Meluruskan Pemahaman "CLOSED LOOP dan OPENED LOOP" dalam Diskursus Perkoperasian Kita
Oleh : Dr. Ahmad Subagyo (Ketua Umum IMFEA)
Ada istilah baru yang saat ini menjadi "trending topic" dalam diskursus perkoperasian kita. Diperluas magnitude nya via aneka konten pemberitaan di media massa dan grup-grup sosial media. Dikutip dari mulut menteri, anggota DPR, akademisi, hingga praktisi koperasi. Artikulasinya ada yang mantab, sebab dilatari dengan pengetahuan yang cukup tentang makna dan konteksnya. Ada juga yang, kegenitan semata. Sekedar pelumas dalam berwacana demi terlihat 'gaul', padahal sejatinya belum paham betul. Istilah itu adalah "Closed Loop dan Opened Loop (CLOL)". Ya, tak bisa dipungkiri, istilah CLOL belakangan ini begitu ngepop di berbagai diskursus perkoperasian kita.
Jika kita cermati seluruh regulasi perkoperasian kita, istilah CLOL tidak pernah ada. Dalam diskusi insan perkoperasian pada umumnya, istilah CLOL juga nyaris menjadi semacam pamali untuk dimunculkan.
Belakangan, penulis mendapat pertanyaan bertubi dari berbagai kalangan. Mulai dari anggota Dewan, Praktisi Koperasi, Pengamat, Peneliti bahkan akademisi. Tiba-tiba, semua "mendadak CLOL". Lantas saya berpikir, mengapa tidak saya tulis sekalian?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan dari berbagai kalangan itu, perlu kiranya penulis ulas kembali beberapa pandangan penulis terkait sistem pengawasan koperasi.
Dalam kurun sewindu lebih,sejak 2013, penulis melakukan studi perkoperasian dengan konsentrasi pada tema pemberdayaan, pengembangan dan penguatan Koperasi Simpan Pinjam di Indonesia.
Sebagian pemikiran dan hasil study itu, penulis tuangkan dalam link artikel “sistem pengawasan koperasi" di ahmadsubagyo.com. Bermaterikan tentang pembangunan sistem pengawasan koperasi, roadmap pengawasan koperasi, dan bagaimana menuju system pengawasan koperasi yang sehat, dan sebagainya. Sila kunjungi www.ahmadsubagyo.com untuk menyimak lebih komprehensif.
Penulis khawatir, ada yang misleading dengan jalan pemikiran penguatan system pengawasan koperasi simpan pinjam (KSP), yang saat ini berada dalam posisi genting dan sangat krusial, dikaitkan dengan masuknya lema "Pengawasan" dalam sejumlah pasal pada RUU PPSK.
Topik utama artikel ini memang bukan untuk mengelaborasi tentang system pengawasan yang efektif, termasuk siapa yang seharusnya menjalankan pengawasan perkoperasian kita.
Pandangan penulis sejak awal selalu konsisten. Bahkan, sebagai salah satu anggota perumus UU Perkoperasian saat ini, penulis selalu “ngotot”, bahwa Sistem Perkoperasian kita harus memiliki INFRASTRUKTUR DAN EKOSISTEM yang memadai agar tumbuh sehat dan berjalan dengan menggenggam prinsip dan jatidirinya. Dan pintu masuk dalam ekosistem bersama itu, tak lain adalah penguatan di system pengawasannya.
Lalu, siapa Pengawas koperasi yang seharusnya mengawasi koperasi simpan pinjam? Sekali lagi, dalam diskursus tekstual yang penulis dedah di berbagai forum, penulis selalu menyatakan urgensi "LEMBAGA INDEPENDEN PENGAWASAN KOPERASI” . Penulis kadang memakai istilah OTORITAS PENGAWAS KOPERASI (OPEK), dan istilah lain yang memiliki makna identik.
Selanjutnya, mengapa Kemenkop UKM tidak Penulis sebut dalam sejumlah artikel sebagai salah satu unsur dalam sistem Pengawasan? Karena, dasar regulasi tertinggi (UU) memang tidak memandatkan hal itu kepads Kemenkop UKM. Lantas, mengapa Kemenkop UKM saat ini mengawasi Perkoperasian kita? Hal itu lebih merupakan KEBIJAKAN PEMERINTAH, dengan acuan berupa Peraturan Pemerintah (PP), yang kekuatan hukumnya masih di bawah Undang-Undang.
Ironisnya, dalam berbagai forum diskusi, tidak sedikit yang berfikir dan berkomentar, Koperasi itu SRO dan tidak perlu di awasi oleh Pemerintah?
Singkat cerita, dalam berbagai Forum Formal saat Penulis di minta menjadi narasumber, selalu menyampaikan, bahwa Koperasi yang menjalankan usaha simpan pinjam perlu diberikan penguatan dan perlindungan agar gerakan koperasi ini semakin kuat ke depan dan menjadi pintu akses keuangan bagi masyarakat unbankable serta meningkatkan inklusi keuangan sebagaimana hasil riset Bank Dunia (2016).
Input pemikiran penulis barangkali menjadi inspirasi para pengambil kebijakan, sehingga dalam RUU P2SK yang akan segera diundangkan, menjadi bagian substansi dari bagian salah satu pasal krusial dalam RUU tersebut.
Penulis melihat ada NIAT “yang baik” dari Pemerintah untuk memasukkan Pasal tentang Pengawasan terhadap usaha simpan pinjam oleh Koperasi untuk mengisi kekosongan landasan yuridis dalam pengawasan Koperasi di Indonesia.
Dalam pandangan penulis, yang paling berhak mengawasi Koperasi adalah anggota koperasi itu sendiri melalui struktur organ koperasinya (tier-1), Asosiasi atau Koperasi Sekunder atau APEX KOPERASI (tier-2), Pengawas Eksternal Koperasi (tier-3).
Realitanya, system pengawasan koperasi kita seperti apa?
Penulis tidak perlu menguraikan secara panjang lebar dalam artikel ini tentang efektivitas pengawasan koperasi kita saat ini. Kita semua sudah tahu kondisi riilnya, terutama para pengawas koperasi itu sendiri maupun para praktisi (pengurus/pengawas) koperasi.
Yang menarik adalah pembahasan “pengawasan koperasi tier-3”. Siapa yang berhak melakukan pengawasan Koperasi? Jika ada UU yang ingin memberikan penguatan terhadap KOPERASI SIMPAN PINJAM, maka sebaiknya ada LEMBAGA PENGAWAS INDEPENDEN KSP. Namun, jika itu tidak ada dan ternyata membawa konsekuensi anggaran negara (APBN) dan Negara menegasikannya, sebaiknya memberikan tugas pengawasan kepada KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM. Asumsinya, ikhtiar penguatan melalui regulasi (UU) yang kondusif dan Anggaran memadai, seharusnya akan lebih kuat dan efektif.
Lantas, bagaimana jika sistem pengawasan melalui alternatif (1) yaitu pendirian Lembaga Pengawas Independen KSP dan alternatif (2) lewat Kemenkop UKM, dinilai tidak memungkinkan diwujudkan karena berbagai aspek, maka penulis beranggapan perlunya alternatif (3), yaitu Lembaga Independen Pengawas di luar (1) dan (2). Adapun Lembaga Independen Pengawas yang saat ini dimiliki oleh RI di bidang Pengawasan Sektor Keuangan, adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
OJK menjadi pilihan terakhir dan bersifat temporer dengan patokan sampai UU Perkoperasian diterbitkan. Artinya, jika UU Perkoperasian diterbitkan, dan memuat tentang bab dan pasal Pengawasan KSP oleh Otoritas Pengawas Koperasi (OPEK), maka bab dan pasal dalam UU P2SK tidak berlaku lagi.
CLOSED LOOP DAN OPENED LOOP
Lalu apa relevansinya dengan diskursus CLOL yang tengah trending itu?
Penulis mendapati, pengertian CLOSED LOOP dan OPENED LOOP di setiap kalangan ternyata tidak homogen. Saya tidak akan mengomentari pendapat ahli lainnya. Sebagai pemegang sertifikasi kompetensi ahli di bidang risiko, Penulis ingin memberikan pandangan tersendiri terkait hal ini.
RISIKO, saat ini menjadi BASIS dalam berbagai hal. Seperti perijinan berbasis risiko, perencanaan berbasis risiko, pengawasan berbasis risiko, dan seterusnya.
Dalam konteks risiko ada teori bisnis, ada konsep HIGH RISK HIGH RETURN atau HIGH RETURN HIGH RISK. Makin besar potensi suatu entitas untuk mendapatkan “RETURN” , maka akan makin kompleks proses bisnisnya dan akan makin besar risiko yang akan dihadapinya.
Risiko itu tidak dapat dihilangkan tapi dapat dikendalikan (mitigasi), dikurangi, atau dialihkan. Ukuran (size) atau volume bisnis bukan ukuran tinggi-rendahnya risiko bisnis. Banyak usaha skala mikro dan kecil tiba-tiba berhenti beroperasi (bangkrut), namun ada usaha besar yang bertahan jangka Panjang, puluhan bahkan ada yang ratusan tahun bertahan.
Apa kaitannya antara RISIKO dan ISTILAH CLOSED LOOP-OPENED LOOP?
Suatu entitas yang berbadan hukum Koperasi, Ketika menjalankan usahanya menerapkan prinsip-prinsip manajemen yang benar, dioperasionalisasikan dengan fungsi-fungsi bisnis yang sehat, dan dijalankan dengan TATAKELOLA yang baik (GCG), dan masuk dalam ekosistem bisnis yang memadai, maka risiko-nya akan RENDAH, dan sebaliknya. Maka dalam berbagai pendekatan SISTEM RATING (RISK RATING) yang dilakukan oleh berbagai Perusahaan Pemeringkat Dunia sekelas ( S&P, Fitch rating, Moody’s, dsb) menilai entitas berdasarkan struktur dan infrastruktur yang dimiliki oleh perusahaan tersebut.
Dalam pandangan penulis, yang dimaksud CLOSED LOOP ada dua (2) pengertian, yaitu:
Pertama : Closed loop based services yaitu Koperasi simpan pinjam menjalankan prinsip-prinsip koperasi (1-5) yaitu melayani anggotanya sendiri, diawasi oleh anggotanya (secara demokratis), berbagi hasil lewat jasa dan SHU, tiap anggota memiliki hak memilih dan dipilih dalam kepengurusan, dan menjalankan prinsip GCG, yaitu memberikan Pendidikan kepada anggotanya dan (Kerjasama) dengan menjadi anggota dari asosiasi koperasi sekunder-nya.
Kedua, Closed Loop Ecosystemnya, artinya Koperasi yang memiliki dan masuk dalam ekosistem keuangan, baik yang dibangun sendiri oleh industrinya (Koperasi Sekunder) maupun yang masuk ke dalam ekosistem keuangan lain dalam rangka melakukan mitigasi risikonya, maka koperasi tersebut ada dalam kriteria CLOSED LOOP, seperti Koperasi Kredit (CU) masuk dalam Koperasi sekunder mereka (Puskopdit, Inkopdit) lalu masuk dalam usaha Bersama lewat DAPERMA (PANDAI) saat ini, atau di lingkungan BMT, KSPPS masuk dalam Perhimpunan BMT seluruh Indonesia (PBMTI). PBMTI ini membentuk dan mendirikan Perusahaan Asuransi, LSP, Pembiayaan (Ventura), dsb, maka masuk dalam kriteria CLOSED LOOP ECOSYSTEM.
Begitu juga KSP yang tergabung dalam Induk Koperasi Simpan Pinjam (IKSP), lalu IKSP membentuk APEX koperasi misalnya, maka berarti CLOSED LOOP. Koperasi Simpan Pinjam (KSP/KSPPS) yang berdiri sendiri dan tidak masuk dalam ekosistem, mereka tergolong OPENED LOOP, karena tidak di-akui oleh Komunitas Koperasi dan risiko bisnis mereka sangat terbuka (LOSS EXPOSURE).
OPENED LOOP dan CLOSED LOOP menjadi Dasar Pengawasan Otoritas Pengawas
Menurut hemat penulis, ada solusi terbaik untuk saat ini dalam pengawasan koperasi berbasis pada TIER PENGAWASAN. Jika memang nantinya pengawasan dilakuikan oleh OJK, maka Pengawasan ini adalah pengawasan tier-3, yaitu pengawasan yang dilakukan terhadap tier-2, siapa tier-2 itu? Tier-2 adalah Koperasi Sekunder yang berfungsi sebagai APEK KOPERASI.
OJK dapat menentukan standar dan penilaian Kesehatan koperasi untuk dapat dijalankan oleh Koperasi sekunder dan APEX KOPERASI dalam melakukan penilaian kepada para anggotanya. Koperasi yang tidak mematuhi prinsip-prinsip dan persyaratan APEX KOPERASI-nya maka dianggap sebagai OPENED LOOP dan akan diawasi secara langsung oleh OJK. Bagaimana sih praktek APEX KOPERASI itu, silakan lihat di www.ahmadsubagyo.com.
Ide gagasan saya adalah sistem pengawasan berbasis tier. Artinya, OJK hanya mengawasi di level sekunder atau APEX KOPERASI-nya saja. Standar-standar penilaian yang menentukan OJK, koperasi sekunder dan APEX yang menjalankannya di bawah pengawasan OJK.
Demikianlah. Semoga narasi pendek ini dapat memberikan masukan berarti bagi Pemerintah, para pengambil kebijakan di DPR. Juga bagi praktisi Koperasi dan Insan Koperasi di Indonesia. SELAMAT BERJUANG DAN MENDAPATKAN YANG TERBAIK UNTUK KEPENTINGAN SELURUH KOMPONEN BANGSA DAN NEGARA KITA. (*)
Komentar