KOPERASI DAN ERA ANTHROPOCENE: : MENJAWAB DENGAN PRAKTIK ATAS KRISIS KEMANUSIAAN DAN LINGKUNGAN
Oleh : Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR Federation)
Praktik sistem kapitalisme industri yang berkembang di abad ke-17 telah menciptakan ancaman serius terhadap keberlangsungan planet bumi dan isinya. Sistem kapitalisme industri yang ditandai dengan berlakunya sistem pasar bebas, motif pengejaran keuntungan dan akumulasi kekayaan dan pola produksi skala massal berbasis mesin telah ciptakan krisis kemanusiaan dan sekaligus lingkungan. Era baru ini disebut sebagai era antropocene, jaman yang ditandai dengan semakin meningkatnya degradasi kemanusiaan dan lingkungan secara drastis atas perangai segelintir manusia serakah, para kapitalis industri.
Koperasi, sebagai sebuah gerakan perlawanan serius terhadap sistem kapitalisme sesungguhnya telah dimulai sejak pertengahan abad ke-18. Setidaknya hal ini ditandai dengan dideklarasikanya organisasi koperasi oleh 28 orang buruh di kota Rochdale, Inggris tahun 1844 yang dimanifestasikan sebagai gerakan lawan tanding secara fundamental terhadap bekerjanya sistem kapitalisme. Gerakan Pioner Rochdale atau The Equitable Society of Pionners of Rochdale tersebut melawan sistem kapitalisme dalam praktik dan mengoposisi langsung jantung aktifitas pergerakan sistem kapitalisme itu sendiri, yaitu perusahaan kapitalis.
Para pioner koperasi itu membangun sebuah perusahaan yang sama dengan yang dibuat oleh para kapitalis, namun dengan dasar fiosofi, cara dan tujuan yang berbeda. Koperasi adalah gerakan nyata yang sangat penting untuk melawan kapitalisme karena bekerja secara realistis menjawab kebutuhan hidup sehari hari manusia, namun dengan dasar ideologi yang jelas untuk menghentikan keserakahan manusia itu sendiri dengan kembangkan konsep dan nilai nilai penting seperti keadilan, kesetaraan, solidaritas, dan nilai nilai ethis seperti kejujuran dan kepedulian dan lain sebagainya.
Jika perusahaan kapitalis itu dibangun dengan dasar filosofi bahwa modal adalah sebagai alat penentu Keputusan perusahaan (capital-based enterprise), maka koperasi tempatkan manusia secara setara sebagai penentu keputusan (people-based enterprise) di perusahaan. Di koperasi, manusia dianggap sebagai yang supreme, yang utama dan kepemilikan modal finansialnya tidak dijadikan sebagai alat penentu namun hanya sebagai alat bantu untuk mencapai manfaat bersama dan kesejahteraan bersama.
Jika perusahaan kapitalis itu bertujuan untuk semata mengejar keuntungan bagi pemilik modal (shareholder), koperasi ditujukan untuk mengejar manfaat kebaikan bersama yang hasilnya dibagi secara adil bagi semua pihak (stakeholder). Tidak hanya untuk mereka yang menanam modal, namun juga mereka yang bekerja di dalamnya dan bahkan konsumennya. Jika korporat kapitalis itu dikembangkan secara autokratif, dimana setiap Keputusan itu ditentukan oleh para penanam modal finansial (investor), maka koperasi segala keputusannya dibuat secara setara bagi setiap orang yang terlibat di koperasi.
Kita tahu, koperasi dengan demikian sesungguhnya adalah telah menjadi usaha untuk ciptakan penghormatan atas harkat dan martabat manusia yang setara. Tak hanya itu, sesungguhnya apa yang menjadi jantung dari krisis ekologi itu sendiri sesungguhnya adalah karena motif manusia mengekploitasi manusia lain dengan instrumen supremasi kepemilikan modalnya sebagai dasar penentu Keputusan perusahaan.
Sehingga motif pengejaran keuntungan dan akumulasi kekayaan yang ditimbulkan oleh pelayanan atas keserakahan segelintir manusia kapitalis itulah yang akhirnya telah menghegemoni dunia dan ciptakan krisis kemanusiaan dan lingkungan yang kita rasakan saat ini.
Untuk itu, demi mereduksi segala bentuk eksploitasi kemanusiaan dan kerusakan lingkungan tersebut, maka koperasi peranannya menjadi sangat penting. Sebab dasar keputusan perusahaan yang menyangkut soal nasib hidup manusia lain dan juga pemanfaatan sumberdaya alam itu seharusnya berada dalam kontrol bersama dalam basis pengejaran kebaikan umum (bonum commune), bukan didasarkan pada kepentingan segelintir orang pemodal perusahaan yang egois dan serakah.
Gerakan koperasi hari ini telah menjadi gerakan masyarakat yang meluas. Menurut laporan organisasi gerakan koperasi dunia, International Cooperative Alliance (ICA) saat ini setidaknya ada 1,3 milyar pemilik koperasi yang bergabung di kurang lebih 3 juta koperasi. Beroperasi di lebih dari 100 negara, dan bergerak di seluruh sektor sosial ekonomi. Dari pelayanan kebutuhan sehari hari seperti minimarket dan supermarket, layanan keuangan dan asuransi dan bahkan layanan sosial seperti pendidikan, Kesehatan, layanan listrik, dan lain sebagainya.
Kekuatannya sebagai sebuah gerakan tidak hanya telah nyata mampu memberikan manfaat bagi masyarakat, namun juga telah diakui dunia. Setidaknya UNESCO telah mengakui koperasi sebagai warisan bukan benda (intangible heritage) dan bahkan pada tahun 2025 atau tahun depan, telah ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa sebagai tahun koperasi Internasional.
Dalam konteks peranannya untuk atasi krisis kemanusiaan, koperasi secara inheren telah mempraktikkan apa yang disebut dengan upaya ciptakan perkembangan ekonomi yang adil di dalam sistem kerjanya. Sebagai misal adalah dengan diterapkannya sistem pembagian keuntungan usahanya dengan dasar bukan hanya atas dasar kepemilikan modalnya namun dengan dasar partisipasi aktif anggotanya dalam layanan koperasi dengan konsep Divvy. Dimana dari praktik inilah koperasi telah secara nyata mampu atasi kesenjangan sosial ekonomi di dalam masyarakat.
Pemerataan pendapatan dan juga penguasaan kekayaan yang diciptakan koperasi setidaknya telah membuat setiap orang itu menjadi memiliki kemungkinan untuk mendorong kreatifitas lebih baik dari masyarakat anggotanya.
Selain penting dalam membangun kesadaran masyarakat tentang arti penting perbaikan lingkungan dan juga masa depan hidup dan bumi yang berkelanjutan. Setidaknya hal ini dapat saya rasakan dan lihat sendiri dalam praktik koperasi di tanah air ataupun di luar negeri.
Di tanah air, sebagai misal praktik baik adalah koperasi kredit (Credit Union). Koperasi ini telah mampu menghimpun tabungan pribadi kurang lebih 46 trilyun rupiah dan dengan jumlah anggota kurang lebih 4,6 juta orang (Inkopdit, 2023).
Saat ini, koperasi ini juga telah mulai bermekaran membangun sebuah gerakan baru di berbagai sektor riil dimana saya sendiri telah turut terlibat membangun dan saat ini sebagai Chief Executive Officer (CEO) Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR) sebagai federasi nasional koperasi koperasi anggota INKUR di tingkat primer.
Setidaknya sudah ada 11 anggota koperasi primer yang usahanya bergerak di sektor riil seperti koperasi konsumen, koperasi pertanian, koperasi jasa. Walaupun masih lamban dalam perkembangannya, setidaknya karena manfaatnya mulai nyata dirasakan langsung oleh anggotanya maka koperasi primer anggota anggota INKUR mulai berkembang secara perlahan.
Di luar negeri, ada banyak contoh praktik baik dari koperasi ini. Tak hanya di dalam memerangi keserakahan dan ciptakan keadilan ekonomi, namun bahkan cegah kerusakan lingkungan. Seperti misalnya praktik pengembangan Listrik basis turbin di negara Skandinavia, pengembangan koperasi yang didasarkan pada cara konsumsi dan produksi secara ethis yang dilakukan oleh gerakan koperasi I Co-op di Korea Selatan yang digerakkan oleh petani perempuan pembaharu, pengembangan koperasi susu dengan manajemen pengurangan gas karbon terbaik di dunia oleh koperasi susu Fonterra di Selandia Baru, dan masih banyak contoh contoh lainya.
Untuk praktik penyelamatan lingkungan, gerakan koperasi di Indonesia sesungguhnya masih sangat minim, namun setidaknya telah berperan dalam selamatkan sebagian masalah kesenjangan sosial ekonomi. Hal ini tentu akan menjadi sangat penting artinya bagi masa depan Indonesia sebagaimana yang dinginkan oleh Konstitusi dan pendiri republik ini.
Ada banyak kendala yang dihadapi dalam pengembangan koperasi di Indonesia saat ini, selain masalah paradigma, juga masalah regulasi dan kebijakan pemerintah. Secara paradigmatik, tidak banyak dari masyarakat kita yang memahami arti penting koperasi bagi arti kemanusiaan dan juga penyelamatan masa depan bumi.
Koperasi tidak diajarkan di sekolah dan kampus, koperasi bahkan sebagai mata kuliah di kampus telah banyak dihapus dan tidak dipelajari lagi.
Koperasi telah diaborsi dari pikiran anak anak muda di Indonesia dan sementara di dalam praktiknya didominasi oleh koperasi palsu seperti rentenir berbaju koperasi atau koperasi palsu yang justru merusak citra koperasi.
Dalam konteks regulasi dan kebijakan, koperasi di Indonesia juga menghadapi banyak tantangan. Seperti misalnya subordinasi, diskriminasi dan bahkan eliminasi. Koperasi di Indonesia itu banyak diperlakukan tidak adil. Sebut saja misalnya disubordinasi dengan hanya ditempatkan sebagai penerima bantuan dan belas kasihan dari lembaga lain, diidentikan sebagai usaha kaum lemah dan dikerdilkan dengan dijadikan sebagai obyek para makelar proyek pembinaan koperasi. Dan diskriminasi kebijakan lainya. Sehingga pada akhirnya wajar jika perkembanganya cukup memprihatinkan dan hal ini dapat dilihat dari jumlah koperasinya yang menjadi terbanyak di dunia tapi tidak dalam kualitas partisipasi ekonominya.
Berdasarkan data Statistik, putaran bisnis koperasi di Indonesia secara keseluruhan dalam sepuluh tahun terakhir rata rata, jika dibandingkan total Produk Domestik Bruto (PDB) kita maka hanya 1,4 persen. Jangankan sebagai soko guru, tiang utama atau tiang besar ekonomi masyarakat, sebagai tiang pinggiran pun tidak terjadi. Koperasi kebanyakan hanya dimunculkan sebagai slogan daripada tindakan.
Dalam kesimpulanya, koperasi di Indonesia itu memang besar dalam kuantitas koperasinya, namun belum dalam partisipasi ekonomi riilnya, dan hal ini dikarenakan oleh sistem lingkungan ekonomi kita yang memang abaikan konsep demokrasi ekonomi sesuai dengan konstitusi kita.
Dalam praktik, masyarakat kita yang tidak banyak mengetahui arti penting dan juga cara mengembangkan koperasi yang baik telah terus menerus dihegemoni oleh praktik bisnis kapitalis yang berkongkalikong dengan pejabat pejabat pemerintah yang buruk (*).
Komentar