HAK KONSTITUSI KOPERASI, Sebuah Utopia atau Realita?
Oleh Prof. Dr. Ahmad Subagyo (Wakil Rektor III IKOPIN University)
Ekonomi, menjadi “sesuatu yang menarik”.
Berbicara ekonomi berarti membicarakan tentang kehidupan, karena tidak akan hidup tanpa kegiatan ekonomi.
Ada tiga kegiatan utama ekonomi yaitu produksi, distribusi dan konsumsi. Sebagian manusia ada yang mengambil peran produksi baik menghasilkan barang atau jasa, sebagian yang lain melakukan kegiatan distribusi dan semuanya melakukan kegiatan konsumsi. Artinya, bahwa mereka yang mengambil peran produksi dan distribusi tidak dapat melepaskan perannya sebagai konsumen.
Peran produsen memiliki fungsi yang sangat menentukan dan membutuhkan syarat dan prasyarat yang paling berat dibandingkan dua kegiatan lainnya. Produsen membutuhkan sumber daya ekonomi (5M) untuk dapat menghasilkan barang atau jasa, sedangkan distributor dan konsumen dapat melakukan fungsinya sebatas resources yang dimilikinya.
Kegiatan distribusi dan konsumsi sangat tergantung pada aktivitas produksi yang menghasilkan barang/jasa. Maka dalam rantai ekonomi, unsur yang memegang kendali adalah produsen.
Memahami “fungsi produksi” yang demikian crusial, urgent dan critical, maka para founding fathers kita memasukkan fungsi ini dalam UUD 1945, yaitu Pasal 33 ayat (2) “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak di kuasai oleh negara.”
Pertanyaan yang menggelitik kita adalah manakah cabang-cabang produksi yang penting bagi negara itu? Dalam kacamata ekonomi, cabang-cabang yang penting bagi negara adalah seluruh kebutuhan pokok utama yang di konsumsi oleh warga negara yaitu air, api (energi) dan tanah (sumber bahan pangan).
Dalam menjalankan kegiatan ekonomi ada pembagian peran “pelaku ekonomi” yaitu Pemilik dan pekerja. Pemiliki (owner) adalah mereka yang memiliki sumber daya ekonomi (modal-uang, material, teknologi dan mesin), sedangkan pekerja (man) adalah bagian dari unsur produksi itu sendiri yang dikendalikan oleh pemilik sumber daya.
Hubungan antara pemilik dan pekerja dalam ekonomi kapitalis menempatkan pemilik sebagai penguasa dan pekerja setara dengan sumber daya ekonomi lainnya (machine, material & money), sehingga dalam ekonomi kapitalis pemilik modal adalah penentu dalam kegiatan ekonomi Masyarakat.
Sadar akan system perekonomian yang dijalankan suatu negara akan menentukan pencapaian tujuan negara yang ber-keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia, maka founding fathers kita mengamanatkan dalam UU dasar kita di Pasal 33 ayat (1) “Perekonomian disusun sebagai usaha Bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.” Pasal ini menegaskan prinsip perekonomian yang disusun sebagai usaha Bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Koperasi, sebagai bentuk usaha bersama, dapat di lihat sebagai implementasi dari prinsip ini.
Terminologi ekonomi kapitalis menjelaskan bahwa untuk melakukan usaha harus tersedia modal, dan modal dimiliki oleh pemilik modal, sehingga hanya pemilik modal saja yang berhak untuk memiliki usaha. Lalu dalam berbagai teori akademik dikembangkan bahwa modal adalah uang, sehingga hanya yang memiliki uang saja yang berhak menjadi pemodal dan pemilik usaha (pengusaha). Mindset inilah yang ditanamkan dan menjadi kepercayaan generasi kita dalam berkehidupan dan berekonomi mereka, sehingga mereka berebut pekerjaan untuk mencari modal (uang).
Tugas dan fungsi negara yang hadir untuk memberikan ruang dalam kepemilikan usaha Bersama pun makin dipersempit jalannya dan dikurangi anggarannya dalam pemberdayaan ekonomi rakyat.
Sedikit demi sedikit rakyat dan Masyarakat dilepas ke pasar bebas untuk bertarung sendiri dengan para kapitalis yang sudah telanjur kuat mendapatkan fasilitas ekonomi karena berkongsi dengan para pengambil kebijakan dan keputusan.
Masyarakat lemah, miskin dan tak bermodal makin terpinggirkan tereliminasi dalam pertarungan ekonomi di negeri-nya sendiri.
Koperasi adalah jalan untuk menampung para pelaku ekonomi lemah melakukan Upaya dan usaha Bersama memperbaiki ekonomi dan kehidupan mereka dengan berbekal kekayaan bangsa dan negara berupa energi dan kekayaan tanah serta kandungan yang ada di dalam-nya yang seharusnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyatnya makin tak terjangkau oleh mereka yang lemah.
Sebenarnya rakyat Indonesia sejatinya bukan Masyarakat peminta-minta, mereka adalah anak-anak kandung para pejuang negeri ini, mereka hanya perlu diberikan jalan dan kesempatan serta perlindungan untuk berkembang dan menjadi kuat oleh pemerintah dan negara yang seharusnya menaungi dan melindungi mereka. Jalan pemerataan kekayaan dan keadilan yang kita temukan dalam berbagai model kepemilikan Perusahaan di dunia, hanyalah KOPERASI.
Kita pernah mengalami masa kejayaan Koperasi tahun 70an sampai akhir 90-an.
Usaha-usaha koperasi yang bermain di sektor usaha “HULU” alias produsen mendapatkan kesempatan yang adil dari Pemerintah saat itu. Produsen “baju-pakaian” di komandani oleh Koperasi Batik dan Tekstil yang maju dan berkembang luar biasa saat itu.
Jejak peninggalan kebesaran Koperasi masih dapat kita lihat sampai saat ini. Perusahaan-Perusahaan tekstil dimiliki oleh Koperasi (GKBI) tumbuh di sentra-sentra industry tekstil (Pekalongan, Cirebon, Semarang, Solo, Jogja dan lainnya). Bahkan, salah satu kehebatan koperasi GKBI, gedung dan tanah peninggalannya yang berlokasi di ibu kota, saat ini disewa oleh Bank BRI dan dijadikan sebagai kantor pusat.
Perusahaan produsen tahu tempe dimiliki oleh koperasi (KOPTI) tumbuh hampir di semua kita, produsen-produsen bahan pangan di kuasai oleh Koperasi Unit Desa (KUD) di seluruh negeri, produsen-produsen susu (GKSI) tumbuh besar di wilayahnya masing-masing, di Bandung, Malang, Purwokerto dan wilayah lainnya. Intinya, masyarakat mampu memiliki perusahaan-perusahaan milik mereka sendiri, mereka mampu mendirikan Rumah Sakit, Sekolah, rumah-rumah ibadah, pasar dan fasilitas publik lainnya yang di bangun melalui modal Bersama dari Koperasi induk mereka.
Kini, semua kisah dan memori indah itu tinggal sejarah. Koperasi hanya dijadikan pusat agregasi konsumen, yang didorong dan dihidupkan di sisi HILIR nya saja, untuk digiring dan dijadikan pusat-pusat konsumsi di Koperasi Karyawan, Koperasi Pegawai, Koperasi Guru, yang bertugas menyerap produk-produk impor secara besar-besaran.
Jika arah pembangunan ekonomi terus berlanjut tanpa pembaharuan, maka bangsa kita akan menjadi "kacung-kacung" di negerinya sendiri. Berdiri dan hidup dalam genggaman konglomerasi kapitalis, tanpa punya keberdayaan untuk mengatur dirinya sendiri karena tidak memiliki usaha bersama yang mandiri.
Bagaimana mereka mampu akan kembali mengukir sejarah di masa depan dengan kejayaan Koperasi-nya, jika Undang-Undang yang disusunnya telah mengamputasi peran-peran strategis mereka dalam menjalankan usaha yang adil di negerinya sendiri?
KOPERASI, saat ini di negerinya sendiri diasingkan dan sedikit demi sedikit dimatikan. Sebenarnya arah Pembangunan ekonomi kita akan di bawa kemana? (*)
Komentar