Dari BLT, PKUM, hingga UBI, Mana Lebih Berdaya?
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menerapkan program kredit ultra mikro (PKUM) dengan anggaran triliunan yang diperuntukkan bagi masyarakat bawah. Dalam praksisnya program ini beririsan dengan kegiatan koperasi yang juga intens memberdayakan ekonomi anggota dari kalangan ekonomi mikro.
Sejak 2017 tercatat tiga Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur Pembiayaan Ultra Mikro dirilis. Terakhir adalah PMK No.193/PMK.05/2020 tentang Pembiayaan Ultra Mikro. Pembiayaan Ultra Mikro (UMi) merupakan program tahap lanjutan dari program bantuan sosial, menyasar usaha mikro yang berada di lapisan terbawah, yang belum bisa difasilitasi perbankan melalui program Kredit Usaha Rakyat (KUR). UMi memberikan fasilitas pembiayaan maksimal Rp10 juta per nasabah dan disalurkan oleh Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB).
Pemerintah menunjuk Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Investasi Pemerintah (PIP) sebagai coordinated fund pembiayaan UMi. Pembiayaan UMi disalurkan melalui LKBB. Saat ini lembaga yang menyalurkan pembiayaan UMi antara lain PT Pegadaian (Persero), PT Bahana Artha Ventura, serta PT Permodalan Nasional Madani (Persero). Sumber pendanaan berasal dari APBN, kontribusi pemerintah daerah dan lembaga-lembaga keuangan, baik domestik maupun global.
Tahun 2018, UMi ditargetkan untuk menyentuh 800.000 pelaku usaha mikro yang tidak bankable.
Cara mengakses PKUM mirip dengan sistem tanggung renteng yang dipopulerkan Kopwan Setiabhakti Wanita (SBW) Surabaya, sejak sekian dekade silam. Peminat harus mendaftar atas nama kelompok. Per kelompok terdiri dari 5 anggota yang berlokasi di satu desa yang sama. Pengajuan pinjaman bisa dilakukan kepada kelompok dengan anggota yang belum memiliki usaha maupun yang ingin menambah modal usaha. Selain akan melalui tahap pengecekan juga akan ada pelatihan.
Pengajuan pembiayaan, maksimal ditetapkan sebesar Rp 10 juta per kelompok. Rata-rata melakukan pinjaman sebesar Rp 3 juta per satu kelompok. Pelatihan dan pendampingan diberikan terkait pembuatan perencanaan, dan membaca kebutuhan pinjaman. Waktu pencairan sekitar dua minggu. Program kredit ultra mikro ini berlaku untuk satu tahun dengan bunga berkisar antara 2% untuk per bulannya, atau 20%-25% satu tahun atau 2% per bulan.
Beda Misi dengan Koperasi
Ada beda misi antara PKUM yang digagas pemerintah versus koperasi. Misi PKUM diantaranya adalah meningkatkan daya beli masyarakat di kelompok bawah. Adapun koperasi, misinya jauh lebih kompleks dan mendasar. Mendidik masyarakat untuk mensejahterakan diri secara kolektif. Secara sosial, ekonomi dan budaya. Juga mendidik masyarakat untuk melek fiansial (fianancial litteracy).
Menurut Farida Alawi, Ketua Koperasi Abdi Kerta Raharja (AKR), koperasi mengedepankan kemandirian, karena itu sumber-sumber dananya dari anggota, masyarakat di wilayahnya, tidak mengandalkan APBD /APBN. “Anggota koperasi kami dididik untuk memberdayakan diri secara bersama, secara bottom up dan tidak semata-mata mengandalkan potensi di luar kolektifitas mereka sendiri,”papar Farida kepada Warta Koperasi dalam satu kesempatan.
Terkait program bantuan pemerintah, termasuk PUKM, sebenarnya ada dana Pemerintah yang bisa masuk katagori penyertaan modal, hibah, atau hutang tergantung sumber nya dan niat awal Pemerintah memberikan.
BLT untuk UBI
Ada pula BLT (Bantuan Langsung Tunai), ini memang bukan program baru, dan tetap dipertahankan hingga sekarang untuk beragam bail out pemerintah bagi ekonomi masyarakat dalam merespons situasi tertentu. Menurut Suroto, pegiat koperasi, Bantuan Langsung Tunai ( BLT) seperti dalam bentuk Bantuan Presiden Untuk Usaha Mikro ( BPUM) sangat penting di masa krisis ekonomi akibat pandemi seperti ini, sebab separuh dari 64 juta usaha mikro kita itu ambruk dan jatuh miskin jadi penerima bantuan sosial.
Jumlah Usaha mikro dan kecil itu hampir sama dengan jumlah KK ( kepala keluarga) di Indonesia. Jadi setidaknya kalaupun sulit diharapkan memberikan dampak perbaikan di sisi penawaran ( supply side) sudah langsung membantu perbaiki sisi permintaan ( demand side) di tengah daya beli rakyat kecil yang jeblok.
Namun, jumlah dari BLT untuk usaha mikro yang ada terlalu kecil jika dibandingkan dengan bantuan restrukturisasi untuk korporasi besar. Untuk itu, uang negara yang jumlahnya ratusan trilyun mandeg di perbankkan dalam bentuk Dana Penempatan dan Modal Penyertaan yang selama ini diatas namakan program restrukturisasi UMKM itu baiknya dikonversi ke bentuk BLT langsung ke usaha mikro dan kecil.
Dampaknya sudah sangat jelas. Bantuan untuk korporasi besar tidak memberikan dampak siginifikan. Berbeda dengan BLT untuk Usaha Mikro, selain mencegah perut lapar rakyat langsung memberikan akselerasi ekonomi walaupun jumlahnya hanya 15 trilyun untuk tahun 2020 dan 2021.
Uang 124 trilyun rupiah di Bank yang diatasnamakan untuk program restrukturisasi UMKM pada alokasi tahun 2020 itu baiknya dikonversi saja untuk BLT bagi Usaha Mikro. Uang itu untuk rakyat kecil bukan untuk bantuan likuiditas bank yang hanya berikan pinjaman ke usaha usaha besar selama ini.
Usaha mikro di tahun 2020 atau saat krisis di puncak hanya dapat jatah penyaluran kredit perbankkan sebesar 3 persen dari total rasio kredit perbankkan. Kuota minimal rasio kredit 20 persen menurut Peraturan Bank Indonesia ( PBI ) juga tidak tercapai dan dari realisasi sebesar 19,75 persen yang tersalurkam kebanyakan larinya ke usaha menengah yang merupakan quasi company dari usaha besar juga.
Uang sebanyak itu kalau dialokasikan dalam bentuk BLT ke usaha mikro maka ekonomi kita akan akseleratif. Uang orang orang kaya di rekening bank itu tidak ada yang berputar dan jadi penyebab mandegnya ekonomi kita. Ekonomi kita selamat karena ekonomi rakyat.
Kenapa pemerintah menaruh uang sebesar itu ke bank? Ini kan salah alamat. Sudah tahu bank itu dalam situasi krisis seperti ini pasti "over prudent", sementara rakyat kecil megap megap. Ini kan semacam pembohongan publik karena peruntukkannya untuk program restrukturisasi UMKM namun untuk selamatkan likuiditas korporasi.
Konsep relaksasi seperti ini juga sebetulnya begitu melihat struktur ekonomi masyarakat kita yang kesenjanganya terlalu tinggi dan banyak yang hidup di garis kemiskinan persis itu tidak pas. Harusnya malahan dalam bentuk alokasi fiskal permanen untuk setiap warga dalam bentuk Pendapatan Minimum Warga (Universal Basic Income).
Kebijakan struktural ekonomi kita yang selama ini dikelola secara liberal dengan biarkan ruang hidup rakyat kecil diserobot oleh usaha usaha besar itu tidak bisa hanya diselesaikan secara insidental dan karitatif semacam bantuan bantuan seperti itu. Selain menghina rakyat juga berarti posisikan rakyat banyak itu sebagai mainan usaha besar.
Pada dasarnya kan rakyat kita itu rentan miskin. Nah, usaha mikro ini kelas ekonomi gurem yang bersaing berdarah darah antar rakyat kecil di bawah. Mereka itu hidupnya kalau tidak miskin dalam posisi rentan miskin.
Hal ini merupakan masalah struktural. Jadi tidak bisa diselesaikan secara karitatif. Pendapatan Minimum Warga ( Universal Basic Income) itu solusi setidaknya untuk jamin agar tidak ada rakyat yang tidak makan sehari harinya.
Bentuknya kenapa UBI karena uang negara itu uang rakyat yang berasal dari pajak atau utang negara atas nama rakyat. Jadi mereka itu bukan sedang disantuni pemerintah tapi memang pemerintah harus jamin warganya sesuai perintah konstitusi. Itu hak konstitusional warga bukan belas kasihan.
Rakyat yang rentan miskin dan miskin sebanyak itu tidak boleh diposisikan sebagai penerima belas kasihan. Mereka itu yang menjadikan pemimpin semacam Presiden dan bayar gaji dan pengeluaran presiden untuk melayani mereka.
“Hubungan terburuk dari kemanusiaan itu adalah hubungan belas kasihan. Belas kasihan yang karitatif itu mendikte dan kita bisa lihat, rakyat posisinya selalu seperti budak dan obyek program bukan yang berdaulat atau berkuasa penuh. Mereka seperti sedang dihinakan oleh Presiden dalam bentuk pemberian Bantuan,” pungkas Suroto. (Priono)
Komentar