"Benih, Komunitas, dan Lawan Corona"


Kapan pandemi corona ini berakhir? Jika tidak mati karena corona, ya mati karena kelaparan. Pertanyaan dan pernyataan ini semakin akrab di kepala kita. Ketidakpastian masa depan memicu kegelisahan: kita dipaksa untuk berubah atau bersiaplah punah. 

           “Membagi sembako, membuat APD itu baik tapi nafasnya tidak akan panjang. Donasi juga mulai menurun karena para donatur pun membutuhkan nafas untuk terus hidup,” terang Sabrang Mowo Damar Panuluh melalui sambungan seluler dalam acara ‘Gambang Syafaat’ (25/04) yang dilakukan secara online.

               Dalam forum bulanan Maiyah Semarang yang diadakan setiap tanggal 25 itu, putra sulung Emha Ainun Nadjib ini mengajak masyarakat untuk mulai bergerak secara mandiri. Pemerintah memang telah menggelontorkan dana 600 ribu per KK untuk memberi nafas paling tidak selama 3 bulan. Tapi kita harus memikirkan sisa nafas agar lebih panjang.

            Mengulang sedikit di bagian mukadimah Gambang Syafaat edisi April 2020 dengan tema ‘Benteng Kewaspadaan’. Setidaknya ada 4 (empat) bentuk kewaspadaan, yaitu benteng spiritual melalui mendekatkan diri kepada Sang Khalik, benteng ritual dengan berwudhu, benteng rasional dengan melaksanakan protokol covid-19 seperti memakai masker dan menjaga jarak. Serta benteng sosial dengan banyak berbagi melalui sedekah. Keempat benteng ini akan berfaedah jika dilakukan secara serentak, setidaknya dalam lingkup keluarga masing-masing.

            Namun yang jauh lebih penting, perlu disusun sebuah mekanisme yang lebih stabil untuk jangka menengah dan jangka panjang. Apalagi kita tidak bisa memprediksi dengan pasti kapan pandemi ini akan berakhir. Menurut scientist, para peneliti, asumsi optimisnya pandemi berakhir tahun 2022, asumsi pesimisnya 2025. Lebih pesimis lagi akan terus berlangsung seperti ini seumur hidup. Kita harus hidup berdampingan dengan corona.

            Secara umum kondisi saat ini memang tak menentu, semua mengalami kesulitan yang hampir sama di seluruh dunia. Ada yang nafasnya panjang, ada yang lebih pendek. Tapi kalau dilihat dari sudut pandang supply, kita memiliki permasalahan yang sama. Walaupun mempunyai uang yang banyak anda tidak akan bisa membeli apa-apa jika barangnya tidak ada.

            Sabrang mencontohkan skema perekonomian mikro pada perputaran ayam. Sekarang harga ayam drop, maka daripada disimpan dan tidak kuat memberi makan, peternak memilih untuk menjual dengan harga murah. Efeknya biaya untuk memelihara jadi tidak ada. Produksi berkurang.

            Sebagai pembanding, sejak 1945 Indonesia hanya sekali melakukan swasembada beras, yaitu tahun 1986. Kita tidak mampu menghidupi diri sendiri dan terus-menerus mengimpor. Masalahnya, bagaimana jika negara yang memiliki beras itu sekarang tidak mau mengekspor. Mereka juga butuh untuk menghidupi masyarakatnya sendiri.

            Paparan Sabrang itu memberikan gambaran bagaimana ketergantungan ekonomi kita pada mekanisme pasar. Kita terbiasa dengan pasar yang terkoneksi atau bersambungan secara global. Melakukan transaksi jual beli di pasar. Pasar ini bersambungan se Indonesia kemudian bersambungan dengan seluruh dunia. Apa yang terjadi jika pasar dunia goyah? Kita pun akan ikut goyah karena semuanya merupakan sambungan (connection).

Pentingnya membangun komunitas

            Lalu langkah riil apa saja yang harus kita lakukan? Sabrang mengajak kita untuk mulai menyiapkan strategi logis menghadapi dampak Covid 19. Dimulai dengan menciptakan sel terkecil (komunitas terkecil) di lingkungan terdekat. Bisa mulai dengan menanam sayuran untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, sehingga kita tidak tergantung pada pasar.

            Kemudian ciptakan pasar lokal (satu komunitas). Semangat komunitas ini adalah bergandengan tangan, mangan bareng-ngelih bareng (makan bersama, lapar bersama). Jika ada surplus produksi, baru dimasukkan dilempar ke market. Hal ini bisa menjadi revolusioner besar jika dilakukan secara massif. Memang terkesan simple (sederhana) tapi ‘ketahanan’ perlu dilakukan dari klaster terkecil, kumpul dengan teman teman, sekampung di mana saja.

            “Anda punya apa, tetangga anda kurang apa. Bisa saling membantu.” Terang vokalis band Letto ini. Istilahnya subsidi silang (siapa yang kurang bisa dicukupi yang lain), saling melengkapi dan memenuhi kebutuhan masing-masing. Di wilayah ini, kita dipaksa berpikir secara komunal, bukan lagi individual.

               “Tersier industri mati, Industri hiburan apalagi. Kita harus mulai berdaya dari sel terkecil. Sel terkecil itu bukan keluarga. Tapi klaster (cluster) per komunitas, per desa itu sangat penting untuk bisa menghidupi dirinya sendiri,” tuturnya. Membantu urusan distribusi pangan, menurutnya, harus dimulai dari klaster area karena paling strategis. Ia berpendapat naluri gotong-royong masyarakat kini sangat kurang. Situasi pandemi bisa menjadi momentum menghidupkan kembali tradisi gotong-royong.

            Dua sampai tiga bulan mendatang akan didata klaster mana yang kelebihan atau kekurangan pangan. Ia memprediksi kalau data per klaster jelas maka akan mudah melakukan gerakan lanjutan. Ia mengilustrasikan 2 (dua) langkah. Pertama, mengupayakan kebun di teras rumah untuk menjamin ketahanan pangan keluarga. Kedua, melakukan dialog antarklaster. Di situ akan terlihat kesenjangan ataupun keseimbangannya. Setelah ada data baru ada distribusi. “Hitungan saya enam bulan pangan itu aman. Saya optimis. Tapi kalau pada medio enam bulan itu tidak ada recycle maka akan terancam. Ini restarted industri keseluruhan yang terjadi. Bukan hanya urusan pangan sebetulnya,” imbuhnya.

Kemandirian pangan

            Pada Reboan on The Sky (06/05) yang juga merupakan forum simpul maiyah, dibahas secara khusus hal-hal teknis apa saja yang perlu dilakukan sebagai tindak lanjut ide-ide survive di tengah pandemi. Mengutip laman caknun.com berjudul “Mulai Dari Teras Rumah”, salah seorang pemateri, Cak Rudd, membagi pengalaman berkebun di teras rumahnya. Menurutnya, seni berkebun dapat dimulai dari lahan sempit. Dengan memaksimalkan lahan di rumah kita, meskipun seadanya, bisa menjadi solusi ketahanan pangan di rumah kita.

            Cak Rudd menegaskan pentingnya kuliner bergizi untuk memperkuat imunitas tubuh. Makanan yang kaya zat besi, dapat ditumbuhkan hanya dengan lahan empat meter. Ia menjelaskan pembagian per meternya lewat strategi: ‘per petak dipakai seperempat’. Hal ini dilakukan agar setiap minggu bisa ditanami dan dipanen bergantian sesuai perhitungan hari. Seandainya dalam seminggu lahan ditanami variasi benih, per hari bisa dibagi jenis-jenis sayuran. Pembagian ini juga bisa diselingi dengan variasi minuman kesehatan, kelor, dan bumbu dapur. Termasuk juga budidaya mujaer dan lele.

            Selanjutnya, Cak Rudd membagi strateginya itu dalam tiga tahap. Pertama, rentang 0-3 bulan dengan sistem biofloc. Kedua, rentang 3-6 bulan membudidayakan lele, nila, dan gurami menggunakan sistem biofloc. Mediumnya bisa memakai akuarium, tong kecil, atau dekker. Rentang ini, menurut Cak Rudd, sudah bisa beternak ayam kampung dengan kotak kayu. Ketiga, lebih dari 6 bulan kita bisa membudidayakan gurame dalam skala besar.ntuk mensiasati lahan sempit seperti di perkotaan, Cak Rudd menguraikan model penanaman bertingkat menggunakan paralon. Lahan satu meter bisa dioptimalkan melalui sistem tanaman vertikultur dengan kombinasi aquaponik. Jenis tanamannya bisa beraneka ragam. Seperti Jamur yang dapat ditata setinggi 15 cm.

            Menyambung Cak Rudd, pemateri lainnya Achmad Rifai, menyebut aktivitas menanam sebagai kegiatan menjaga harmoni alam sekitar. Rifai sendiri membagi tanaman ke dalam dua fase, yakni tahunan dan musiman. Menurutnya, situasi pandemi cocok untuk membudidayakan tanaman semusim karena berusia satu sampai tiga bulan. “Ketika mempunyai lahan lebih luas, harus punya tanaman yang tahunan,” ujarnya.             

            Agar pertumbuhannya terukur dan hasilnya maksimal, ia menyarankan penggunaan termometer dan humidity meter. Suhu dan kelembaban udara penting untuk dipantau agar tanaman bisa tumbuh secara maksimal. Jika kegiatan menanam di rumah ini ditradisikan, menurut Rifai, maka ketahanan pangan rumah tangga terjamin. “Mari berbuat, mari melakukan tindakan nyata,” tegas Sabrang di kesempatan yang sama. Jangan menunggu normal lagi, karena kalau normal maka membuka kesempatan untuk protes (komplain) lagi, bukan membuat perubahan. Semua perubahan besar terjadi dari trauma besar. Entah karena perang, bencana alam atau penyakit. Sehingga berfikir untuk membangun sebuah kestabilan baru, cara yang baru, yang tidak mengulangi cara lama. “Ini kesempatan besar untuk membangun sesuatu yang lebih baik.” Pungkasnya.

(PRIO/ Kelik N, disarikan dari Simpul Maiyah)

Kategori
JEDA

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar