
Mengkaji Ulang Arah Sistem Pengawasan Koperasi di Indonesia
Oleh: Ahmad Subagyo *)
Bayangkan sebuah sistem yang dirancang untuk melindungi jutaan anggota koperasi di Indonesia, namun ternyata masih penuh celah dan tantangan. Inilah potret sistem pengawasan koperasi di negeri kita saat ini. Mari kita telusuri bersama perjalanan transformasi sistem ini, dari yang konvensional menuju era digital, dengan segala liku-likunya.
Warisan Masa Lalu yang Masih Membayangi
Jika kita melihat ke belakang, sistem pengawasan koperasi di Indonesia ibarat sebuah rumah tua yang butuh renovasi besar-besaran. UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, yang menjadi fondasi utama, ternyata kurang kokoh menghadapi badai perubahan zaman. Bayangkan, undang-undang ini tidak memberikan "gigi" yang cukup tajam bagi pemerintah untuk menindak tegas koperasi nakal.
Alhasil, kita sering mendengar kisah-kisah menyedihkan. Ingat kasus KSP Indosurya pada 2022? Koperasi raksasa ini tumbang, menyeret Rp23 triliun dana masyarakat ke jurang ketidakpastian. Ini bukan sekadar angka, tapi air mata dan keringat jutaan anggota yang terbuang sia-sia.
Penjaga Gawang yang Kewalahan
Coba bayangkan 71 orang harus mengawasi lebih dari 1.000 koperasi dalam setahun. Mustahil, bukan? Tapi itulah realitas yang dihadapi Jabatan Fungsional Pengawas Koperasi (JFPK) di tingkat pusat. Di daerah, kondisinya tak kalah memprihatinkan. Di Sulawesi Selatan, misalnya, 11 JFPK harus mengawasi 120 koperasi. Ibarat penjaga gawang yang harus menangkis bola dari berbagai arah sekaligus.
Belum lagi, 60% dari JFPK ini hanya berlatar belakang administrasi. Mereka seperti dilempar ke arena gladiator tanpa perisai dan pedang yang memadai. Sementara itu, praktik-praktik nakal di dunia koperasi semakin canggih, mulai dari shadow banking hingga investasi ilegal yang berkedok koperasi.
Angin Segar di Tengah Badai
Namun, jangan berkecil hati! Sejak 2020, ada secercah harapan. Kementerian Koperasi dan UKM mulai menerapkan sistem klasifikasi usaha koperasi (KUK) berbasis risiko. Ini seperti memberi kacamata infra merah pada pengawas, membantu mereka melihat potensi masalah sebelum menjadi bencana.
Lebih menggembirakan lagi, mulai Januari 2025, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan turun tangan mengawasi koperasi simpan pinjam yang melayani non-anggota. Ini seperti mendatangkan pasukan elit untuk membantu penjaga gawang yang kewalahan.
Mimpi Besar untuk Masa Depan
Lantas, apa solusi jangka panjangnya? Ada ide brilian yang sedang digodok: Lembaga Akreditasi Koperasi Mandiri (LAKM). Bayangkan sebuah tim independen, terdiri dari praktisi berpengalaman dan akademisi tajam, yang khusus mengawasi koperasi. Mereka bukan sekadar pengawas, tapi juga pembimbing yang memastikan koperasi tetap pada jalur yang benar.
Tak hanya itu, sistem pengawasan berjenjang juga diusulkan. Koperasi akan melakukan self-assessment melalui platform digital, lalu LAKM memverifikasi, dan JFPK/OJK turun tangan untuk kasus-kasus berisiko tinggi. Ini seperti membangun sistem kekebalan berlapis untuk tubuh koperasi nasional.
Teknologi: Senjata Pamungkas
Di era digital ini, tentu saja teknologi menjadi andalan. Sistem Informasi Akreditasi Koperasi (SIAK) yang diusulkan bukan sekadar database biasa. Ini adalah mata ketiga yang mampu memantau detak jantung koperasi secara real-time. Dengan big data analytics, sistem ini bahkan bisa mendeteksi anomali sebelum menjadi masalah besar.
Epilog: Harapan di Ujung Terowongan
Perjalanan transformasi sistem pengawasan koperasi Indonesia memang masih panjang. Namun, dengan inovasi yang tengah digodok dan semangat kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan praktisi, masa depan cerah sudah di depan mata.
Kita sedang menyaksikan metamorfosis sistem pengawasan koperasi, dari ulat yang lamban menjadi kupu-kupu yang gesit dan waspada. Meski tantangan masih menghadang, namun dengan tekad bersama, koperasi Indonesia akan kembali menjadi soko guru perekonomian yang kokoh dan terpercaya.
Inilah saatnya kita semua, sebagai bagian dari gerakan koperasi, untuk mendukung perubahan ini. Karena pada akhirnya, kekuatan sejati koperasi bukan hanya pada modalnya, tapi pada kepercayaan dan gotong royong seluruh anggotanya. ()
*) Prof.Dr. H. Ahmad Subagyo, Ketua Umum IMFEA, Pembantu Rektor III IKOPIN University.
Komentar