Subsidi BBM dan Rusaknya Daya Beli Masyarakat

                                      Oleh : Suroto

Ketua AKSES ( Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis)


Kebijakan Bantuan Presiden untuk Usaha Mikro (BPUM) sebagai bagian dari pengalihan subsidi BBM atau energi itu tidak tepat. Mustinya di kala daya beli masyarakat kecil yang sedang jatuh saat ini pemerintah jangan ganggu soal alokasi fiskal yang bisa sebabkan inflasi atau kenaikan harga secara umum.  

Harga BBM dan gas misalnya, itu komponen penting yang bisa segera memicu inflasi ketika dicabut alokasinya. Itu artinya akan langsung juga menggerus daya beli masyarakat. 

Saat ini usaha mikro itu sedang didera masalah berat. Selain karena belum pulihnya kondisi ekonomi akibat pandemi, mereka itu selama ini hanya jadi korban mafia kartel pangan yang membuat harga harga kebutuhan pokok sebagai bahan baku utama mereka tidak stabil akhir akhir ini. 

Sebut saja misalnya soal masalah harga minyak goreng, kedelai, dan telur, yang selama ini berada dalam kuasa mafia kartel. Ini adalah komponen penting bagi usaha mikro. Nah, kalau ditambah lagi dengan kenaikan BBM dan energi maka habislah mereka.  

Instrumen subsidi itu digunakan oleh pemerintah untuk menjaga kegagalan pasar yang selama ini hanya berikan keuntungan lebih besar kepada kelompok kaya. Termasuk untuk menjaga daya beli masyarakat ketika krisis ekonomi akibat pandemi saat ini. 

Jadi argumentasi soal beban fiskal yang besar karena subsidi BBM, menganggap subsidi yang terjadi selama ini tidak tepat sasaran, dan subsidi produk atau jasa itu sebabkan bias harga seharusnya bukan langsung dikoreksi ketika masyarakat kecil terutama usaha mikro sedang mengalami masalah berat seperti saat ini. 

Usaha mikro itu menyangkut 99,6 persen jumlah pelaku usaha kita atau 64 juta orang. Jumlahnya hampir sama dengan jumlah kepala keluarga (KK) kita yang 67 juta. 

Sementara itu, instrumen untuk penyelamatan korporasi seperti modal penyertaan, dana penempatan, dan alokasi fiskal lainya yang berikan insentif untuk kelompok kaya dilakukan besar besaran, kenapa yang berfungsi untuk jaga stabilitas harga untuk kepentingan rakyat kecil harus diobok obok?. Jadi ini menurut saya sudah perampasan hidup rakyat kecil namanya. 

Penggunaan terminologi bantuan presidenya saja sudah tidak pas. Sumber uangnya adalah pajak dari rakyat. Kalaupun utang juga utang rakyat bukan utang Presiden. Dari terminologinya saja ini sudah mengarah  ke politik " pork barrel", bentuk perampasan hak rakyat kecil dengan kemasan bantuan. Ini mainan politik yang kotor menjelang tahun politik juga. 

Kalau memang subsidi yang terjadi sebabkan bias harga dengan harga BBM dan energi secara internasional, mustinya juga tidak langsung dibandingkan dengan negara negara lainya yang secara sistem ekonomi dan kebijakan tidak sama. 

Tidak bisa kita bandingkan dengan mekanisme pembentukan harga BBM atau energi di Inggris misalnya, karena urusan daya beli rakyatnya selain jauh lebih tinggi juga struktur pasarnya tidak dikuasai secara oligopolistik dan bahkan duopistik seperti Indonesia. Ini sangat menyesatkan. 

Apalagi kalau pencabutan subsidi ini kepentinganya untuk selamatkan alokasi fiskal untuk proyek proyek besar yang tidak ada kaitanya dengan hidup matinya rakyat seperti IKN, proyek kereta cepat dan pembangunan  infrastruktur yang hanya perkaya segelintir kontraktor pemenang proyeknya, ini adalah kejahatan terstruktur namanya. 

Pemerintah itu bekerja untuk layani lapisan masyarakat banyak. Termasuk pengusaha mikro yang tidak hanya hadapi soal harga bahan baku yang tidak stabil, persaingan berdarah darah dengan tetangganya, tapi juga penjualan yang menurun drastis akibat daya beli masyarakat yang buruk. 

Pemerintah itu bukan layani kelompok kecil kaya. Dogma pemerintah liberal kapitalis yang katakan apa yang baik untuk korporasi besar itu baik untuk warga itu sudah gagal. (*/Pr).

Kategori
KOLOM

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar