Terdampak Covid-19, Layakkah Koperasi Dapat Bantuan?
Oleh : PRIONO
Setelah mendapat desakan banyak pihak, Pemerintah merilis Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi (COVID-19), awal April lalu. Melalui PP itu, Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 405,1 triliun untuk menangani pandemi Covid-19, termasuk dampaknya bagi perekonomian.
Alokasi dananya, Rp 70,1 triliun sebagai insentif perpajakan dan stimulus Kredit Usaha Rakyat (KUR). Lainnya, sebesar Rp 150 triliun dialokasikan untuk menambal pemulihan ekonomi nasional yang tengah lesu.
Sayangnya, sampai hari ini (17/4), belum ada regulasi turunan PP 1/2020 yang menegaskan, bahwa insentif dan stimulus ekonomi itu termasuk untuk kalangan koperasi. Pertanyaanm lain, layakkah koperasi mendapat stimulus? Koperasi seperti apa yang sebaiknya mendapat insentif?
WartaKoperasi.net menghimpun beragam pendapat dari sejumlah pegiat koperasi. Ahmad Subagyo dari Koperasi Jasa Audit Indonesia mengakui, ada yang berpendapat bahwa Koperasi tidak menjadi bagian yang diperhitungkan sebagai penerima manfaat dana bantuan “dampak covid-19”. Salah satunya terkait dengan filosofi koperasi itu sendiri, bahwa Koperasi merupakan organisasi yang mengatur dirinya sendiri. Pemilik dan penggunanya adalah anggotanya. Sementara, anggota koperasi, baik yang berasal dari kalangan UKM maupun Pekerja akan mendapatkan skema bantuan dari dana tersebut. Apabila mereka, anggota koperasi, secara individu telah menerima bantuan langsung dana "dampak covid-19" dari Pemerintah, maka akan terjadi “double counting” jika secara bersamaan mereka juga mendapatkan dari koperasinya. Saya kira argumentasi ini masuk akal juga. Setidaknya secara parsial.
"Pendapat kedua, Koperasi adalah suatu entitas legal yang diakui secara hukum dan sekaligus pelaku ekonomi yang pemiliknya dapat dipastikan 100% milik warga Indonesia dan anggota pemiliknya sebahagian besar adalah masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Walaupun ada sebagian yang dimiliki kelas menengah. Karenanya koperasi termasuk yang harus mendapat stimulus dampak Covid-19," papar Subagyo.
Bagaimana dengan Koperasi Pegawai RI?
Dihubungi melalui pesan singkat, Jumat (17/4), Wan Lukman Hakim dari Pusat Koperasi Pegawai RI (PKP-RI) Serang berpendapat, koperasi memiliki banyak sektor usaha riil. Gerakan koperasi di PKPRI Serang, misalnya, pendapatan usahanya bergerak di sektor usaha sewa wisma, aula dan perhotelan/penginapan Syariah. "Selama pandemi covid-19 ini semua kegiatanya ditutup dari pertengahan Maret sampai dengan waktu yang belum bisa ditentukan. Jadi kami sungguh sangat terdampak," papar Lukman. Lantas seperti apa stimulus yang diharapkan? "Stimulus yang dibutuhkan adalah bentuk bantuan langsung untuk membayar kewajiban gaji karyawan listrik dan lainnya," imbuh Lukman.
Sejumlah pernyataan Lukman di atas diamini koleganya dari Gabungan Koperasi Pegawai RI (GKP-RI) Jawa Tengah Bambang Suhardijo. Kepada wartakoperasi.net, Jumat (17/4), Bambang mengemukakan, dampak ekonomi Covid-19 sangat terasa di kalangan entitas gerakan koperasi yang memiliki usaha produktif di sektor riil dan jasa. Sebut saja unit usaha wisma, hotel dan rumah makan. "Di Jawa Tengah saja, setidaknya ada 8 sekunder provinsi dan kabupaten (GKP-RI Jateng dan PKP-RI Kabupaten) yang memiliki usaha hotel dan rumah makan. "Mereka tersebar di Semarang, Kendal, Blora, Purworejo, Purbalingga, Grobogan, hingga Banjarnegara," papar Bambang.
Pandemi Covid-19 memang menurunkan angka kunjungan wisata akibat kebijakan Social Distancing dan PSBB oleh Pemerintah pusat. Alhasil sektor pariwisata terpukul telak. Kunjungan wisata turun dan okupansi hotel-hotel mencapai titik terendah. Ada ratusan ribu tenaga kerja wisata dan perhotelan yang harus terus dihidupi. "Dengan kondisi saat ini, yang paling berat itu komponen biaya listrik dan gaji karyawan," imbuh Bambang.
Setali tiga uang dengan Aceh, dimana entitas Koperasi Pegawai RI orientasi bisnisnya tidak melulu simpan pinjam. "Kami menggarap sektor usaha kantin dan rumah makan,percetakan, toko elektronik, hingga perhotelan. Saat ini mayoritas tiarap dan bingung," papar Ketua GKP-RI Aceh Mahadi Bahtera. Ia menilai perlu skema bantuan langsung tunai melalui Kementerian Koperasi agar usaha koperasi bisa bernafas kembali.
" Koperasi kegiatan usahanya menurun secara luar biasa, di atas 50%, karena partisipasi anggota juga turun sebagai dampak pelemahan ekonomi. Sementara beban operasional dan beban hutang rrelatif tinggi," papar pegiat Koperasi Pegawai RI M.Djuhaedi. "Bantuan insentif atau stimulus dapat berupa penagguhan cicilan, hutang, pinjaman tanpa jasa, dana hibah, bantuan alat produksi dan pemasaran," imbuh Djuhaedi.
Pegiat Koperasi Wanita Jawa Timur Dr. Sri Untari tegas mengemukakan, banyak UKM yang menjadi anggota dan dibina serta dibiayai koperasi, maka selain membebaskan pajak untuk UMKM selama 6 bulan, maka koperasi sebagai induk usaha UMKM juga harus mendapatkan perlakuan yang sama, yaitu pembebasan pajak untuk koperasi, untuk semua jenis koperasi ," papar Sri Untari.
Pendapat berbeda disampaikan Ketua Umum IKP-RI Prof.Dr. Agustitin Setyobudi terkait insentif dan stimulus bagi koperasi. "Dalam pandangan Saya, Koperasi sebagai penyalur bantuan stimulus masih bisa dibolehkan, hanya saja jika sebagai penerima maka tidak boleh, apalagi untuk kalangan Koperasi Pegawai Republik Indonesia (KPRI)," ujar Agustitin. Dengan kata lain, tak semua koperasi layak atau perlu menerima bantuan.
Menurut Subagyo, Koperasi sebagai entitas usaha pasti terdampak pandemi COVID-19. Dari kelima jenis koperasi yang paling ter-dampak adalah Koperasi Simpan Pinjam (KSP/KSPPS). Sektor keuangan adalah salah satu sektor yang paling rentan terhadap suatu krisis. Koperasi Simpan Pinjam nyawanya ada di cash flow keuangan-nya. Ketika terjadi bleeding (cash out) yang tidak terkendali, maka mereka hanya tinggal menunggu waktu. Berapa lama mereka dapat bertahan? Jawabannya seberapa kuat mereka memiliki cadangan cash untuk menahan agar tetap survive.
Kondisi Ketika masyarakat tidak memiliki lagi pendapatan, maka pasti yang dilakukan adalah menggunakan simpanan-nya, baik uang tunai yang ada di laci rumahnya maupun yang ada dalam simpanan tabungan-nya di lembaga keuangan. Sementara Koperasi sulit sekali untuk menghimpun dana, baik yang berasal dari simpanan maupun pengembalian angsuran pinjaman dari anggota-nya. "Saya percaya, tidak ada badan usaha saat ini yang mampu menghindar dari “tekanan ekonomi” akibat pandemic COVID-19," pungkas Subagyo. Ia juga menekankan perlunya Pemerintah dan publik obyektif akan kontribusi koperasi bagi perekonomian.
Kontribusi Koperasi pada PDB Nasional di tahun 2018 sebesar 5,1%. Angka 5.1% terlihat kecil dibandingan dengan angka sisanya 94,9%. Namun perlu diingat, bahwa 5,1% itu berasal dari kontribusi anggota Koperasi yang berjumlah sekitar 12.015.208 orang. Peran Koperasi dalam Inklusi keuangan nasional 2018 sebesar 36%, sementara Perbankan kita berkontribusi hanya 19%. Dalam salah satu riset Bank Dunia (2015) dilaporkan bahwa masyarakat mengenal pertama kali transaksi keuangan melalui Koperasi sebesar 72% dari total responden. Angka-angka di atas dapat menjadi bukti bahwa Koperasi memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian kita, terutama untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
"Tidak perlu ada perdebatan lagi, KOPERASI memang seharusnya dibantu agar “entitas asli milik bangsa” ini tetap dapat bertahan dan berkelangsungan jangka Panjang. Tak kalah penting “ASAS KEADILAN” ditegakkan," pungkas Subagyo. (*)
Komentar