Militansi Anggota Agar Koperasi Tetap Berjaya


Oleh : Dewi Tenty Septi Artiany

(Notaris dan Pemerhati Koperasi, UMKM dan Ekonomi Kreatif)

img-1621575818.jpg

 

    Koperasi di Indonesia sejatinya memiliki data yang fantastis. Jumlah koperasi di Indonesia tahun lalu sekitar 230.000-an koperasi, adalah yang terbanyak di dunia. Seharusnya, keberadaan koperasi sudah menjadi salah satu leading sector di bidang perekonomian. Apalagi, keberadaan koperasi menjadi sangat istimewa dengan penyebutan koperasi pada penjelasan Pasal 33 UUD 1945 sebagai bangun usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Pantaslah kiranya bila koperasi menjadi soko guru perekonomian di Indonesia sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh Bung Hatta, sudah sepantasnya pula koperasi di Indonesia berjaya.


    Ternyata, banyaknya jumlah koperasi tidak sebanding secara signifikan dengan besarnya penerimaan negara melalui koperasi. Pendapatan produk domestik bruto (PDB) yang diterima oleh negara melalui koperasi baru sekitar 5,1% saja. Berdasarkan data Kementerian UKM dan Koperasi (Kemenkop UKM) tahun 2018, jumlah koperasi aktif pada tahun 2016 sebanyak 151.170 unit, pada tahun 2017 jumlahnya menjadi 152.174 unit, dan pada tahun 2018 jumlah koperasi menjadi 126.343 unit.

    Adapun rasio PDB koperasi Indonesia pada tahun 2016 yaitu 3,99 % dan pada tahun 2017 sebesar 4,48%. Sedangkan jumlah anggota yang tergabung dalam koperasi pada 2016 adalah 11,84 juta orang, pada 2017 ada 18,23 juta orang, dan di 2018 sebanyak 20,05 juta orang dengan total penduduk Indonesia di tahun yang sama ada 267,7 juta jiwa.

    Bila kita bandingkan dengan penerimaan (PDB) melalui koperasi di negara lain di tahun 2019, jumlahnya sungguh fantastis, seperti di Singapura 10%, Prancis 18%, Belanda 18%, dan Selandia Baru 20%. Tingginya penerimaan PDB dari koperasi di negara itu mencerminkan keberadaan koperasi sebagai kekuatan ekonomi sudah layak diperhitungkan.

    Ironis memang, di negara-negara yang katanya menganut sistem perekonomian kapitalis justru mendapatkan PDB dari koperasi yang luar biasa besar jumlahnya. Bisa dibayangkan, jumlah koperasi di negara tersebut tidak sebanyak di Indonesia tapi menghasilkan income yang luar biasa. Lantas, pertanyaan mendasarnya adalah kenapa itu bisa terjadi?

    Dari data yang ditampilkan dapat disimpulkan, penduduk Indonesia yang menjadi anggota koperasi kurang dari 10% dari total populasi. Artinya, pemahaman tentang pentingnya atau manfaat yang didapat dari menjadi anggota koperasi masih dirasa sangat minim.

    Bila kita bandingkan dengan keikutsertaan masyarakat di Amerika Serikat yang konon kabarnya dari tiga orang Amerika, satu di antaranya menjadi anggota koperasi. Lantas di Jepang, dari empat warga Jepang, satu di antaranya terdaftar menjadi anggota koperasi. Tak heran, kita bisa melihat cerita sukses koperasi raksasa di beberapa negara. Misalnya saja, Nonghyup di Korea Selatan, Zen Noh di Jepang, Desjardins di Kanada, atau Friesland Campina di Belanda. Kisah koperasi tersebut menjadi cerita menarik tersendiri tentang geliat perekonomian via koperasi.

    Kenapa keterlibatan masyarakat terhadap koperasi di negara-negara itu menjadi sangat besar sementara di Indonesia masih dirasa sangat minim. Padahal, salah satu faktor yang bisa meningkatkan kinerja dan pendapatan koperasi adalah jumlah anggota. Tetapi, jumlah anggota saja tidak dapat dijadikan ukuran kesuksesan suatu koperasi.


Menumbuhkan Militansi

    Anggota koperasi akan merasakan manfaat menjadi anggota bila sudah terbentuk militansi anggota. Dan, banyaknya koperasi di Indonesia tidak berbanding lurus dengan jumlah anggota (artinya, masih banyak koperasi abal-abal yang hanya ada koperasinya tapi tidak punya anggota) dan diperparah dengan kurangnya militansi anggota koperasi.

    Militansi anggota akan timbul jika koperasi menerapkan prinsip dual identity, suatu prinsip dasar koperasi yang keberadaannya sudah jarang diterapkan di Indonesia. Padahal, ketentuan itu sudah dicantumkan dalam anggaran dasar koperasi tentang kedudukan anggota sebagai pemilik dan pengguna.

    Kedudukan anggota sebagai pemilik mempunyai tanggungjawab untuk mengembangkan organisasi, kelembagaan dan usaha yang diwujudkan beberapa bentuk. Pertama, memperkuat ekuitas atau modal sendiri dengan membayar simpanan wajib secara rutin. Kedua, bersedia secara sukarela menempatkan kelebihan dana untuk ditempatkan pada koperasi dalam bentuk modal penyertaan maupun simpanan lainnya. Ketiga, berpartisipasi aktif setiap ada kegiatan rapat-rapat yang diselenggarakan oleh koperasi.

    Kemudian, menempatkan kedudukan anggota koperasi sebagai pengguna jasa. Pertama, menempatkan anggota sebagai pengguna jasa bisa diwujudkan dengan partisipasi aktif untuk memanfaatkan kegiatan usaha melalui transaksi jasa simpanan dan transaksi jasa pinjaman oleh anggota terhadap koperasi. Kedua, setiap anggota memiliki kedudukan yang sama untuk memperoleh pelayanan dari koperasi. Artinya, anggota hanya bisa merasakan manfaat dari koperasi bila sudah menjadi pemilik dan pengguna koperasi. Maka, maraknya Koperasi Simpan Pinjam (KSP) di Indonesia mencerminkan anggota koperasi masih dalam tataran pengguna bukan pemilik.

    Melihat koperasi sebagai badan hukum yang hanya diingat kala susah tapi ditinggalkan di kala senang, banyak contoh yang terjadi di masyarakat. Misalnya, anggota lagi tidak punya uang berutang ke koperasi. Tapi, di saat anggota sedang berlapang rezeki, menabung di bank supaya tampak gaya. Atau, lagi susah anggota kredit ke koperasi tapi ada uang beli di supermarket. Hal-hal seperti ini yang membuat koperasi semakin terpuruk.

    Padahal, koperasi adalah milik anggota jadi anggota lah yang harus memakmurkan koperasi (dengan arahan dari pengurus tentunya). Jadikan koperasi itu pusat kegiatan usaha kita. Saat anggota punya uang, simpan di koperasi. Mau beli barang produksi, belilah via koperasi, Butuh modal, bisa melalui koperasi.

    Apa untungnya? Sekadar contoh. Anggota akan mendapatkan sisa hasil usaha (SHU) dari setiap transaksi yang dilakukan melalui koperasi. Anggota yang cuma meminjam akan dapat 1 poin, tapi jika pinjam, simpan, dan membeli di koperasi, maka mereka akan mendapat tiga poin untuk SHU-nya.

    Yuk, kita memakmurkan koperasi dengan menumbuhkan militansi anggota. Kita bisa mengambil contoh positif dan menerapkannya dari koperasi besar dunia maupun di Indonesia. Jadi, bisa kita tiru dan terapkan.

    Koperasi juga masih banyak belajar prinsip-prinsip dan tata kelola perkoperasian. Sebab, banyak yang tidak tahu dalam mengelola koperasi karena masih pada pemahaman di kulit luarnya saja. Jadi tidak heran, jika jumlah koperasi yang banyak di Indonesia masih belum dibarengi dengan gilang gemilangnya pendapatan melalui koperasi.(ES)

Kategori
WACANA

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar