Diferensiasi LKM dan KSP, Mengurai Kesalahpahaman

img-1671171453.jpg

Oleh. Dr. Ahmad Subagyo (Ketua Umum IMFEA)


Para pembelajar mikro ekonomi, tak jarang akan akan mendapati kajian tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Adapun bagi pemerhati Perkoperasian, ia hampir pasti akan bersinggungan dengan Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Uniknya, tak sedikit orang yang masih belum memahami perbedaan keduanya.  

Hingga saat ini, tidak sedikit orang yang masih gamang dalam membangun diferensiasi antara LKM dan KSP, yang pada hakekat, prinsip, dan orientasi keduanya, memang berbeda.

Prinsip keuangan mikro, adalah membuka seluas-luasnya akses keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Adapun prinsip koperasi, adalah dari-oleh dan untuk anggota. Orientasi keuangan mikro adalah memberikan layanan keuangan baik berupa tabungan, pinjaman, asuransi dan akses keuangan lainnya seperti pembayaran, pengiriman uang, gadai dan sebagainya, kepada masyarakat berpenghasilan rendah atau usaha mikro.

Artinya, siapa pun yang memberikan layanan kepada usaha mikro, maka mereka telah mempraktekkan keuangan mikro. Lembaga keuangan sebesar Bank sekalipun, ketika ia memberikan layanan melalui produk-produk keuangannya kepada masyarakat berpenghasilan rendah (usaha mikro), maka bank tersebut dapat disebut bank mikro. Sekali lagi, acuannya, adalah layanan kepada usaha yang beskala mikro.

Dalam prakteknya, pelayanan keuangan kepada usaha mikro bukan hanya bisa dilakukan oleh bank. Tapi juga oleh perusahaan gadai, perusahaan asuransi, perusahaan fintech, perusahaan ventura dan Lembaga Keuangan Mikro.

LKM sebagai entitas usaha yang mendapatkan ijin beroperasi dari Otoritas Jasa Keuangan, hanya dapat melayani usaha mikro dan pemberdayaan terhadap nasabah yang dilayaninya. Lembaga ini tidak diperbolehkan beroperasi untuk sasaran di luar skala kecil. Skala menengah, misalnya. Walaupun asset Lembaga ini, pada suatu saat bisa lebih besar dari Bank (BPR). Maka, di luar negeri Bank BRI lebih dikenal sebagai Bank Mikro, meskipun kita tahu asset dan turn overnya sangat besar. Margareth Robinson, dalam bukunya MICROFINANCE REVOLUTION, menyebut bank mikro terbesar di dunia adalah Bank BRI.

Bagaimana dengan KSP?

Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dikenal sebagai entitas usaha bersama oleh para anggota pemiliknya dalam memenuhi kebutuhan keuangan mereka secara mandiri. Usaha yang dijalankan oleh KSP adalah usaha tunggal, yaitu usaha simpan pinjam.

Anggota KSP boleh berlatar belakang usaha apa saja, namun mereka memiliki kebutuhan bersama di bidang keuangan sehingga mereka bergabung dalam usaha bersama yang di sebut usaha simpan pinjam. Koperasi Simpan Pinjam (KSP) hanya memiliki satu bentuk badan hokum, yaitu KOPERASI.

Koperasi Simpan Pinjam dalam kedudukan dan pengaturan serta pengawasannya, mendapatkan distingsi dari sektor keuangan lainnya. Hal ini karena kepemilikan, pelayanan dan risiko-nya ditanggung bersama oleh para anggotanya.

Keunikan KSP dari Lembaga keuangan lainnya, adalah terkait regulasi yang memayunginya. Kedudukan KSP sebagai lembaga usaha berbadan hukum koperasi, berada di bawah UU yaitu UU Perkoperasian.

KSP yang beroperasi sesuai dengan prinsip koperasi, domain pelayanannya hanya kepada pemiliknya sendiri, yang tak lain adalah anggotanya. Risiko usahanya, juga ditanggung sendiri oleh para pemiliknya, yaitu anggotanya, serta diawasi oleh Lembaga tersendiri di luar Otoritas Jasa keuangan (OJK).

Perbedaan lainnya dibandingkan dengan LKM, Skala layanan KSP diperbolehkan melayani usaha skala mikro sampai usaha besar, tergantung kapasitas dan kesepakatan dari para anggotanya yang dalam hal ini adalah sekaligus sebagai pemiliknya. Distingsi lainnya, KSP dapat beroperasi secara nasional sesuai dengan ijin operasionalnya. Sedangkan LKM, sesuai regulasinya, hanya dapat beroperasi di tingkat Kabupaten/Kota.

Sejumlah Persamaan dan Perbedaan

Disamping perbedaan, ada kesamaan antara LKM dan KSP. Salah satunya, kebanyakan KSP melayani anggotanya yang sebagian unbankable. Sehingga sebagian besar KSP melayani usaha mikro. Namun, KSP tetap bisa melayani anggotanya yang bukan beraktegori kelompok ekonomi mikro. Bukan hal aneh jika ada KSP yang mampu memberikan pinjaman miliaran kepada satu-dua anggotanya. Alhasil, Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) tidak berlaku di KSP.

Ketiadaan BMPK pada KSP, kadang dimanfaatkan secara tidak semestinya. Ada koperasi gagal yang diakibatkan kredit koperasi dipergunakan sendiri oleh salah satu anggotanya dengan BMPK di atas ambang batas risiko. Pertanyaannya, apakah salah jika KSP memberikan pinjaman kepada anggotanya sendiri? Sepanjang tidak ada peraturan yang mengaturnya, maka tidak ada kata salah. Namun, jika pertanyaannya adalah, apakah melanggar GCG? Jawabannya jelas, ya, pasti melanggar!

Prinsip-prinsip GCG yang dilanggar adalah Transparan, Akuntabel, Responsibel, Independen dan Adil. Melanggar independensi, karena pada umumnya pengelola dalam tekanan. Melanggar prinsip keadilan, karena dana anggota hanya dimanfaatkan oleh segelintir orang, dan seterusnya. Tapi siapa peduli? Lha wong, peraturan tidak ada. Kalaupun ada, apakah ada sanksinya? Ketika ada kegagalan, maka masyarakat banyak yang akan menjadi korban. Itu saja baru bicara salah satu unsur dari unsur-unsur PRUDENTIAL, belum lagi membahas 12 unsur prudential lainnya.

Terkait perbedaan perlakuan dan pengaturan dalam bisnis proses, aktivitas bisnis LKM diatur dengan standar-standar penilaian yang tidak jauh berbeda dengan PRUDENTIAL BANKING, namun tetap dengan sejumlah penyesuaian. Tabel berikut adalah sejumlah perbedaan antara KSP dengan LKM.

 

Keterangan

LKM

KSP

Badan Hukum

PT dan Koperasi

Koperasi

Kegiatan Usaha

Usaha Simpan Pinjam dan Jasa Keuangan lainnya

Usaha Simpan Pinjam

Batas Wilayah Kerja

Kabupaten/Kota

Nasional

Sanksi

Ada

Tidak ada

Sasaran Layanan

Masyarakat Umum

Pemiliknya sendiri (anggota)

 

Badan Hukum

Jika KSP hanya berbadan hukum KOPERASI, naka LKM dapat memilih badan hukum Perseroan (PT) atau Koperasi. Mengapa LKM dapat berbadan hukum Koperasi? Itu berawal dari praktek usaha simpan pinjam yang di-inisiasi oleh Pemerintah melalui Program Bantuan Sosial (BANSOS).

Dana Bansos yang berputar di masyarakat jumlahnya triliunan rupiah dan kepemilikannya sudah terlepas dari negara karena sudah dimiliki oleh masyarakat. Bertujuan untuk mengamankan dana itu dan agar usaha bersama yang telah dijalankan oleh masyarakat tetap berlanjut jangka panjang, maka perlu ada badan hukum dan badan usaha yang memayunginya.

Pemerintah memberikan dua pilihan, yaitu Perseroan (PT) atau Koperasi. Dalam prakteknya, masyarakat ada yang memilih dan berubah menjadi Perseroan. Hal ini terjadi ketika Pemerintah Daerah (Pemda) ikut berkontribusi dalam kepemilikan lembaganya dengan menyertakan 60% dana APBD ke dalam Perseroan yang didirikannya dan sisanya oleh masyarakat. yang selama ini mengelola dana tersebut.

Ada juga pemerintah daerah yang tidak bersedia untuk ikut berkontribusi dalam kepemilikan karena tidak ada persetujuan dari salah satu pihak di unsur pemerintahan-nya. Dalam situasi demikian, maka para pengelola dan pengguna dana BANSOS tersebut memilih badan hukum koperasi.

Mengapa tidak menggunakan badan hukum koperasi dan berijin sebagai Usaha Simpan Pinjam? Hal ini karena dari awal dana yang bergulir memang diperuntukkan agar bermanfaat bagi masyarakat banyak. Sehingga, mereka tetap dapat melayani masyarakat umum lainnya. Alasan lainnya, adalah ada keyakinan dari stakeholder bahwa pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan menjadi pilihan terbaik bagi komunitas ini.

Pengaturan

Pengaturan LKM dan KSP berbeda. LKM memiliki model yang relatif sama sebagai usaha jasa keuangan. Hanya yang ber genre Bank Wakaf Mikro (BWM) saja yang berbeda, di mana usaha yang dilakukan hanya berupa penyaluran saja karena penghimpunan tidak diperbolehkan. Sedangkan LKM non BWM beroperasi secara generic. KSP, dalam prakteknya di Indonesia memiliki banyak model, hal inilah yang perlu mendapatkan perhatian dari regulator.

KSP yang berpraktek dengan model bisnis tanggung renteng yang sebagaian besar dipraktekkan oleh Koperasi Wanita (KOPWAN) misalnya, jika ke depan dalam penilaian Kesehatan menggunakan kriteria CAMEL murni misalnya, maka menjadi tidak relevan, karena kualitas aktivanya tidak tergantung pada collateral. Demikian juga praktek simpan pinjam yang dijalankan oleh Koperasi Pegawai Negeri (KPRI) atau Koperasi karyawan (KOPKAR) misalnya, yang mana sumber pembayaran berasal dari pemotongan gaji (fixed income). Jika kriteria penilaian kesehatan yang dibangun berbasis collateral fisik, maka juga tidak relevan.

Standar-standar penilaian kinerja keuangan dari KSP perlu mengembangkan Penilaian berbasis Model Bisnis. Hal inilah yang mendorong mengapa Koperasi Primer perlu mendapatkan pengakuan dari komunitas koperasinya sendiri, diantaranya dengan adanya “KEHARUSAN” untuk bergabung dalam KOPERASI SEKUNDER-nya. Ini juga merupakan sebentuk penerapan prinsip koperasi ketujuh (Kerjasama Antar Koperasi). Koperasi sekunder dengan berbasis bisnis model ini lantas mengembangkan kriteria penilaian kesehatannya sendiri. Tentunya tetap akan disyahkan oleh regulator sebagai penentu kebijakan Perkoperasian kita.

Risiko Usaha

Baik LKM maupun KSP, memiliki risiko inheren yang sama, namun dalam melakukan mitigasi risiko eksternal akan berbeda. LKM, karena memiliki standarisasi baik kredit/pembiayaan, operasional, dan likuiditasnya dengan Lembaga sektor keuangan lainnya, maka ukuran profil risikonya juga relatif sama. Kesamaan ini akan lebih memudahkan bagi Otoritas dalam mendorong Lembaga ini untuk masuk dalam ekosistem keuangan yang sudah ada (existing). Seperti LPS, Biro Kredit, dan sebagainya.

Ada optimisme baru dikaitkan dengan adanya UU P2SK. Nantinya, tatakelola KSP diharapkan akan lebih baik, lebih bermanfaat bagi anggotanya, memiliki ekosistem yang lebih baik dan mampu berkompetisi dengan Lembaga keuangan lainnya. Barangkali terasa sakit awalnya, namun Penulis berkeyakinan ini awal dari proses perubahan menuju kepada perbaikan.

Merupakan sebuah tantangan bagi KSP dan regulatornya untuk membangun kerangka risiko (RISK FRAMEWORK) sebagai Langkah awal dalam mendesain “AKTUARIA RISIKO KSP” sebagai dasar untuk memulai meletakkan fondasi dan kerangka bangunan LSP Koperasi ke depan.

Kunci isu LPS Koperasi, adalah sepanjang mitigasi risiko sudah mulai terukur dan terkendali melalui penerapan manajemen risiko bagi Koperasi Simpan Pinjam dengan bisnis model masing-masing, maka proyek membangun LPS KOPERASI sudah dapat di mulai. Namun, jika manajemen risiko belum menjadi BUDAYA dan PENERAPANNYA masih jauh dari REGULASI dan praktek berkoperasi kita, maka LSP KOPERASI akan menjadi UTOPIA. (*/pr)

Kategori
WACANA

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar