Duabelas Start Up Unjuk Gigi di Side Event Forum B20 di Bali Hari Ini
Senin (8/8) ini, dua belas start up hasil kurasi event Entrepreneur Financial Fiesta (EFF) besutan Kementerian Koperasi dan UKM, mengikuti side event B20, di Bali. Akan pitching bisnis untuk mereka tebar pesona di hadapan 29 ventire capital partners dari dalam dan luar negeri. Ada satu start up yang bahkan sudah berhasil membantu digitalisasi 700 koperasi. Seberapa besar peluangnya untuk berkembang?
Mengutip rilis media Deputi Kewirausahaan Kementerian Koperasi dan UKM Siti Azizah yang diterima Warta Koperasi, Jumat (5/8), pada acara startup showcase di ajang Side Event B20, para peserta akan memaparkan produknya di depan forum. “Para start up terpilih akan melakukan pitching dengan 39 venture capital partners dari dalam dan luar negeri pada ajang side event B20,” papar Siti Azizah.
Adapun EFF 2022 yang pendaftarannya diadakan sejak 16 Juni hingga 15 Juli lalu, merupakan inisiasi penjaringan bagi wirausahawan berbasis inovasi teknologi dan pengembangan UMKM. Meliputi startup di tujuh sektor strategis agrikultur, perikanan, edukasi, kesehatan, pariwisata, maritim, dan logistik. Hasilnya, dari 1.026 pelamar, tersaring 20 start up yang kemudian terpilih 10 besar untuk dilakukan diagnosis dan pelatihan matriks.Sepuluh startup terpilih adalah Bengkel Mania, Automa Supply Chain, INSPIGO, DotX, AturKuliner, Surplus Indonesia, PT Solusi Kerah Byru, Nectico, Kukerja, dan Bangbeli. Untuk Nectico, bahkan telah membantu digitalisasi lebih dari 700 koperasi.
Dua start up disabilitas binaan Kementerian Koperasi adalah, Hear Me, sebuah startup sosial yang menyediakan teknologi penerjemah dan interpretasi bahasa isyarat, dan Accessive.id, sebuah start up yang menyediakan aplikasi pencari tempat yang bisa diakses penyandang disabilitas.
Hingga saat ini, bisnis start up masih dalam trend menanjak. Hingga tiga tahun lalu saja, jumlah usaha rintisan (start up) yang mayoritas digawangi anak-anak muda, mencapai 2.074 unit. Jumlah ini menempatkan Indonesia berada di urutan ke-5 dunia. Melangkahi negara-negara yang secara teknologi dan infrastruktur jaringan internet lebih maju.
Faktor Kritis Keberlanjutan
Bagaimana peluang ‘keduabelasan’startup di atas untuk survive dan berkembang? Bagaimana jika para venture capitals partners di forum B20 tertarik semua tertarik menindaklanjuti pitching bisnis dengan para start up itu?
Pakar ekonomi mikro Dr. Ahmad Subagyo mengemukakan, ada sejumlah faktor kritis yang menentukan keberlangsungan hidup bisnis rintisan. Diantaranya, faktor produk atau jasa yang dihasilkan, faktor kehandalan platform teknologi yang dirancang, pasar, dan tak kalah penting adalah faktor pendanaan untuk mencapai skala bisnisnya.
“Secara umum, ekosistem dan infrastruktur usaha rintisan belumlah mendukung, terutama dari faktor pendanaan dan permodalan. Usaha rintisan yang pada umumya diinisiasi dan dijalankan oleh anak-anak muda milenial itu, dari aspek bankabilitas belum sufficient. Mayoritas mereka kesulitan mendapatkan akses permodalan dari lembaga keuangan formal, seperti Bank/BPR, dan sebagainya,’’ papar Ketua Umum IMFEA yang juga Komisaris Independen Akulaku itu.
Dipaparkan Subagyo, saat ini, sebenarnya banyak sumber alternatif pembiayaan bagi wirausaha, terutama usaha rintisan. Beberapa dekade terakhir, sejumlah perusahaan keuangan asing bahkan gencar membidik start-up enterprise (usaha rintisan) di Indonesia.
Program Pemerintah terkait pembiayaan UKM saat ini, seperti KUR dan UMi yang disalurkan melalui LKB dan LKBB, dirasa belum banyak mendukung usaha rintisan maupun menjadikan usaha tersebut naik kelas. Disisi lain, LKB dan LKBB dalam menyalurkan kredit kepada UMKM cenderung memilih yang sudah bankable dan memiliki jaminan asset tetap. Selain itu, lembaga-lembaga tersebut tidak melakukan pendampingan usaha.
Dalam kondisi demikian, Lembaga-Lembaga Pembiayaan alternatif, baik yang dibangun oleh Pemerintah maupun swasta perlu mengevaluasi diri. Sampai sejauh mana kesiapan dalam mendorong usaha rintisan sebagai sasaran strategis Lembaga, sebagai sebentuk ikhtiar ikut serta mensukseskan program pemerintah. Menimbang relevansinya, Pemerintah melalui Kemenkop dan UKM dapat menjadi lead sector pembiayaan alternatif dan Koperasi sebagai agen pembangunan masyarakat perkoperasian Indonesia.
Problem, Tantangan, dan Inovasi Pembiayaan
Usaha rintisan (start up) di Indonesia menghadapi permasalahan yang mendasar, yaitu akses pembiayaan-permodalan yang cenderung memiliki skema tradisional di lingkungan Lembaga keuangan yang ada. Sejatinya, masalah akses pembiayaan ini lazim terjadi di hampir semua bisnis start up di belahan dunia manapun. Tentu, dengan derajad kesulitan dan asesibilitas yang berbeda dengan yang terjadi di Indonesia.
Menurut Ahmad Subagyo, usaha rintisan menghadapi dua tantangan besar, pertama, skala bisnis yang bersandar pada cakupan pasar. Kedua, dukungan pembiayaan/permodalan dari Lembaga keuangan (LKB/LKBB). Guna menjawab dua tantangan di atas, di satu sisi Lembaga Keuangan perlu menginovasi produk-produk pembiayaannya jika berharap dapat mengikuti pertumbuhan bisnis para startup. Usaha rintisan yang lebih banyak mengandalkan proses bisnis dari pada hasil usaha (laba) menjadi tidak relevan jika orientasi pembiayaan tradisional menggantungkan pada jaminan asset fisik. Sementara usaha rintisan bergerak pada persediaan, piutang dan jumlah akun (potensial market) dari business process mereka. Parameter prudential banking dalam perspektif pembiayaan tradisional satu sisi memiliki risk mitigation yang baik, namun di sisi lain tak mampu menjangkau business model startup yang bertumbuh saat ini.
Jenis pembiayaan yang menyasar pada struktur equitas klien menjadi tantangan bagi dunia pembiayaan saat ini. Dunia perbankan menjalankan bisnisnya dibatasi hanya pada sisi liabilitas. Filosofi yang dipergunakan adalah “CREDIT”, sehingga sifatnya hanya sementara dan tidak masuk dalam proses bisnis klien.
Model bisnis ini bagi startup tidak inline dan tentunya kurang relevan karena karakter liabilitas adalah jangka pendek dan beragun asset sehingga pertumbuhan bisnis dan perkembangan asset entitas hanya mampu berjalan linear. Sementara, pembiayaan yang masuk ke struktur ekuitas sangat tidak terbatas dan mampu bertumbuh secara kuantum.
Beberapa case lompatan startup yang tumbuh secara multiplier, salah satunya adalah akulaku. Startup yang bergerak di platform marketplace yang mendapatkan pendanaan seri C sebesar $100juta atau sekitar Rp.1,4 triliun dari Ant Finance Service perusahaan venture afiliasi Alibaba.
Kemudian Tanihub, perusahaan rintisan yang bergerak di sektor agribisnis, tahun lalu mendapatkan suntikan dana segar melalui pendanaan seri A sebesar $27juta atau 284 miliar. Sampai 2020, tercatat ada lebih dari 500 perusahaan rintisan yang mendapatkan pendanaan dari ventures capital.
“Kedua perusahaan rintisan di atas berumur tidak lebih dari 5 tahun ketika mendapatkan suntikan dana segar dari investor. Akulaku bahkan baru berumur 2 tahun (berdiri 2018) saat mendapatkan suntikan modal yang sangat terbilang fantastis dari modal ventura. Pertanyaan mengemuka, jika cara kerja dan model bisnis pembiayaan yang dipergunakan menggunakan mahzab prudential banking, mungkinkah kasus akulaku dan Tanihub tetap bisa terjadi? Perusahaan rintisan berjalan tertatih-tatih sendiri dan dunia perbankan asyik beroperasi dengan prinsipnya sendiri,” terang Subagyo, yang juga adalah komisaris Independen Akulaku.
“Mengubah prinsip perbankan menjadi, katakanlah “ramah startup”, tentunya tidak mudah. Saya kira untuk saat ini bahkan mustahil dilakukan. Maka yang diperlukan adalah lahirnya Lembaga Pembiayaan Alternatif yang mampu memberikan solusi terhadap kebutuhan para startup yang lahir dengan berbagai model bisnis. Lembaga Pembiayaan permodalan yang masuk ke sisi ekuitas sangat diperlukan dalam mempercepat akselerasi pertumbuhan usaha rintisan berbasis aplikasi teknologi”.
Lembaga pembiayaan yang diharapkan lahir semestinya dari Lembaga yang diinisiasi oleh Pemerintah sendiri. Berdasarkan pengalaman panjang berhubungan dengan entitas mikro-kecil, LPDB semestinya mampu memberikan solusi pembiayaan alternatif terhadap usaha rintisan, baik yang berbasis perorangan maupun koperasi. Langkah-langkah strategis untuk mendorong Lembaga Pembiayaan milik pemerintah untuk terlibat aktif dalam pembiayaan usaha rintisan perlu didukung political will yang kuat.
Inovasi Skema Pembiayaan
Masih menurut Ahmad Subagyo, pembiayaan yang mendorong pertumbuhan bisnis dengan memperbesar asset dengan skema owner sharing (joint ventures) yang di bahas di atas, merupakan strategi pembiayaan untuk memperkuat struktur permodalan. Pada saat usaha rintisan beroperasi mereka memerlukan tambahan modal kerja agar volume bisnisnya meningkat pada skala ekonomis.
Tidak semua usaha rintisan mendapatkan suntikan modal segar dari ventures capital asing, bahkan sebahagian besar tidak mendapatkan fasilitas tersebut. Skema lain yang dapat dipergunakan untuk memperkuat struktur permodalan, adalah melalui skema anjak piutang (factoring).
“Produk project factoring (anjak piutang) saya kira sangat menarik dan banyak dipraktekkan oleh ventures capital dan multifinance dalam keterlibatan on going business-nya. Usaha rintisan seringkali mengalami kesulitan likuiditas karena operational expenses (OPEX) yang mesti ditanggung oleh wirausaha pemula yang sifatnya fixed, sementara revenue stream dari cash flow-nya bersifat variabel”.
Kasus ini, demikian Subagyo, yang terkadang memicu terjadinya mismatch akibat cash flow-nya sangat tergantung dengan rantai bisnis pasokan dan lingkungan eksternalnya. Pada kasus seperti ini, usaha rintisan tidak memiliki the last lender resort. Maka exit strategic bagi usaha rintisan yang dapat dilakukan adalah melalui penjualan piutang. Skema penjualan piutang kepada pihak Lembaga pembiayaan inilah yang sering kita sebut dengan istilah FACTORING.
Dalam dunia perbankan, project factoring sebenarnya dapat dijalankan sebagai skema pembiayaan, namun prinsip kehati-hatian yang diterjemahkan dalam konteks “collateral” masih menjadi hambatan dalam pembiayaan ke usaha rintisan untuk mengambil opportunity ini sebagai real market mereka. Sehingga dalam prakteknya masih sangat kecil portofolio pembiayaan anjak piutang yang dipraktekkan oleh perbankan.
Piutang yang muncul dalam bisnis rintisan sebenarnya menjadi peluang yang besar bagi perusahaan pembiayaan, baik perbankan maupun Lembaga alternatif lainnya. Namun, peluang yang paling besar justru dapat dimainkan oleh Lembaga Pembiayaan non Bank. Banyak alasan mengapa alternatif ini dapat dijalankan, antara lain, (1) LKBB memiliki prinsip kehati-hatian yang risk tolerance-nya relatif lebih lebar, sehingga keberanian pengambilan risiko pembiayaan relatif lebih tinggi, (2) LKBB memiliki peraturan yang lebih longgar dibandingkan perbankan, (3) pasar LKBB sebenarnya masih sangat besar, dari 19,8% populasi Indonesia yang memiliki akses pembiayaan dari Lembaga keuangan formal (Bank) masih tersisa 80% usaha mikro kecil yang belum terlayani oleh perbankan.
Perusahaan-perusahaan rintisan seperti Tanihub yang melayani rantai pasokan komoditas hasil pertanian secara end to end, dari petani ke konsumen dan petani ke bisnis (eceran), tentunya memerlukan dukungan cash flow yang kuat karena hampir semua titik kebutuhan cash petani di handle oleh Tanihub. Tentunya ada sebagian yang sharing dengan petani-nya itu sendiri. Namun produk yang masuk ke bisnis eceran yang banyak menggunakan system pembayaran tempo akan mendorong pembengkakan di piutang usahanya. Sehingga solusi permodalan bagi startup sejenis Tanihub adalah mendapatkan pembiayaan anjak piutang.
Model bisnis startup sejenis Tanihub tentu ada banyak dengan problem yang tidak jauh berbeda. Maka, upaya memberikan solusi permodalannya adalah pembiayaan project factoring melalui penjualan piutang. Tentunya murni sebagai bisnis factoring, bukan pinjaman kredit beragunan asset tetap. Nah, disinilah tantangan yang dihadapi oleh pemerintah, Lembaga keuangan dan usaha rintisan untuk mampu saling berbagi dan mencari solusi bersama agar usaha rintisan di Indonesia mampu hidup, bertumbuh dan sustain.
Pembiayaan alternatif lain yang dibutuhkan oleh usaha rintisan selanjutnya adalah terkait kebutuhan terhadap peralatan, software, mesin, dan infrastruktur pendukung lainnya. Asset-aset yang diperlukan untuk mendukung kelancaran operasi usaha rintisan tersebut jarang sekali diperoleh melalui pembelian tunai (cash and carry), sebagian besar diperoleh melalui leasing. Lagi-lagi alasan utamanya adalah persoalan modal tunai yang sangat terbatas dimiliki oleh anak-anak muda milenial itu.
Leasing (sewa-beli) menjadi alternatif pembiayaan dalam mendukung pengadaan peralatan kerja bagi usaha rintisan. Lagi-lagi menjadi tantangan besar, ternyata Lembaga keuangan formal “BANK” apalagi Koperasi Simpan Pinjam (KSP) masih menjadikan produk keuangan ini tidak termasuk dalam skema produk inline-nya. Padahal, kebutuhan di usaha rintisan sangat besar terhadap pemenuhan peralatan kerja dalam menjalankan operasi perusahaannya.
Disimpulkan, pemerintah idealnya harus mampu mendorong lembaga keuangan yang berada di bawah otoritasnya untuk ikut serta dalam pembiayaan ekuitas, anjak piutang dan leasing kepada usaha rintisan.Usaha rintisan, terutama yang bergerak berbasis teknologi informasi tidak dapat dibendung dan akan terus melaju. Kebutuhan terhadap pembiayaan juga akan mengikutinya. Jika ada gap yang besar antara kebutuhan dan penyedia jasa keuangan, maka akan menimbulkan ketidakseimbangan dan tentunya akan merugikan bagi pertumbuhan perekonomian nasional secara agregat.
Kebijakan yang memberikan insentif terhadap lembaga penyedia jasa keuangan sangat diperlukan guna mendorong adanya inovasi produk keuangan di lembaga-lembaga keuangan, terutama Lembaga Pembiayaan alternatif (Perusahaan pembiayaan, LPDB, Koperasi dan sebagainya) dalam bentuk insentif pajak, sehingga Lembaga Pembiayaan ikut menggairahkan usaha rintisan di Indonesia semakin maju dan terdepan di Asia. Kita tunggu “keduabelasan” start up di atas untuk terus melaju. (PRIONO)
Komentar