"Praktek Koperasi Simpan Pinjam yang Semakin tidak Terkendali"

Oleh : Djabaruddin Djohan


Kisah KSP memburu nasabah yang bukan anggota tentu bukan hanya terjadi di kantor pos tempat pensiunan mengambil uang pensiun, tetapi juga terjadi dimana saja dan kapan saja, dimana ada KSP.

Sebagai pensiunan pegawai negeri, setiap awal bulan saya tidak pernah absen (kecuali jika sedang ke luar kota atau sakit) datang ke sebuah Kantor Pos di Jakarta Timur untuk mengambil uang pensiun.

Duduk berjejer di antara sesama manula sambil mengobrol dengan bumbu tentang kegiatan masa lalu dan polah anak cucu, seorang gadis membagikan selembar brosur berisi tawaran pinjaman uang dengan sarat- sarat yang disusun sedemikian yang sepintas terlihat menarik hati para pensiunan.

Bunga pinjaman yang hanya 0,88%, tanpa batas usia, tanpa jaminan (dengan angsuran pinjaman langsung dipotong dari uang pensiun oleh petugas pensiunan), proses cepat (3 menit) dan sebagainya, adalah beberapa tawaran menggiurkan itu.

Belum habis membaca brosur pertama, datang brosur kedua yang juga menawarkan pinjaman dengan syarat-syarat yang tak jauh berbeda dengan brosur pertama. 

Usut punya usut, ternyata dua lembaga yang menawarkan pinjaman uang kepada para pensiunan tersebut adalah Koperasi Simpan Pinjam (KSP). Tertera di brosur, satu berkantor pusat di Semarang, yang lain tidak disebut kantor pusatnya, kecuali kantor wilayahnya di Jabodetabek dan Banten.

Untuk dapat beroperasi dengan leluasa di tempat pengambilan pensiun tersebut, kedua KSP bekerjasama secara resmi dengan Kantor Pos setempat, ini dibuktikan dengan diberikannya ruangan berikut fasilitas meja kursi di zona kantor pos untuk melayani calon nasabah.

Kisah KSP memburu nasabah yang bukan anggota tentu bukan hanya terjadi di Kantor Pos tenpat para pensiunan mengambil uang pensiun, tetapi juga terjadi di mana saja dan kapan saja dimana ada KSP. Untuk memburu nasabah sebanyak mungkin pada umumnya KSP-KSP mempunyai petugas lapangan. Mereka leluasa keluar masuk kampung dan pasar.

Nasabah yang terjaring lantas diberi status sebagi "calon anggota". Yang menjadi masalah, seringkali "calon anggota" itu jumlahnya bisa berlipat ganda dibandingkan dengan anggota penuh.

Padahal, mengacu pada PP No. 9/1995 tentang "Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi", mengharuskan "calon anggota dalam waktu 3 bulan setelah melunasi Simpanan Pokok harus menjadi anggota".

Aturan ini sepertinya dianggap angin lalu oleh kebanyakan KSP. Kian ironis, penyimpangan tersebut terkesan dibiarkan saja oleh otoritas Koperasi. Malahan, terhadap KSP-KSP yang meskipun menyimpang - dapat memupuk volume usaha dan asset yang jumlahnya puluhan milyar, bahkan triliunan rupiah cenderung mendapat penghargaan tinggi sebagai Koperasi Teladan, tidak peduli volume usaha tersebut banyak bersumber dari transaksi dengan bukan anggota. Penyimpangan semacam ini, terkesan kuat justru memperoleh legitimasi dari pemerintah.

Pada tahun 2001, misalnya, pada sebuah sambutan yang disampaikan dalam RAT sebuah KSP yang cukup besar, seorang pejabat tertinggi koperasi (Menteri Koperasi dan UKM) menyatakan, bahwa koperasi tidak mungkin bisa menjadi besar, jika hanya melayani anggotanya. 

la lantas memberikan contoh Koperasi Taksi, bagaimana mungkin bisa berkembang menjadi besar, jika penumpangnya hanya anggota dan keluarganya saja. Demikian pula, KSP, tidak mungkin bisa menjadi besar jika hanya melayani anggotanya yang sangat terbatas.

Bagaimanapun, penunjukan Koperasi Taksi sebagai contoh koperasi yang tidak mungkin bisa menjadi besar jika hanya "melayani" anggotanya sungguh tidak tepat. Demikian pula pendapat bahwa KSP juga tidak mungkin bisa menjadi besar jika hanya melayani anggotanya. Hal ini terbantahkan oleh kinerja Koperasi Kredit, -nama lain dari Koperasi Simpan Pinjam yang bisa berkembang dengan sehat dan kuat meski hanya melayani anggotanya. 

Disadari atau tidak, pernyataan sang pejabat tertinggi Koperasi tersebut potensial lebih mengobarkan semangat KSP-KSP untuk lebih giat memburu nasabah, dimanapun dan kapanpun. Tujuannya jelas: meningkatkan/memperbesar perputaran uang sehingga diperoleh keuntungan (SHU?) yang lebih besar tanpa disertai kewajiban untuk membagikan sebagian dana SHU kepada nasabah, seperti yang seharusnya dilakukan kepada anggota yang bertransaksi dengan koperasinya.

Tanpa ada pembatasan wilayah usaha ("Adapun mengenai pelaksanaan usaha koperasi dapat dilakukan dimana saja, baik di dalam maupun di luar negeri, dengan mempertimbangkan kelayakan usahanya"/Penjelasan Pasal 43 UU No. 25/1992), maka KSP bebas beroperasi di mana saja. Dengan dasar ketentuan ini, maka KSP-KSP yang merasa sudah kuatpun lalu melebarkan sayap usahanya ke berbagai daerah/provinsi dengan mendirikan cabang-cabang. Bukan hal yang asing. jika di satu kota terdapat beberapa cabang dari KSP-KSP yang berbeda. Tak terhindarkan dalam kondisi seperti ini tentu terjadi persaingan atau perebutan nasabah, seperti yang terjadi di Kantor Pos tempat saya mengambil pensiun, meskipun masing-masing KSP mengklaim memiliki segmen nasabah yang berbeda.

Paling tidak pada satu dekade terakhir ini peta perkoperasian Indonesia sangat didominasi oleh KSP, sementara koperasi-koperasi yang bergerak disektor riil bagaikan "mati suri". Menurut catatan resmi jumlah koperasi yang aktif saat ini (Juni 2009) adalah sebanyak 118.616 unit. Dari jumlah ini, tidak ada perincian mengenai jumlah masing- masing jenis koperasi, termasuk KSP Tetapi ada catatan pada 2005 jumlah KSP tercatat sebanyak 38.062 unit, belum termasuk unit-unit simpan pinjam yang mayoritas dimiliki oleh KSU-KSU.

 Belum ada penelitian mengenai praktek dari KSP maupun USP-USP ini tentang pelayanan kepada anggota dan bukan anggota. Tetapi secara kasat mata bisa dilihat, bahwa demi untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya, pelayanan kepada bukan anggota yang jumlahnya jauh lebih besar dari pelayanan kepada anggotanya sendiri, sudah jamak dilakukan oleh koperasi-koperasi jasa keuangan ini. Berbeda KSP-KSP pada umumnya, yang selain melayani anggota juga melayani yang bukan anggota dengan predikat "calon anggota", Koperasi Kredit (Kopdit, saat dibentuk pada 1970 bernama Credit Union atau CU), sejak semula memang dirancang hanya untuk melayani anggotanya. Diawali dengan pendidikan, sehingga calon anggota memahami kewajiban dan hak-haknya, kopdit tumbuh dengan konsisten dan menyebar ke seluruh provinsi tanah air sebagai lembaga ekonomi dan sosial yang sehat dan kuat.

Untuk menjamin pinjaman anggota, Kopdit memiliki lembaga yang disebut DAPERMA (Dana Perlindungan Bersama), untuk membantu kebutuhan modal antar kopdit dibentuk lembaga Silang Pinjam (interlending), sedangkan untuk menjaga kesehatan keuangan dan organisasi kopdit, Inkopdit melakukan fungsi audit.

Jika satu-satunya jenis koperasi yang masih "tetap bertahan" di pasar global ini dibiarkan berkembang liar tanpa kendali, tanpa memperhatikan "koridor jatidiri koperasi", meskipun mungkin dapat mencapai volume usaha dan asset yang tinggi, apalagi yang masih bisa kita banggakan dari lembaga ekonomi sosial yang pernah digadang-gadang sebagai soko guru perekonomian nasional ini? (*)

______

catatan : Djabaruddin Djohan adalah jurnalis, pakar, dan aktivis perkoperasian Indonesia. Artikel ini pernah dimuat di Majalah Warta Koperasi, kemudian dibukukan pada 2011 dengan judul "Wajah Koperasi Indonesia". (Editor : Priono).



Kategori
KOLOM

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar