KORPORATISASI VERSUS KOOPERATIVISASI PETANI

img-1672300730.jpg

Oleh : Suroto (Rakyat Jepara)

Bicara bertani, saya menjadi ingat masa saya lulus SMA dulu. Tepatnya tahun 1994 dari SMA N 1 Merauke. Seperempat abad lalu. 

Setelah lulus dari SMA, cita-cita saya untuk menjadi akuntan sepertinya akan kandas karena orang tua saya tidak memberikan sinyal sedikitpun untuk membiayai saya kuliah. Akhirnya saya banting setir, banting arah menjadi petani. 

Saya kembali pulang ke desa, yang jaraknya dari Merauke sekitar 200 KM.  Tepatnya di daerah transmigrasi Sarmayam, Jagebob, Merauke. 

Ini lahan transmigrasi yang relatif baru pada waktu itu. Kepemilikkan tanah masing-masing keluarga sama :  2 hektar, meliputi 1/4 hektar pekarangan dan 2/3 hektar ladang kering. 

Saya satu keluarga 6 orang, kakak dan adik-adik saya. Ditambah dua orang tua saya berarti 8 orang satu keluarga. Saya tinggal di rumah mungil terbuat dari kayu. 

Apa yang saya lakukan setelah mengambil keputusan banting badan jadi petani? Saya tidak punya lahan sendiri. Melalui lobi sedikit ke desa, akhirnya saya diizinkan kepala desa membuka lahan tanah R. Tanah yang dikuasai desa tapi belum digunakan. 

Saya buka lahan pertanian saya tidak banyak. Hanya sekitar 1,5 hektar. Tanah ini tidak disewa, free. Tidak juga harus setor ke kas desa. Jadi saya kira sangat bagus untuk saya memulai usaha. 

Saya sama sekali tidak punya keterampilan untuk bertani. Tapi saya berfikir kalau saya hanya tanam padi seperti tetangga saya maka lahan itu tentu tidak akan menghasilkan banyak uang. 

Sebut saja misalnya lahan 2 hektar. Dari lahan ini panen 8 ton padi kering giling dalam satu tahun. Ini karena sawahnya tadah hujan. Kalau digiling hanya hasilkan beras sekitar 5,2 ton dengan rendemen sekitar 60 persen. 

Pada waktu itu, harga beras di kampung saya hanya 500 rupiah. Jadi  hanya akan hasilkan uang 2,6 juta per tahun. Ongkosnya buanyak sekali. Pupuk, tenaga kerja untuk buka lahan, penyiangan, penyemprotan hama, dan lain-lain. 

Kalkulator saya malahan ngadat karena perhitungan itu baru di atas kertas kalau panen. Banyak tetangga saya yang mengalami gagal panen karena hama dan juga karena terendam banjir. Sehingga saya putuskan tidak tanam padi. 

Saya putuskan tanam cabe dan tanam kacang panjang. Sebab tanaman ini biasanya hanya ditanam petani disini setelah tanam padi selesai. Itu pun di area yang punya tanah di dekat rawa-rawa yang bisa disiram pakai air, yang perlahan ikut surut mengikuti musim. 

Otak dagang saya jalan. Apa yang saya duga benar adanya. Panenan cabe dan kacang panjang saya sangat hebat. Ketika orang sibuk panen padi saya panen cabe dan kacang. Walaupun saya musti kerja keras untuk menyiramnya ketika kemarau dan orang sedang menyiapkan lahan untuk padi mereka. 

Saya mendapat uang banyak dari panen cabe dan kacang. Saya bahkan menjualnya ke tetangga saya dengan mudah, mereka saya minta memanennya sendiri dan tinggal setor ke saya ikatannya, dan bayar secara cash. 

Kembali ke soal pertanian, saya akhir akhir ini merasa agak risih karena ekonom neoliberal coba tawarkan konsep corporate farming. Ini artinya lahan pertanian akan dikelola secara korporatif. 

Setiap rumah tangga akan bekerja dengan perusahaan dalam bentuk perseroan yang akan mengkonsolidasikan lahan pertanian para petani dan petani dalam bisnis on farm-nya akan disupervisi oleh perseroan profesional. Lalu bisnis off farmnya akan ditangani oleh korporasi tersebut dengan tenaga dari si petani yang katanya akan bergaji.  

Ide ini dibuat buat dengan istilah baru, Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR). Bahkan, BUMR ini akan dikembangkan dengan bekerjasama dengan BUMDes di seluruh Indonesia. Perseroanya bahkan sudah dibentuk dalam model BUMN dengan nama PT. Mitra BUMDes Nusantara, anak perusahaan BRI dan Bulog. 

Sebuah sistem yang sebetulnya mirip dengan Pola Inti-Plasma Rakyat (PIR) yang pada akhirnya jadi pintu masuk korporasi kuasai lahan-lahan rakyat yang pada awalnya bermanis manis dengan konsep 80 persen nanti rakyat sebagai plasma yang akan kuasai korporasi Inti. 

Omong kosong lama yang gagal dan membuat penyerobatan tanah (land grabbing) semakin masif dimana mana. Petani petani independen itu akhirnya hanya jadi buruh-buruh perkebunan tersebut. 

Saya sebetulnya juga tidak cocok dengan pola skala pertanian keluarga yang kecil-kecil seperti yang saya rasakan dalam keluarga saya sendiri. Sebab, kebebasan yang kami unduh adalah juga hanya hasilkan penderitaan ditambah cerita manis pahit petani subsisten. 

Lahan 2 hektar keluarga saya itu, walaupun digarap dengan intensif tentu tidak akan menghasilkan nilai ekonomis yang memadai untuk kebutuhan keluarga saya. Dari biaya keseharian, sekolah anak-anak, sakit, dan kebutuhan mendesak lainya. Apalagi hasil panen kami pasti selalu tergencet oleh mafia kartel pangan yang kendalikan harga di pasaran. 

Nah, bagaimana sebetulnya pola yang benar itu seharusnya. Menurut saya, kooperativisasi petani adalah model yang cocok. Bagaimana pola kerjanya? 

Pertama, petani-petani yang tentu harus didukung dengan kebijakan reforma agraria membangun sebuah koperasi pertanian sendiri. Koperasi ini membentuk kepengurusan yang terdiri dari mereka sendiri.

Pengurus mengambil kebijakan umum untuk dijalankan oleh manajemen profesional yang bekerja untuk mendukung petani-petani kecil tersebut hingga mampu berkembang ke skala menengah. 

Koperasi ini setidaknya mengelola manejemen pembelian  bersama, penjualan bersama di awal. Setelah mereka memiliki dana cadangan yang cukup masuk ke bisnis pemrosesan, dan ditambah dengan kegiatan pendukung lain seperti perkreditan, asuransi dan lain sebagainya. 

Ini memang tidak mudah, sebab selama ini koperasi di Indonesia terutama KUD ( Koperasi Unit Desa) yang dulu dibentuk secara atas bawah ( top-down). Perubahan pola pengembangannya harus dirombak total. Koperasi ini dibangun dari bawah dengan cara membangun kesadaran masyarakat tentang arti penting koperasi bagi hidup mereka. Juga manfaat nyata yang mereka bisa manfaatkan. 

Pengalaman menarik dari Amerika Serikat, ternyata pola pertanian mereka tetap saja didominasi oleh model family farming alias pertanian keluarga hingga 98 persen. Walaupun masih didominasi oleh skala pertanian kecil hingga 87 persen.

Tapi mereka yang mulai menyadari arti penting koperasi mulai beralih ke skala pertanian keluarga  menengah. Melalui koperasi mereka merasa pekerjaan menjadi lebih ringan, mudah, efisien dan juga mampu menangkal permainan harga dari para mafia. Itu kenapa misalnya, koperasi Sunkist Cooperative Growers misalnya produk jusnya bisa mendunia dan mampu memberikan nilai tambah ke petani keluarga.(*/pr).

Kategori
KOLOM

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar