Membandingkan Barca dan Koperasi Fans Gang Potlot
Selasa (19/7) lalu, Gang Potlot hiruk pikuk. Bahkan helatan tak biasa itu dihadiri dua menteri sekalgus : Menteri Koperasi dan UKM (KUKM) Teten Masduki dan Menteri BUMN Eric Thohir. Untuk kali pertama, sebuah koperasi berbasis anggota fans group musik Slank (Slanker) didirikan, dinamai Slankops. Didaku sebagai pertama di dunia, mencoba meniru koperasi berbasis suporter sepakbola Eropa yang sudah lebih dahulu eksis. Apa bedanya?
Dalam sebuah diskusi yang dihelat di Auditorium Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia bertajuk “Cooperatives for Sutainable Future”, beberapa tahun lalu yang saya ikuti, diungkap kedahsyatan koperasi sebagai pengungkit kekuatan bisnis yang terus tumbuh di berbagai negara. Memayungi performa organisasi bisnis yang terus melejit. Dari beragam bisnis, mulai dari keuangan, agribisnis, hingga industri olahraga. Sekaligus tantangan bagi lambatnya perkembangan koperasi berkualitas di negeri ini.
Gemar sepakbola? Nama-nama pemain dunia macam Christiano Ronaldo, Zlatan Ibrahimovic atau Lionel Messi tentu tak asing lagi. Juga klub-klub raksasa macam Manchester United, Arsenal, dan Barcelona. Bisnis olahraga sepakbola di negara-negara maju itu sudah menjelma menjadi industri dengan nilai ratusan triliun rupiah. Dan siapa sangka, sukses bisnis mereka ditopang oleh koperasi.
Saat ini, klub sepakbola terkaya adalah Real Madrid FC dari Spanyol. Kekayaannya menembus US$ 3.263 juta atau sekitar Rp. 44,98 triliun. Klub yang didirikan pada 1902 ini berhasil meraup penghasilan dari berbagai sumber seperti siaran langsung, Iklan, dan penggunaan merek hingga US$ 746 juta atau Rp. 10,29 triliun.
Menyusul di posisi kedua adalah klub pesaing Real Madrid, yaitu Barcelona FC, juga dari Spanyol. Barcelona FC yang didirikan pada 1899 ini bernilai US$3,163 atau Rp. 43,65 triliun. Sedangkan posisi ketiga ditempati klub Inggris, Manchester United dengan nilai US$ 3,104 atau Rp. 42,83 triliun.
Barca punya 142 ribu anggota 1 org 1 suara. Presiden dipilih oleh anggota untuk 4 tahun dan maksimum 2 periode. Tiket termurah 69 pound dan termahal 579 pound. Barcelona memiliki kekayaan sebesar 3.549 miliar dollar AS (sekitar Rp 47,1 triliun). Manchester United di urutan ketiga dengan total kekayaan 3.317 miliar dollar AS (sekitar Rp 44,1 triliun).
Hebatnya, baik Real Madrid maupun Barcelona sama-sama dikelola dengan badan usaha koperasi. Dewi Meisari Haryanti, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI mengemukakan, klub-klub sepakbola yang dikelola dengan payung koperasi bisa sukses dengan bisnis berkelanjutan dan memberi pemasukan besar.
Sementara, negara-negara yang memiliki koperasi level 300 besar dunia, juga sukses menstimulasi bisnis yang berkontribusi pada pendapatan negara melalui koperasi. “Kita lihat Swedia, Denmark, Jerman, Perancis, hingga Jepang, kontribusi koperasi di sana besar sekali,” papar Dewi. Di Swedia, dengan jumlah koperasi yang masuk 300 besar dunia sebanyak 5 unit termasuk federasi, mampu menyumbangkan PDB hingga US$ 543,88 miliar (2012).
Di Indonesia, dengan jumlah koperasi 123.048 koperasi (2019), hanya 45,489 ribu yang melakukan RAT. Total volume usahanya juga baru sekitar Rp 154 triliun (2019). Di Indonesia Koperasi yang bergerak di sektor keuangan didominasi oleh KSP dengan 12.000 koperasi atau koperasi jasa keuangan syariah (KJKS). Juga 98 ribu unit simpan pinjam (USP) atau unit jasa keuangan syairah (UJKS) dengan total aset Rp 87,27 triliun. Nilai ini setara 1,5% dari total aset 119 bank umum yang berjumlah sekitar Rp 5,600 triliun per Desember 2014. Gambaran berbeda dimunculkan oleh koperasi keuangan jenis koperasi kredit atau credit union yang mampu mencatatkan LDR sekitar 85,6%. “Secara kualitas tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan. Regulasi dan lembaga pembina tidak efektif dalam menstimulasi perkembangan koperasi. Mengaca pada hal-hal di atas, Dewi berpendapat koperasi di Indonesia saat ini bukan sebagai soko guru perekonomian Indonesia.
Agar koperasi dan gerakan koperasi di Indonesia tumbuh wajar dan sehat, sejumlah hal musti dilakukan. Salah satunya adalah merevisi sejumlah regulasi. Diantaranya pengurangan jumlah minimum anggota, kategorisasi dan penjenisan koperasi, permodalan dan keanggotaan koperasi, serta reformasi Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin).
Munaldus Narang, pegiat Induk Koperasi Usaha Rakyat, mengemukakan banyaknya kisah sukses koperasi yang bisa dijadikan contoh dalam pengembangan koperasi. “Bahwa jika dikembangkan secara maksimal, koperasi bisa memberikan banyak manfaat bagi para anggota. Contohnya adalah credit union (CU) Keling Kumang di Kalimantan Barat yang beranggotakan 162 ribu orang. Assetnya mencapai Rp 1,2 triliun dengan sejumlah bisnis, diantaranya perhotelan, lembaga pendidikan, toko retail, dan dealer kendaraan,” papar Munaldus.
Koperasi-koperasi berbasis fans sepakbola Eropa di atas, ketika dibangun, juga berkat inisiasi entitas pendukungnya. Mulai dari suporter, asosiasi pemain, hingga manajemen klub. Hal penting lainnya, ekosistem sosialnya sudah membudaya. Dibentuk dari manajemen pengelolaan event olahraga yang mapan, perangkat pertandingan terorganisir, serta memiliki jejaring bisnis yang jelas.
Suporter bola sebagai basis anggota, akan mendapatkan benefit yang jelas terkait pemesanan tiket pertandingan, moda transportasi, temu idola, kebutuhan konsumsi selama menikmati pertandingan, hingga merchandise. Kultur yang nyaris baku selama berpuluh tahun, bahkan ada yang lebih dari seabad.
Lalu Slankops? Akan lebih tepat jika koperasi rintisan itu disebut sebagai sebuah ikhtiar memekarkan embrio - dengan privilese di sana-sini yang diandaikan akan mempercepat pertumbuhan. Habitat dan ekosistem Slankers berbeda cukup signifikan dengan suporter Barcelona, Madrid, Liverpool dll, yang sudah maju dan serba terorganisir. Tidak apa, namanya juga usaha. (PRIONO/foto : merahputih/thecoop)
Komentar