Mereaktualisasi Konsep Sapu Lidi

Sejak dahulu bangsa Indonesia telah memiliki konsep tentang kekuatan kelompok, mereka menyebutnya sebagai ilmu sapulidi. Bila lidi hanya satu batang, dengan mudah dapat dipatahkan, tetapi bila ratusan batang lidi diikat menjadi sapulidi, maka siapapun tidak akan mampu mematahkannya. Bahkan seikat sapulidi tersebut menjadi elastis.

Konsep sapulidi ini, diterapkan sebagai pandangan hidup dan melahirkan pola kehidupan bergotong-royong. Falsafah ini sangat sederhana, tetapi bernilai luhur; membangun kesadaran kerjasama, membangun kekuatan bersama, sehingga berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Tetapi falsafah luhur tersebut masih sebatas bernuansa ideologis, sehingga perlu diterjemahkan ke dalam kerangka tindak yang operasional, agar dapat diterapkan dalam kehidupan praktis sehari-hari.

Katakanlah, bahwa ilmu sapulidi atau ungkapkan berat sama dipikul ringan sama dijinjing itu, secara nyata dapat diterapkan dalam aktivitas ekonomi. Mampukah diri sendiri menerjemahkannya ataukah sudah ada hasil-hasil pemikiran orang atau bangsa lain yang relevan dan dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan konsep lebih lanjut? Konsep tentang koperasi yang sejalan dengan pandangan hidup seperti disebutkan itu, mumgkin perlu diadopsi dari hasil pemikiran yang lahir dan berkembang dari berbagai sumber.

Konsep tentang bentuk organisasi ekonomi yang disebut koperasi, mulai dimunculkan oleh Robert Owen (1791-1858) di Inggris dan Charles Fourier (1772-1837) di Perancis. Mereka adalah penganut aliran sosialisme utopia. Konsepsi tentang organisasi  koperasi tersebut terus dikembangkan dan diujicobakan.

Tuntutan terhadap usaha bersama berbentuk koperasi semakin nyata dan kuat ketika revolusi industri terjadi pada pertengahan abad ke-18 di Eropa. Pada awal revousi industri di Inggris, kaum buruh yang merasa tertekan kehidupan ekonominya di dalam sistem ekonomi pasar, berusaha mengadopsi ide berkoperasi tersebut guna mengatasi masalah ekonomi mereka. Upah yang diterima oleh pekerja cukup rendah sedangkan harga-harga barang konsumsi hasi industri pemenuh kebutuhan hidup melambung tinggi.

Posisi tawar kaum buruh, baik di dalam kedudukannya sebagai pemasok tenaga kerja maupun sebagai konsumen di pasar barang dan jasa, begitu lemah. Akhirnya mereka sadar, tidak akan ada pihak lain yang peduli terhadap posisi mereka yang lemah, kecuali mereka harus bersatu membangun kekuatan ekonomi kolektif, serta mengatasi kesulitan ekonomi secara bersama-sama. Dari sisnilah kemudian untuk pertama kalinya didirikan sebuah Koperasi Konsumen (consumer’ cooperative), sebagai sebuah perusahaan yang dimodali oleh kaum buruh/dibiayai, dikelola, diawasi dan dimanfaatkan sendiri oleh kaum buruh di Rochdale pada 1844. Landasan demokrasi diletakan di dalam pengelolaan organisasi koperasi, bukan saja untuk mengatasi masalah ekonomi mereka, tetapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem kapitalisme yang meletakan kekuasaan pada pemilik modal.

Setelah menempuh proses pembahasan yang cukup lama, maka dimotori oleh 28 pekerja di Rochdale di Inggris bagian utara, pada 24 Oktober 1844 didirikan koperasi konsumen yang anggotanya kaum buruh. Mereka membuka toko yang menyediakan barang-barang konsumsi sehari-hari, diusahakan sendiri, dan untuk keperluan sendiri. Mereka menyusun aturan-aturan koperasi yang kemudian dikenal sebagai Prinsip-prinsip Koperasi Rochdale yaitu :

1.      Keanggotaan bersifat terbuka;

2.      Pengawasan secara demokratis, satu anggota satu suara;

3.      Bunga terbatas atas modal dari anggota;

4.      Pengembalian surplus sesuai dengan jasa masing-masing angota kepada koperasi (disebut patronage refund);  

5.      Harga barang mengikuti harga pasar dan dibayar secara tunai;

6.      Tidak ada perbedaan ras, suku, agama dan aliran politik;

7.      Barang-barang yang disediakan harus asli dan tidak rusak;

8.      Pendidikan anggota yang berkelanjutan.

Prinsip-prinsip koperasi Rochdale pada saat itu dianggap hasil pemikiran baru, moderen dan rasional dan segera menyebar ke berbagai negara untuk dikaji dan diterapkan dengan penyesuaian-penyesuain berdasarkan kondisi setempat. Pada 1870, Raiffeisen memprakarsai beridirinya koperasi petani yang bergerak pada pelayanan kredit untuk petani, pengadaan input pertanian, dan pemasaran produk-produk hasil pertanian.

Adopsi terhadap konsep dan pengembangan praktik-praktik koperasi terus diterapkan di berbagai negara secara luwes, disesuaikan dengan kondisi dan budaya setempat. Bahkan kelembagaan koperasi dipergunakan pula oleh berbagai institusi internasional, untuk mengembangkan dan menggerakan ekonomi rakyat di negara-negara yang masih terbelakangdan atau sedang berkembang.

Mohammad Hatta, prokalmator kemerdekaan Republik Indonesia, mempelajari secara mendalam tentang konsep-konsep koperasi modern pada saat menempuh pendidikan di Belanda. Semakin dipahaminya konsep-konsep tentang koperasi itu, Hatta semakin yakin bahwa kesejahteraan hidup rakyat Indonesia yang beratus tahun didera kemiskinan dan kebodohan akibat penjajahan, dapat diangkat dan dimartabatkan, melalui penerapan sistem ekonomi kerakyatan yang bersendikan pada kelembagaan koperasi.

Pemikiran-pemikiran Hatta yang maju dan rasional itu, kemudian mewarnai Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33. Hatta sangat memahami memahami bagaimana ide dan konsep-konsep koperasi itu mulai tumbuh sebagai bentuk perlawanan terhadap efek negatif kapitalisme awal, yang bangkit bersamaan dengan terjadinya revolusi industri pada masa lalu.

Fakta menunjukan, bahwa adopsi nilai-nilai koperasi ke dalam praktik telah banyak mengalami penyesuain-penyesuain berhubung dengan dinamika kehidupan ekonomi yang berkembang pesat. Dalam rangka mengembangkan nilai-nilai koperasi agar tidak menyimpang dari nilai-nilai intrinsik yang dimiliki oleh koperasi, maka dibentuk organisasi koperasi sedunia yang diberi nama International Cooperative Aliance (ICA), dengan tugas memajukan dan mengembangkan koperasi di seluruh negara di duniaMohammad Hatta menyadari benar, bahwa bangsa Indonesia memiliki nilai-nilai intrinsik budaya gotong royong dan kekeluargaan. Nilai-nilai intrinsik tradisional itu, dapat dimodernisasikan melalui formalisasi kelembagaan yang diberi sebutan koperasi. artinya, pengembangan kelembagaan koperasi di lingkungan kehidupan masyarakat, tidak sekadar sebagai bentuk perlawanan terhadap efek-efek negatif dari sistem kapitalisme, tetapi lebih dari yang sudah mengakar ke dalam wujud kehidupan yang rasional dan manageable, diterapkan berdasarkan pole pemikiran yang maju. (Edi Supriadi, disarikan dari berbagai sumber)

Kategori
WACANA

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar