Pasal 108 dan Revolusi (Pendirian) Koperasi di Tengah Pandemi


Di tengah pandemi Covid-19 rancangan UU Omnibus Law kembali dikebut dan menunggu ketok palu. Satu pasal berkenaan dengan koperasi jadi pro-kontra, yaitu pasal 108 ihwal ihwal pendirian koperasi. Jika berhasil diundangkan, prasayarat pendirian koperasi yang nyaris klasik : minimal oleh 20 orang, akan terbuang. Dengan undang-undang “Sapu jagat” itu, hanya butuh 3 orang untuk mendirikan koperasi. Apa alasannya? Bagaimana dampaknya?

Draf  Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Perpajakan yang kini tengah dalam proses Program Legislasi Nasional (Prolegnas), beredar ke banyak lini media sosial (medsos) beberapa pekan terakhir. Termasuk di grup-grup yang mewadahi entitas gerakan koperasi. Titik fokus mengarah pada Pasal 108, yang memaparkan diperbolehkannya pendirian koperasi oleh tiga orang. Dalam UU 25/1992, pendirian koperasi primer minimal oleh 20 orang.

Pemerintah yang diwakili Kementerian Koperasi dan UKM sepertinya keukeuh menargetkan Pasal 108 lolos bersamaan dengan diundangkannya RUU Omnibus Law. Menurut Menteri Koperasi Teten Masduki,  Omnibus Law akan membawa keuntungan bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Keuntungan yang bisa diraih UMKM di antaranya kemudahan seseorang dalam membuat koperasi.

"Orang bikin koperasi itu kan lebih sulit dari pada bikin tempe, kita akan upayakan lebih mudah lagi, kalau dulu harus 20 orang, sekarang kami usulkan tiga orang juga bisa," ujar Teten di Gedung Kemenkop, Jakarta, Rabu (5/2) mengutip Detiknews. Selain itu, imbuh teten, dengan ketetapan yang diajukan dalam RUU Omnibus law, koperasi juga dapat dikembangkan dengan beragam usaha dan tidak lagi dibatasi. "Sekarang koperasi boleh usaha seluas luasnya. Nah suatu kemajuan".

 

Keruan saja Pro dan kontra mencuat. “Didirikan oleh 20 orang saja banyak penyimpangan, apalagi hanya 3 orang. Saya meyakini aturan ini justru akan memunculkan lahirnya pengusaha koperasi. Orang-orang yang menyetujui aturan ini antek kapitalis,” papar Kamaruddin Batubara, Ketua Kopsyah BMI, koperasi syariah dengan ratusan ribu anggota di Tangerang dalam percakapan dengan Warta Koperasi. Menurut Kamaruddin yang koperasinya sukses dengan beragam unit bisnis dan sosial itu, persoalan koperasi bukan hanya sebelum pendiriannya, melainkan justru setelah pendirian. Apakah akan merangkak, berjalan lambat, atau berlari cepat. “Apa susahnya mengumpulkan 20 orang,” imbuh Kamaruddin.

 

Pendapat berbeda disampaikan Firdaus Putra, anggota Komite Eksekutif  Konsorsium  untuk Inovasi Koperasi  (ICCI). Menurut Firdaus, koperasi gagal menjadi entitas bisnis pilihan karena pendekatan top-down pemerintah dalam mengelola mereka dan peraturan yang membuat mereka terlalu rumit untuk diatur Bangun.

"Anda hanya membutuhkan dua orang untuk mendirikan perusahaan tanggung jawab terbatas. Tetapi koperasi harus menemukan 20 orang dengan kepentingan yang sama. Hanya saja terlalu banyak kerumitan," kata Firdaus. Masyarakat yang ingin mendirikan koperasi juga perlu mendaftar dalam pelatihan yang diberi sanksi pemerintah terlebih dahulu. Mereka tidak perlu melakukan itu jika mereka ingin membentuk perusahaan liabilitas terbatas.

Firdaus, yang juga Kepala Operasi Koperasi Koperasi Karya Utama Nusantara (Kelompok Kopkun), telah menganjurkan reformasi koperasi selama beberapa tahun ini. Ia menyambut baik rencana terbaru pemerintah untuk mengurangi kuorum pendiri. Organisasi yang lebih kecil, terutama untuk startup bisnis, memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih cepat dan memungkinkan bisnis lebih gesit. Selain itu, itu juga menyingkirkan kendala pada tahap awal kehidupan koperasi dan mengurangi biaya organisasi pada tahun-tahun awal.

 

"Saya harus mengklarifikasi di sini, memungkinkan tiga anggota pendiri bukan berarti koperasi akan dikoperasi menjadi ukuran tersebut selama sisa rentang hidup mereka. Saat mereka tumbuh secara organik, lebih banyak anggota yang bisa bergabung," ujarnya. Diharapkan pemerintah akan melakukan pendekatan sandbox dalam membuat peraturan bagi koperasi, memungkinkan lebih banyak ruang bagi entitas untuk bereksperimen dan berinovasi dengan teknologi dan model bisnis baru.

 

Saat ini bila masyarakat ingin mendirikan koperasi, maka harus mengumpulkan sedikitnya 20 orang. Itu mengacu UU 25/ 1992 tentang Perkoperasian. Artinya 20 orang itu harus sepemikiran untuk membangun perusahaan bersama. Tentu tidak mudah. Bandingkan dengan Perseroan Terbatas (PT) yang cukup dua orang.

Mengapa 20 Orang

Dalam pandangan Firdaus, Penjelasan pasal 6 UU 25/ 1992 menyebutkan alasan kelayakan usaha. Rekonstruksi kondisi pada saat undang-undang itu lahir. Tahun 1990an kondisi ekonomi Indonesia sangat baik. Pertumbuhan ekonomi tercatat pada rentang 6-7 persen. Harusnya skala usaha sudah bisa diciptakan pada pertumbuhan ekonomi yang prima seperti itu. Mari kita lacak lebih ke belakang, UU 12/ 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian. Pada pasal 14 ternyata menyebut 20 orang juga.

Dalam penjelasan, bila 20 orang tidak terpenuhi, Menteri bisa memberikan dispensasi. Nampaknya UU inilah yang menjadi rujukan pada tahun 1992 sehingga jumlahnya 20 orang. Sekarang kita tengok kondisi ekonomi pada tahun 1960an. Kondisi politik pada masa itu pasang-surut yang berdampak pada stabilitas ekonomi. Ekonomi fluktuatif sejak akhir 1950an. Bahkan tahun 1960an pemerintah melakukan sanering karena krisis keuangan.

Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi pada 1962 hanya 1,84 persen lalu turun -2,24 persen pada 1963. Naik sedikit menjadi 3,53 persen pada 1964. Sayangnya turun tajam menjadi 1,08 persen pada 1965. Di tahun itu situasi politik tak menentu dengan adanya G30S. Pada 1966 mulai naik 2,79 persen dan kembali turun pada 1967 yakni 1,38 persen. Menariknya, bila kita bandingkan dengan UU 79/ 1958 tentang Perkumpulan Koperasi, pada pasal 3 menyebut jumlah pendiri minimal 25 orang. Artinya angkanya sudah turun pada tahun 1967 yang hanya 20 orang. Hal itu membuktikan bahwa ketentuan pada UU 25/ 1992 secara genetik berasal dari dua undang-undang sebelumnya. Undang-undang yang lahir pada kondisi sosial-ekonomi Indonesia tak menentu.

Zaman berubah, kondisi juga berubah. Saat ini persentase penduduk miskin hanya 9,41 persen (BPS, 2019). Berbeda pada 1970 mencapai 60 persen. Itu zaman ketika UU 12/ 1967 baru tiga tahun berjalan. Wajar bila tahun itu mengatur soal skala usaha. Tapi sekarang kondisi ekonomi kita sangat jauh lebih baik, kemiskinan hanya di angka satu digit. Perubahan kondisi sosial-ekonomi, dan juga teknologi, perlu menjadi pertimbangan dalam menetapkan batas minimal pendiri koperasi.

“Menurut hemat saya tiga orang itu cukup. Praktik di negara lain bahkan bisa dua orang, seperti di Belanda. Beberapa alasan bisa kita ajukan mengapa cukup tiga orang. Kondisi ekonomi lebih baik. Masyarakat hari ini lebih berdaya daripada beberapa dekade lalu. Tiga orang sudah cukup untuk memobilisasi modal awal pendirian”. Ditambah teknologi membuat hal itu makin mudah, lintas kota dan bahkan border less. Lalu bila di luar negeri bisa dua, mengapa kita tiga orang? Angka ganjil ini lebih mudah ketika mengambil keputusan. Di koperasi, besar-kecilnya modal tak mempengaruhi keputusan. Bila musyawarah mufakat tak tercapai, voting masih bisa dilakukan: dua banding satu.

Dalam tata kelola, tiga orang pun sudah cukup untuk menjalankan perusahaan. Satu orang berperan sebagai Direktur Utama; Orang kedua sebagai Direktur Keuangan; Dan orang ketiga sebagai Direktur Operasional. Tiga fungsi itu sudah mencukupi untuk menjalankan sebuah bisnis. Praktik kontemporer pada perusahaan startup mengonfirmasi cukupnya tiga peran utama. Pertama yakni Hustler, orang yang piawai berbisnis. Peran kedua yakni Hacker, bagian teknologinya. Dan terakhir yaitu Hipster, urusan desain-pemasarannya. Jeff Sutherland, ko-kreator metode scrum dalam bukunya Scrum, Meningkatkan Produktivitas Dua Kali Lipat dalam Waktu Setengahnya Saja, menulis bahwa efektivitas tim kerja dimulai dari tiga orang. Dengan tiga orang upaya yang dibutuhkan hanya 25 persen dari upaya yang dicurahkan kelompok beranggotakan sembilan sampai 20 orang.

Pasti ada pertanyaan, bila hanya tiga orang, lantas berapa orang sebagai Pengurus dan berapa sebagai Pengawas. Itu bisa dimaklumi sebab praktik saat ini biasanya tiga orang sebagai Pengurus dan tiga orang sebagai Pengawas, seperti perintah undang-undang.

Bisa kita bandingkan dengan PT yang hanya dua orang, satu orang berperan sebagai Komisaris dan satu orang sebagai Direktur. Itu bisa dipahami dengan mudah sebab Komisaris sebagai pemodal dan Direktur yang mengoperasionalkannya. Di koperasi ketiga orang itu adalah pemodal. Dan ketiganya juga berperan dalam operasional. Secara alamiah kontrol muncul sebab tiap orang menghendaki nilai terbaik baginya. Satu sama lain menuntut kinerja agar jangan sampai ada free rider. Perusahaan pada awalnya kecil dan terus membesar. Struktur dan personalianya bertambah sesuai kebutuhan. Awalnya cukup tiga bagian, lalu bertambah bagian-fungsi lainnya.

Nah, koperasi yang mulai dari tiga orang dapat memekarkan struktur organisasinya selaras dengan pertumbuhan anggota dan bisnisnya. Pertumbuhannya organis baik dari segi skala, volume dan jumlah anggotanya. Secara konvensional alat kelengkapan organisasi koperasi ada tiga: Rapat Anggota, Pengurus dan Pengawas.

Omnibus law cukup mengatur pada koperasi yang beranggotakan kurang dari 160 orang, alat kelengkapan cukup Rapat Anggota dan Pengurus. Sedangkan di atas 160 orang, alat kelengkapan harus lengkap ketiganya. Angka 160 ini bisa digunakan sebagai konstanta dengan merujuk pada tulisannya Yuval Noah Harari. Dalam bukunya, Homo Deus, bahwa kemampuan otak manusia mengingat orang secara personal hanya pada jumlah 160 orang. Lebih dari itu kemampuan mengingat rendah dan menjadi tidak intim.

Dengan mengubah dari 20 menjadi tiga orang, implikasi positifnya banyak. Tata kelola koperasi menjadi lebih ramping tanpa beban organisasi di periode awal. Beban organisasi ini misalnya dalam mengambil keputusan. Makin banyak orang, di mana skala dan volume bisnis belum besar, hanya memancing konflik satu sama lain. Ada anekdot bagus di koperasi, “Banyak pendapat namun sedikit pendapatan”. Koperasi model baru juga bisa dikembangkan dengan mudah. Selaras dengan omnibus law, model koperasi pekerja (worker coop), dapat dikembangkan secara akseleratif.

Mondragon di Spanyol yang hari ini dimiliki 80.000 pekerja-pemilik (worker-owner) dulunya hanya delapan orang. Anggota mereka, worker-owner, berkembang secara organik. Dari sedikit sampai kemudian banyak sekali. Sedang di dalam negeri, saat ini inkubasi startup coop sedang berjalan di berbagai kota di Indonesia. Mereka masih menunggu regulasi yang kompatibel untuk mengurus Badan Hukum koperasi. Masing-masing embrio startup coop itu nyatanya dimulai dari tiga atau empat orang co-founder. Dengan dimulai dari tiga orang juga, kelembagaan koperasi akan lebih pas dengan nalar perusahaan, alih-alih organisasi kemasyarakatan (ormas). International Cooperative Alliance (ICA) mendefinisikan koperasi sebagai perusahaan yang dimiliki dan dikendalikan bersama.

Jadi tumbuh-kembangnya perlu mengikuti kaidah perusahaan sebagaimana lazimnya. Sudah 60 tahun lebih kita mewarisi regulasi yang out of date bila kita gunakan UU 79/ 1958 sebagai muasal jumlah pendiri 20an orang. Itu benar-benar sangat tertinggal, jauh sekali. Bila Pemerintah (Menteri Koperasi) berhasil mendorong pendiri hanya tiga orang, itu akan membuat legacy besar dan radikal bagi pengembangan perkoperasian Indonesia 5-10 tahun mendatang. Saya pikir Presiden sudah menyiapkan gawangnya, tinggal Menteri tendang bolanya. 

Jumlah Minimum dan Relasi Koperasi -  Korporasi

Pandangan lain, Suroto, Ketua ASKES dan aktivis koperasi yang mengusulkan konten Omnibus Law terkait kuorum pendirian koperasi mengemukakan,  sejak lama ia mengusulkan agar pendirian koperasi dapat didirikan dengan cukup 3 orang saja di Undang-Undang agar koperasi tidak hanya berkembang jadi kelompok arisan atau simpan pinjam. Tapi begitu banyak kalangan yang menentangnya baik pelaku koperasi maupun beberapa pemerhati koperasi.

Sekarang ini, ide tersebut menjadi sedikit heboh karena masuk dalam draft UU Omnibus Law Cipta Kerja terutama pasal 108 yang saat ini sedang dalam tahap pembahasan di Parlemen. Alasan mereka, kalau koperasi bisa didirikan oleh 2 atau 3 orang lalu apa bedanya dengan perseroan? Sebuah pertanyaan yang sangat tidak filosofis karena jumlah minimum orang dalam pendirian koperasi tentu tidak ada kaitanya dengan perbedaan prinsip kerja koperasi dengan korporasi kapitalis.

Perbedaan yang prinsip antara korporasi kapitalis dan koperasi itu adalah pada soal penempatan modal. Dalam koperasi, modal itu ditempatkan hanya sebagai pembantu dalam mencapai kesejahteraan, dan bukan menjadi penentu seperti dalam model korporat kapitalis.

Perbedaan filosofis yang tergambar dalam asas kerja manajemenya misalnya, bahwa penetapan keputusan koperasi itu adalah satu orang satu suara, sedangkan korporasi satu saham satu suara, dimana ini berarti siapa yang punya saham lebih banyak adalah yang menentukan keputusan.

Korporasi kapitalis yang didasarkan pada dasar filosofi  perkumpulan basis modal (capital-based association) yang hanya mengejar keuntungan semata (profit oriented) bagi pemilik modalnya. Koperasi adalah perkumpulan berbasis orang (people-based association) yang berorientasi pada manfaat (benefit oriented) bagi seluruh pihak yang terkait pada koperasi secara adil dan penuh kemanusiaan.

“Pendirian koperasi 20 orang sebagaimana diatur di UU No. 25 Tahun 1992 dan UU sebelumnya itu menurut saya karena dilatarbelakangi oleh pengaruh mahzab Rochdale yang mana perhitungan skala ekonomi (economic of scale) yang butuh "critical mass" atau jumlah orang tertentu untuk menghasilkan efisiensi kolektif. Dimana 28 orang buruh Rochdale, Inggris pada waktu itu mereka merintis koperasi toko pertama. Mashab inilah yang sangat mempengaruhi penetapan pendirian koperasi itu minimal 20 orang”.

Dasar pemikiran tersebut tidak ada yang salah. Pembelanjaan konsumen dalam skala ekonomi tertentu dan jumlah orang tertentu dengan daya beli yang terbatas akan menghasilkan nilai efisiensi kolektif. Dari sanalah mereka mengambil manfaat koperasi. Inilah dasar argumentasi perlunya pendirian koperasi konsumen Rochdale yang kemudian terkenal dengan membagi keuntungan pada konsumen-pemiliknya dalam slogan "buy more, get more", siapa belanja lebih banyak dapat manfaat lebih banyak.

Mashab Rochadale ini dari awal juga memiliki pengaruh yang kuat dengan hitungan "economic of scale" bagi berdirinya koperasi simpan pinjam (Credit Union) yang pertama bediri di Jerman yang dikembangkan oleh Schulz Deliz dan F.W Raiffisien yang kemudian banyak berkembang di Eropa, Amerika, Canada dan terus menyebar ke negara lain.

Dua jenis koperasi di atas, baik koperasi konsumen ataupun koperasi kredit adalah jenis koperasi lama. Dua duanya dilatarbelakangi oleh dasar pemikiran "economic of scale", "critical mass", efisiensi kolektif.

Saat ini, telah berkembang pesat jenis koperasi pekerja (worker co-op) dimana pekerja menjadi pemiliknya atau koperasi produsen dimana produsen menjadi pemiliknya atau yang paling mutakhir adalah koperasi multipihak dimana produsen-pekerja-konsumenya menjadi pemiliknya.

Penggunaan model penetapan jumlah orang dalam penetapan skala ekonomi dan "critical mass"untuk pendirian koperasi iu tidak salah. Sama sekali tidak salah. Koperasi koperasi yang berdiri dengan asas ini penting juga karena koperasi-koperasi ini juga telah banyak menyelamatkan masa depan banyak orang di tengah tekanan ekonomi yang sulit akibat kapitalisme global. 

Namun demikian, baiknya tidak dipaksakan menjadi salah satu pertimbangan penetapan pendirian koperasi dalam perundangan karena Undang Undang itu membentuk paradigma masyarakat yang keliru terhadap koperasi. Masyarakat akhirnya hanya akan mengenal satu jenis koperasi dengan asas konsumen adalah pemiliknya seperti misalnya dalam bentuk koperasi konsumen atau koperasi kredit.

Kita dapat lihat akibatnya, koperasi sektor lain di Indonesia menjadi sulit berkembang kecuali koperasi simpan pinjam dan koperasi konsumen sebagian kecilnya. Anak-anak muda yang memulai bisnis sosial satu dua orang terpaksa harus menggunakan model kelembagaan korporasi kapitalis bukan koperasi.

Pengaruh  mashab Rochdale tersebut memang dominan, dan tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Sehingga banyak aktifis koperasi banyak mengalami kesulitan untuk menjelaskan pada para regulator untuk mengubah proses pendirian koperasi dari banyak orang ke dua atau tiga orang.

Pendirian koperasi cukup 3 orang ini tidak hanya sulit untuk dapat diterima nalarnya oleh para regulator tapi juga pada para aktifis koperasi sendiri yang sudah didominasi oleh mashab Rochdale yang begitu lama.

Sebut saja misalnya, Seperti di Jepang yang baru mengizinkan model koperasi pekerja ini dalam bentuk UU Koperasi Pekerja mereka yang  berlaku lex spesialist pada tahun 2010, lalu UU Koperasi di Singapura yang izinkan 5 orang sebagai syarat pendirianya yang juga baru saja diberlakukan.

Di berbagai belahan dunia lainya juga, mereka para aktifis koperasi, terutama koperasi pekerja dan koperasi multipihak sedang berusaha keras untuk menjelaskan masalah ini dan memperjuangkan aspirasi agar pendirian koperasi dapat dilakukan oleh tiga orang.

Masalah pengaturan pendirian koperasi tiga orang ini adalah masalah paradigma. Paradigma yang didominasi oleh mashab Rochdale. Ini menancap betul dengan pengetahuan masyarakat yang salah paham terhadap makna koperasi sebagai perkumpulan orang ( people-based association). Dimana dikiranya berbasis orang itu artinya "banyak orang".

Makna dari perkumpulan berbasis orang itu padahal artinya menempatkan orang lebih tinggi dari modal material. Menjadikan manusia dalam posisi yang supreme, primus atau utama untuk menentukan kebijakan dalam mengelola ekonomi dan sumberdaya alamnya dengan menghargai setiap orang itu dalam posisi yang sama, satu orang satu suara sehingga keadilan dapat dijaga.

Ekonomi itu ditentukan pergerakanya bukan hanya oleh permintaan untuk mengkonsumsi suatu produk atau jasa dalam yang kemudian menjadi dasar pendirian koperasi konsumen atau koperasi kredit, koperasi asuransi dan lain sebagainya, tapi juga ditentukan oleh penawaran dari produk dan ide dalam skop ekonomi ( economic of scope) yang jadi dasar pergerakan koperasi produksi dan pekerja sert koperasi multipihak.  

Koperasi mustinya dapat didirikan oleh dua orang dengan landasan filosofi ini. Economic of scale dan economic of scope. Jadi koperasi bisa didirikan oleh banyak orang sekaligus atau hanya oleh dua orang. Sehingga ketika bicara minimum, pendirian koperasi semestinya dapat didirikan 2 atau 3 orang.

Untuk kasus Indonesia, pergerakan koperasinya yang telah didominasi oleh koperasi Mashab Rochdale ini membutuhkan upaya rekayasa besar, dan disinilah relevansi dari perlunya pengaturanya dalam Undang Undang baru atau yang akan ditarik dalam Omnibus Law nanti.

Alasan lain perlunya pendirian koperasi 3 orang dapat juga didekati secara hukum. Pertanyaannya dapat dimulai dari kenapa koperasi kurang berkembang dan justru sistem ekonomi swasta kapitalis yang berkembang? Padahal UUD 1945 menghendaki agar koperasi yang menjadi soko guru ekonomi, atau agar koperasi berkembang lebih dominan. Adakah hambatan hukum?

Faktanya hari ini, koperasi perananya sangat lemah sekali di Indonesia. Kontribusinya terhadap PDB hanya kurang lebih 5 persen. Inipun lebih banyak didominasi oleh rentenir baju koperasi yang sebetulnya lebih cocok disebut sebagai bentuk kamuflase kapitalisme ketimbang koperasi. 

Ini seperti lelucon, kita bermaksud agar anak anak muda itu tidak menjadi kapitalis, ekonomi kita jangan menjadi kapitalis, tapi kita justru sibuk untuk mencegah agar anak anak muda tersebut kesulitan untuk mewujudkan koperasi, dan merealisasikan demokrasi ekonomi dalam hidup mereka sehari hari, dan itu dilakukan dengan menghambat kehendak natural anak anak muda untuk berkoperasi yang seharusnya bisa didirikan oleh dua atau tiga orang saja. 

Menjawab pertanyaan hukum di atas, maka salah satu argumennya adalah bahwa salah satu sebab penghambat perkembangan koperasi adalah dalam proses pendirianya. UU No. 25 Tahun 1992 yang mengatur minimal koperasi hanya dapat didirikan oleh 20 orang adalah penghambatnya.

Dua orang adalah angka minimal, tapi dengan pertimbangan demokrasi koperasi maka baiknya digunakan angka 3 orang. Ini semata sebagai pertimbangan teknis dalam menghindari situasi "deadlock" dalam pengambilan keputusan.

Koperasi mustinya juga dimaknai sebagai perkumpulan orang yang berarti teridiri dari minimal 2 orang atau lebih. Tidak boleh ditafsirkan lain karena ini secara definisi bersifat aksiomatik, bahwa demikianlah kebenaran dari definisi itu. Koperasi harusnya dihargai sebagai kehendak natural orang untuk berkumpul dan membentuk organisasi koperasi.

Kenapa perusahaan swasta kapitalis berkembang pesat sementara koperasi mandeg? Kita dapat analogikakan bahwa dalam mendirikan koperasi untuk tujuan mencapai kesejahteraan itu mustinya dua orang cukup. Kenapa begitu banyak perusahaan kita biarkan berkembang secara kapitalistik padahal mereka sebetulnya tanpa hambatan hukum mustinya dapat menjadi koperasi apabila tidak disyaratkan harus 20 orang.

Diluar dari tema soal pendirian koperasi oleh 3 orang. Sebetulnya koperasi di Indonesia ini kalau sungguh ingin direformasi secara total butuh pembaharuan dalam berbagai undang undang sektoral lainya seperti UU Perpajakan, UU BUMN, UU Penamaman Modal, UU Runah Sakit, UU Perbankkan, dan hampir dari keseluruhan undang undang menyangkut ekonomi dan kemasyarakatan yang ternyata tempatkan koperasi kita itu dalam posisi subordinat, didiskriminasi, dan bahkan dieliminasi dari lintas bisnis modern. Disingkirkan melalui hukum dan banyak kebijakan.

Lebih luas dari itu, seharusnya UU Omnibus Law yang menjadi terobosan penting bagi mandegnya sistem hukum kita yang sudah over regulated dan tumpang tindih saat ini seharusnya dimanfaatkan oleh masyarakat sipil untuk dibuat narasi tanding dengan bersikeras untuk jadikan Omnibus Law ini sebagai regulasi dengan isi atau substansi untuk memperkuat demokrasi ekonomi dan lindugi kepentingan rakyat, bukan justru sebaliknya seperti yang ada dalam draft RUU.

Tampaknya, publik gerakan koperasi masih akan menunggu, apakah RUU Omnibus Law yang memuat regulasi baru pendirian koperasi itu akan disyahkan atau tidak. Jika jadi diundangkan, sejarah (pendirian) koperasi sangat mungkin akan ber-evolusi. Jika batal diundangkan, mungkin semua akan “biasa-biasa” saja.

(PRIONO)

Kategori
WARTAUTAMA

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar