota Gadang Sumatra Barat, bernama Zaafril Ilyas. Dua tahun setelah menikah, tugas dinas sebagai dokter mengharuskan mereka pindah ke Malang. Zaafril Ilyas berperangai pendiam, sederhana, lembut, dan senantiasa berusaha memahami sifat dan perilaku Mursia yang ingin berbuat banyak bagi sesama manusia.

    Tahun 1964, Mursia kembali lagi menjalani kehidupannya di balik jeruji besi di LP Cipinang bersama dua temannya Ali Bari dan Gatot Gunawan. Kali ini ia tidur di lantai tanpa alas apa pun dan kalau makan pun antri. Penyebab masuk bui ini karena Mursia mendidik orang-orang komunis yang berasal dari desa-desa agar tidak tertipu dengan propaganda politik. “Saya dicurigai anti-Soekarno. Saya bilang komunisme tidak apa-apa asal jangan mengarah ke fasisme,” ujarnya menasihati. “Meski begitu saya tetap memegang ucapan Bung Sjahrir yaitu Ketuhanan dan Kemanusiaan,” katanya dengan kukuh.

Mursia dan Koperasi

    Di tengah perubahan yang tak mengenal arah dan perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat, tentu membuat bingung para pemuda Indonesia dalam menjawab tantangan zaman. Mau dibawa ke mana negeri ini? Bentuk perekonomian yang seperti apa yang cocok bagi kita? Inilah pertanyaan yang selalu mengusik hati kecil pemudi Mursia dan kawan-kawannya. Mereka juga sering berdiskusi dengan Dr. Soebandrio dan Prof. Soemitro Djojohadikusumo di Malang.

    Mursia mendengar ada ide sistem kebersamaan yang dicetuskan Bung Hatta. Bagaimana kita mengubah pelan-pelan, dimulai dari tingkat rumah tangga, kelompok, komunitas, organisasi hingga negara. Hal ini, jika dalam sebuah kelompok koperasi berkaitan langsung dengan unsur pembinaan manusianya. Membangun rumah tangga berawal dari kebutuhan dasar seperti makan dan pakaian, tetapi ada juga maunya meloncat. Meskipun dapur belum berasap sudah ingin membeli mobil.

    Koperasi yang dibangun Mursia bermula dari sebuah perkumpulan yang diprakarsainya sejak tahun 1945. Perkumpulan ini berjalan terus hingga tahun 1964 kemudian vakum, karena Mursia masuk bui di LP Cipinang.

    Tahun 1976 Mursia beserta teman-temannya sebanyak 17 orang istri-istri dokter membangkitkan kembali perkumpulan tersebut dari kevakumannya, melalui sebuah arisan. Perkumpulan arisan ini mengadakan pertemuan paling tidak satu bulan satu kali. Dalam pertemuan tersebut, segala permasalahan didiskusikan. Umumnya topik yang selalu timbul adalah permasalahan keuangan, terutama saat-saat tahun pelajaran baru bagi sekolah putra-putri mereka yang akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, serta hal-hal lain yang mendesak. Maka timbulah gagasan Ibu Mursia Zaafril Ilyas untuk meningkatkan perkumpumpulan arisan tersebut menjadi perkumpulan simpan pinjam. Namun tidak semulus yang diharapkan, pro dan kontra mewarnai dan telah menjadi dinamika dalam perkumpulan ini.

    Berkat ketekunan dan keyakinan yang teguh dari Ibu Mursia Zaafril Ilyas akhirnya perkumpulan simpan pinjam tersebut berdiri juga sebagai pra-koperasi dan diberi nama Setia Budi Wanita yang kantornya bertempat di rumah Ibu Mursia Zaafril Ilyas di bagian belakang. Pra-koperasi ini kemudian disebarluaskan kepada wanita-wanita lain dengan jalan bagi anggota yang mampu mengumpulkan 10 orang dapat membentuk kelompok demikian seterusnya.

    Pada tahun 1977 timbul lagi gagasan Ibu Mursia Zaafril Ilyas untuk menjadikan perkumpulan pra-koperasi ini sebuah koperasi. Gagasan ini mendapat sambutan baik oleh anggotanya. Segala sesuatunya serta syarat-syarat yang harus dipenuhi dipersiapkan.

    Sejak remaja, Mursia mengaku sangat tertarik pada koperasi. “Rakyat bisa bergantung ke koperasi, karena koperasi tidak pernah meninggalkan rakyat,” katanya.

    Pada tanggal 30 Desember 1977 mendapatkan Badan Hukum dengan Nomor: 3992/BH/II/77 dengan Nama: Koperasi Serba Usaha Setia Budi Wanita Malang yang berkedudukan di Jl. Trunojoyo No. 76 Malang dan ditanda tangani secara langsung oleh Menteri Koperasi Bapak Bustanil Arifin, SH.

    KSU Setia Budi Wanita sejak berdiri tahun 1977 berkembang dengan baik dari segi organisasi maupun usahanya dengan didasari Sistem Tanggung Renteng yang dicetuskan pula oleh Ibu Mursia Zaafril Ilyas. Perjalanan KSU Setia Budi Wanita juga tidak selamanya mulus, tahun 1982 mengalami kejatuhan sampai colapse. Tetapi, semua itu dapat teratasi dengan adanya bantuan dari BI dan keampuhan sistem kelompok tanggung renteng.

    Atas dedikasinya terhadap koperasi, pada 1993 ia mendapat penghargaan Satyalencana Pembangunan dari Presiden Soeharto. Kini, sistem tanggung renteng telah diterapkan oleh lebih dari 45 koperasi wanita di Provinsi Jawa Timur dan 200 koperasi wanita di provinsi lainnya di Indonesia yang tergabung dalam Induk Koperasi Wanita.

Kunjungan Prof Sumitro,  Inspirasi Anak Muda

    Almarhum aktivis Hak Asasi Manusia Munir pernah berpesan, "Kalau ke Malang, kunjungilah Bu Zaafril. Tinggallah supaya bisa ngobrol. Saya dulu suka ikut kumpul-kumpul di rumah beliau, tapi mungkin beliau tidak kenal saya," kisah Maria Hartiningsih dari Kompas mengutip Munir.

    Selain Munir di paruh 2000an, sekian dekade sebelumnya tokoh-tokoh macam Dr Subandrio dan Prof Sumitro Djojohadikusumo kalau ke Malang selalu menginap di rumah Mursia berdiskusi semalaman.

    Sejarah hidup Mursia sungguh berwarna. Jauh sebelum masa kemerdekaan, Mursia remaja sudah aktif di dunia pergerakan. Sosialisasi politik dan wawasan kebangsaannya mulai terbangun ketika anak keempat dari delapan bersaudara anak pasangan M Saifudin Sastrokusumo, seorang jaksa, dan Siti Aminah dari Madura ini menempuh pendidikan di Taman Siswa Yogyakarta.

    Teman-temannya yang lain tak pernah melupakan kebersahajaannya. Mereka hampir tak pernah melihat Mursia memakai tata rias wajah. Meski berusia sepuh, ketika ia masih bisa berjalan sekian tahun lalu, Mursia masih sering menolak diantar dengan mobil oleh anaknya. Ia lebih suka menggunakan angkutan kota, bus, becak, atau jalan kaki untuk melakukan kegiatannya.

    Kini, sistem tanggung renteng diadopsi berbagai koperasi primer perempuan di seluruh Jawa Timur dan terbukti membuahkan perubahan di bidang ekonomi pada banyak orang. Ia kemudian memimpin Pusat Koperasi Wanita Jawa Timur (Puskowanjati), mendirikan sekaligus memimpin Induk Koperasi Wanita (Inkowan), dan menghidupkan sejumlah koperasi primer yang kehabisan napas.

    Karena meyakini koperasi sebagai alat perjuangan, bagi Mursia, indikator kemajuannya bukanlah aset yang bermiliar-miliar, tetapi keberhasilan membina manusia anggotanya di tingkat akar rumput agar mempunyai kedisiplinan, keberanian, kritis, dan pada gilirannya menjadi kekuatan kontrol yang kuat terhadap kekuasaan. "Tapi sekarang makin sulit karena ukuran keberhasilan lebih ke kuantitas, pada materi," ujarnya.

    Aktivis muda koperasi Suroto, yang sempat menjenguk Mursia di Malang ketika masih hidup, mengaku kagum dengan dengan Mursia. “Ketika Saya bicara tentang koperasi, tiba-tiba ia tampak begitu bersamangat. Ia mengatakan jika pemikiran yang barusan saya kemukakan mengingatkannya tentang Sutan Syahrir,” papar Suroto kepada WartaKoperasi.  Diakui Suroto Bu Mursia membuatnya terus memiliki energi untuk terus memperjuangkan koperasi. Mursia, legenda hidup itu boleh menua, tapi perjuangan dan komitmennya terhadap gerakan koperasi ibarat pelita.

(PRIONO)

Kategori
WARTAUTAMA

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar