Kajian Kontemporer Ihwal Pengingkaran-Pengingkaran Koperasi Kita

 

Reputasi dan peringkat koperasi Indonesia di peta perkoperasian dunia memang masih belum seberapa. Demikian pula tingkat kepercayaan di mata publik negeri sendiri. Belum ada koperasi kita yang masuk 100 besar dunia. Jiran terdekat, Singapura dan Malaysia, sudah berhasil menembus peringkat atas koperasi level Asia dan menuju kelas dunia. Menjejak 75 tahun gerakan koperasi dan 77 tahun kelahiran Republik Indonesia, optimisme tak boleh surut. Melakukan evaluasi atas situasi dan kondisi gerakan koperasi kita sangat diperlukan. Ulasan pakar pemerhati perkoperasian senior (almarhum) Sularso Martodiwirjo yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Redaksi majalah Warta Koperasi ini, masih relevan dan layak disimak.


Revolusi Industri mengakibatkan pekerja terdholimi dan pertanian terpinggirkan. Tetapi pekerja berusaha mempertahankan diri dengan mendirikan “koperasi”, di samping “Serikat Pekerja”. Kaum Tani dianjurkan untuk memperkuat eksistensinya dengan mendirikan “Koperasi Kredit Pertanian” oleh Raifeisen yang kemudian diabadikan sebagai nama koperasi; Koperasi Raifeisen yang masih banyak dipakai di Eropa. Yang berkembang di AS dinamakan Credit Union (CU) yang juga tetap berorientasi kepada dunia pertanian.

Kemajuan yang ditandai dengan menyurutnya penduduk pertanian, sehingga anggota Koperasi Raifeissen dan CU juga menyusut. Untuk mempertahankan diri dan menjaga pertumbuhan anggota koperasi tersebut umumnya menyasar ke komunitas konsumen, yang umumnya menjadi konsumen hasil pertanian. Seorang pekerja di Tokyo mengatakan bahwa di Jepang yang paling kaya adalah Koperasi atau Bank Pertanian. Maka ia mendaftar menjadi Pelanggan dan meminjam kredit untuk mendirikan rumah.

Koperasi adalah lembaga ekonomi utama di bidang pertanian di perdesaan, dan di lingkungan ekonomi modern koperasi tidak hidup subur. Kesokoguruan atau kepilaran koperasi tidak tercantum dalam konstitusi. Kesokoguruan koperasi tercantum dalam UU Perkoperasian. Dalam konteks tersebut Bung Hatta menyatakan bahwa koperasi harus “lebih ulung” dari perusahaan swasta. Kesokoguruan atau kepilaran koperasi hanya berlaku di bidang pertanian di perdesaan. Mungkinkah cita-cita koperasi sebagai sokoguru atau pilar tersebut bisa tercapai?

Di mancanegara tidak terdengar cita-cita koperasi untuk menjadi sokoguru perekonomian atau pilar Negara.  Meskipun dibidang kebutuhan konsumen umumnya koperasi memang dominan.

Hingga kini, belum ada analisis serius tentang sebab-sebab koperasi tidak maju, hingga tidak ada seorangpun yang paham mengapa koperasi tidak maju. Karena itu tidak ada yang dapat menyalahkan jika ada orang yang mengatakan bahwa koperasi tidak maju karena para pemimpinnya tidak punya niatan untuk maju.

Seperti pepatah agama innamal a’malu bin niat’, perbuatan itu dimulai dari niat. Ada lagi ungkapan yang berbunyi ‘Sesuatu kaum tidak akan berubah atau maju kecuali kaum itu sendiri yang merubah dan memajukannya”. Kaum itu misalnya koperasi terutama para pemimpinnya kalau tidak ada niatan maju tidak akan maju.

 Selain dari pada itu. ada “kaidah penuntun” yang tidak dilaksanakan atau di”ingkar”i oleh koperasi. Kaidah penuntun tersebut sangat penting karena mengandung ketentuan agar koperasi dapat berkembang maju sebagai koperasi yang benar. Kaidah penuntun” tersebut antara lain Anjuran Bapak Koperasi, Definisi koperasi, Nilai koperasi, Prinsip koperasi serta Kaidah Ekonomi Perusahaan.

 Kaidah Penuntun yang diingkari tersebut hakikatnya  adalah mengingkari jati diri koperasi, yang dalam pertemuan serombongan tokoh-tokoh koperasi dengan Presiden Jakowi belum lama ini, diingatkan oleh Presiden agar koperasi selalu mengikuti anjuran jati diri koperasi dengan sebaik-baiknya. Kaedah penuntun yang diingkari tersebut perlu ditelusuri satu per satu. Jika kaidah penuntun diingkari pastilah koperasi tidak akan maju.

 

Ingkar Terhadap Anjuran Bapak Koperasi

Koperasi sebagai basis sistem perekonomian nasional yang oleh Bung Hatta dicita-citakan dapat menjadi sokoguru perekonomian nasional, atau apa lagi ada yang mencita-citakan sebagai “Pilar Negara”. Mungkinkah koperasi mampu menjadi sokoguru perekonomian nasional, perlu dikaji terlebih dahulu. Kesokoguruan tersebut dapat dicapai jika koperasi dapat menjadi “serba dominan” atau “ulung” dalam segala bidang perekonomian nasional. Namun perlu disadari bahwa koperasi adalah wahana sosial ekonomi di bidang pertanian dan perdesaan dan mungkin di bidang itu koperasi bisa dominan.

Di bidang ekonomi modern koperasi tidak bisa hidup subur dan tidak mungkin dominan. Mungkin dalam konteks itu Bung Hatta menganjurkan bahwa koperasi  harus “lebih ulung” atau lebih dominan dibanding perusahaan swasta atau dari pada usaha yang berbasis perseorangan atau swasta. Keulungan koperasi tersebut harus dibuktikan dalam praktek, jika ingin menggayuh cita-citanya. Begitu pula koperasi harus besar, kuat, sehat, mandiri dan modern. Kenyataannya koperasi mengabaikan faktor-faktor yang dapat menjadikannya dominan atau ulung, malahan umumnya tidak ulung dan sangat tertinggal jauh dari perusahaan swasta.

 Koperasi adalah perusahaan yang dikelola seadanya secara “sambilan”, tidak sesuai dengan kaidah penuntun, dan berskala kecil. Ketika koperasi disandingkan dengan UMKM, masih banyak koperasi primer yang skalanya setara  usaha mikro, segmen UMKM yang paling buncit, yang tidak mampu berbuat apapun serta mencerminkan sosok yang kecil, lemah, sakit-sakitan, tergantung dan kuno.

 Nilai “kerja keras” yang dianut umumnya perusahaan swasta tidak menantang para pengurus koperasi untuk bekerja lebih keras lagi untuk mencapai keulungan.  Artinya anjuran Bung Hatta Bapak Koperasi agar koperasi menjadi ulung tidak melekat pada niatan kalangan koperasi serta para pemimpinnya dan tidak pernah dilaksanakan. Bagaimana mungkin dengan begitu koperasi bisa maju? Suatu asa yang mungkin tidak akan tercapai.

 Jika Bung Hatta menganjurkan bahwa koperasi harus ulung dan lebih ulung daru perusahaan swasta, maka koperasi harus jauh lebih ulung dari UMKM dan Usaha Besar versi UU LKM. Dengan rumus itu maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, sekitar 5 tahun mendatang, skala setiap koperasi primer harus sudah mencapai  minimum setara usaha besar versi UU LKM, yaitu dengan jumlah anggota ribuan orang, aset minimum Rp. 50 milyar dan omset minimum Rp, 5 milyar. Jika target skala tersebut tidak tercapai mungkin koperasi tidak perlu ada dan kalau ada tidak ada gunanya, serta tidak perlu “koperasi-koperasian”.

 Sebagai ekonom mikro Bung Hatta menganjurkan agar para eksekutif Direksi atau “Pengurus” koperasi digaji lebih tinggi dari Direksi perusahaan swasta biasa, sebagai dasar profesionalisme managemen, guna menghapuskan gaya pengelolaan sambilan. Kalangan koperasi menolak istilah direksi karena anggapan istilah itu berasal dari struktur kepengurusan perusahaan kapitalis. Koperasi lebih menyukai istilah Pengurus, yaitu suatu perangkat organisasi dengan tugas eksekutif untuk mengelola organisasi dan usaha koperasi, yang belum tentu dipersyaratkan kompetansi dalam melaksanakan tugasnya. Yang mengesankan koperasi adalah “dimiliki dan dikelola oleh pengurusnya”. Padahal yang benar  koperasi adalah organisasi demokratis yang dikontrol oleh anggota. Tetapi Pengurus koperasi berkedudukan sangat kuat serta sulit diganti, termasuk pada koperasi yang paling tidak maju. Sehingga memberi kesan pengurus koperasi “hanya itu-itu saja”.

 

Ingkar terhadap Definisi Koperasi

 Definisi koperasi disusun mengikuti rumusan ICA 1995, hanya dua istilah yang diterjemahkan menyimpang yaitu “asosiasi orang” diterjemahkan menjadi “perkumpulan orang”  untuk menghindari pengertian asosiasi yang berkaitan dengan kegiatan bisnis; dan “entreprize” yang diterjemahkan sebagai “usaha bersama” untuk menghindari terjemahan dengan kata perusahaan.

 Menurut kalangan tertentu koperasi dipahami sebagai “bukan perusahaan”, agar tidak dikenakan pajak. Meskipun tidak ada koperasi atau perusahaan yang bangkrut karena membayar pajak sesuai ketentuan Undang Undang. Karena itu harap maklum jika usaha koperasi tidak maju, karena koperasi bukan perusahaan.

 Kalau mengikuti rumusan ICA, maka pengertian koperasi memiliki dua dimensi, yaitu “asosiasi orang” dan “perusahaan”. Asosiasi orang karena orientasinya kepada pengguna yang menjadi anggota atau pemilik koperasi. Sebenarnya anggota  lebih utama sebagai pengguna dari pada pemilik. Karena pemilik yang tidak menjadi pengguna tidak ada manfaatnya bagi koperasi. Bung Hatta lebih tegas menekankan pengertian koperasi sebagai perusahaan dengan istilah “bangun perusahaan”, bentuk perusahaan. Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 ketika masih berlaku dapat ditafsirkan bahwa  yang diperlukan untuk menyusun perekonomian berdasar atas asas kekeluargaan dalah koperasi dalam dimensinya sebagau perusahaan. Dimensi lainnya tidak diperlukan dan terserah kepada koperasi sendiri. Ms Pauline Green mantan Ketua ICA pernah menyatakan bahwa koperasi adalah perusahaan untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi anggota, dan tidak serakah tambahnya.

Koperasi sejatinya adalah “perusahaan biasa” sama dengan perusahaan lainnya. Hanya beda dalam orientasinya. Koperasi berorientasi kepada pengguna, “user oriented firm”, Kalau dikatakan bahwa anggota koperasi adalah pengguna (jasa) rasanya kurang lengkap karena istilah yang dikenal adalah anggota koperasi adalah “pemilik dan pengguna”. Perusahaan kapitalistik berorientasi kepada investor, “investor oriented firm”. Dalam masalah operasional tidak ada bedanya. Istilah yang dipergunakannya adalah sama pula. Sebelum kalangan koperasi memiliki pengertian yang berimbang antara asosiasi dan perusahaan, maka koperasi tidak bisa maju.

 

Ingkar terhadap Nilai Koperasi

Kalangan koperasi beranggapan bahwa koperasi adalah penuh dengan nilai-nilai  yang baik yang menjadi pendukung kemajuan koperasi. Sebagai perusahaan nilai koperasi yang paling penting dengan meminjam istilah corporate sufism adalah “kejujuran”, dan kejujuran saja belum mencukupi, karena itu harus dipertajam dengan “kejujuran absolut”, absolute honesty.

 Kerja baik, tidak korupsi dan tidak menipu atau tertipu adalah nilai penting buat sebuah perusahaan atau koperasi. Nilai-nllai tersebut langka dalam kehidupan koperasi sekarang. Banyak aset koperasi yang hilang dan usaha koperasi yang tidak berjalan.

 

Ingkar terhadap Prinsip Koperasi

Prinsip koperasi pertama tentang keanggotaan terbuka dan sukarela tidak bisa menjadi pendorong koperasi dapat memperbesar dirinya dalam jumlah anggota,  yang sangat penting karena anggota adalah sumber modal, serta berperan penting dalam mengembangkan usaha. Adanya ketentuan “daerah kerja” di masa lalu yang semakin kecil semakin baik.

Daerah kerja didasarkan pada batas-batas administrasi pemerintahan, Koperasi Pertanian (Koperta) dan Koperasi Desa dibatasi setiap Desa (Kalurahan) Koperasi Konsumen dimulai dengan kelompok berpenghasilan tetap yang dibentuk di setiap kantor atau lingkungan kerja.  Jenis koperasi dipecah-pecah berdasar profesi dan kelompok tertentu menjadikan koperasi didirikan diatas batas-batas yang semakin kecil. Ketika koperasi disatukan dengan UMKM maka skala koperasi setara dengan Usaha Mikro atau segmen paling bawah dari UMKM.

Seharusnya koperasi berskala diatas UMKM, dimulai dengan ukuran minimum usaha besar menurut UU LKM, sehingga setiap koperasi primer mempunyai ribuan anggota, minimum aset Rp 50 miliar dan omset minimum Rp 5 miliar. Perlu ditetapkan target yang agresif misalnya dalam lima tahun kedepan minimum skala  setiap koperasi primer tersebut telah tercapai. Prinsip koperasi pertama harus benar-benar menjadi landasan untuk mengembangkan koperasi berskala besar, dengan cara menghapuskan pikiran daerah kerja koperasi, mengembangkan koperasi berdasar satuan jenis dan bukan bagian-bagiannya, serta menghilangkan hal-hal yang menyebabkan koperasi berskala kecil.

Prinsip koperasi kedua tentang koperasi yang dinyatakan sebagai  organisasi demokratis yang “dikontrol oleh anggota”, dengan pengelolaan yang dilakukan oleh lembaga eksekutif yang kompeten. Berbeda misalnya dengan organisasi yang dikelola oleh anggota. Disebutkan bahwa Pria dan Wanita mengabdi sebagai “wakil-wakil terpilih” yang bertanggung jawab kepada anggota, sebagai “pengontrol”.

Pengutamaan pemilihan tokoh untuk menjadi Pengurus menyebabkan kehabisan tokoh untuk menjadi Pengontrol sebagai wakil-wakil terpilih. Akibatnya pengontrol berada dalam posisi inferior dan dibawah kendali pengurus. Mungkinkah wakil-wakil terpilih sebagai pengontrol menjadi otoritatif yang ditaati oleh pengurus? Pentingnya kontrol anggota umumnya diingkari oleh kebanyakan koperasi. Sementara persyaratan kompetensi untuk mengelola koperasi dan usahanaya tidak ditetapkan secara jelas bagi pengurus. Umumnya pengurus koperasi tidak kompeten untuk mengelola koperasi dan usahanya, terbukti tidak pernah dapat dilaksanakan profesionalisme manajemen dalam pengelolaan koperasi.

 Prinsip koperasi ketiga, partisipasi ekonomi anggota salah satunya yang penting adalah dalam permodalan koperasi. Berbeda dengan “Saham” yang dapat dibayar sekali pada awal pendirian, atau cara lain disesuaikan dengan keperluan modal perusahaan. Koperasi merubah istilah saham meskipun pernah berlaku sampai tahun 1978, diganti dengan “Simpanan” seperti iuran pada organisasi masa, yang dibayar berkala setiap bulan. Tidak disesuaikan dengan keperluan perusahaan. Keperluan investasi menunggu iuran berkala dalam waktu yang panjang sehingga kesempatannya lewat. Jangan diusulkan agar kembali menggunakan istilah saham, pasti ditolak oleh koperasi yang yidak mau maju-maju.

Prinsip koperasi keempat koperasi bersifat otonom dan bebas merupakan organisasi menolong dirinya sendiri yang dikontrol oleh anggota. Apabila koperasi melakukan kerjasama dengan organisasi lainnya, termasuk pemerintah, atau mengembangkan sumber-sumber modal dari luar, dapat dilakukan dengan cara-cara dengan tetap melaksanakan kontrol dari anggota dan mempertahankan otonomi koperasi. Modal penyertaan yang telah ditetapkan UU didasarkan pada prinsip ini.

Prinsip koperasi kelima tentang pendidikan, latihan dan informasi yang seharusnya dilakukan oleh setiap koperasi, yang oleh kalangan koperasi ingin dibebankan sebagai kewajiban konstutusional pemerintah. Malah pemerintah diwajibkan untuk mendidik semua murid sekolah dan mahasiswa tentang koperasi. Para pemimpin koperasi menyarankan agar mendidik mereka yang sudah komit dengan koperasi, yaitu mereka yang sudah menjadi anggota, pengurus, dan karyawan. Mereka yang belum komit terutama para tokoh opini masyarakat dan kaum muda cukup diberi informasi tentang kemanfaatan koperasi. Mendidik mereka yang belum komit merupakan pemborosan.

Prinsip koperasi keenam tentang Kerjasama antar koperasi. Banyak kalangan koperasi yang menafsirkan kerjasama ini yang dimaksud adalah dalam bidang usaha. Dalam prinsip ini dikatakan kerjasama melalui struktur lokal, nasional, regional dan internasional. Jika yang dimaksud kerjasama dalam bidang usaha, dari segi komoditasnya belum tentu ketemu apalagi diatur dalam struktur seperti itu. Lebih sesuai jika kerjasama yang dimaksud bertujuan untuk meningkatkan pembangunan kapasitas, capacity building, agar pelayanan koperasi kepada anggotanya lebih efektif dan memperkuat Gerakan Koperasi. Semacam Dekopin begitulah.

Selain itu, koperasi membawa paradigma kerjasama dan bukan persaingan. Sementara berpendapat bahwa persaingan yang negatif, saling mematikan, atau yang positif, fastabikhul khairat, berlomba dalam kebaikan adalah “sunatullah” yang tidak mungkin dihindari. Dalam kehidupan koperasi, jika berusaha menangani komoditas yang sama, pastilah bersaing, persaingan antar koperasi. Petani apel Jerman misalnya, akan terpukul harganya jika koperasi apel Perancis panen.

Kerjasama dan persaingan tidak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi mata uang. Keduanya diperlukan untuk menghadapi “dunia nyata” yang konon dikuasai kaum neolib yang penuh persaingan. Jika koperasi enggan apalagi takut bersaing maka koperasi tidak ada tempat di dunia nyata. Untuk itu koperasi harus memiliki visi, kepercayaan diri dan disiplin serta berani dengan agresif memasuki dunia nyata untuk mempertahankan eksistensinya dan memenangkan percaturan. Prinsip koperasi ke tujuh perhatian terhadap komunitas dimaksudkan, koperasi bekerja untuk keberlanjutan pembangunan komunitasnya melalui lebijakan yang disetujui oleh anggotanya.

 

Ingkar Terhadap Kaidah Ekonomi Perusahaan

Salah satu tujuan yang menjadi kaedah perusahaan adalah memperoleh “keuntungan”, profit. Koperasi sebagai perusahaan pun demikian. Pauline Green mantan ketua ICA menyatakan bahwa koperasi adalah perusahaan untuk memenuhi kepentingan dan aspirasi anggota, boleh memperoleh keuntungan asal tidak “serakah” tambahnya. Koperrasi atau perusahaan yang tidak meraih keuntungan apalagi jika beberapa tahun mengalami kerugian pastilah akan bangkrut. Keuntungan tersebut dipergunakan untuk memperkuat dan menjamin keberlanjutan perusahaan atau koperasi dan digunakan sesuai dengan orientasi yang diyakini. Keuntungan koperasi dipergunakan untuk para pengguna “user” dan perusahaan swasta dipergunakan untuk untuk para “investor”

Keuntungan koperasi disebut Sisa Hasil Usaha (SHU) atau Surplus apabila kegiatan yang dilakukan menggunakan sistem “pooling”, atau jasa menjualkan produk anggota dan koperasi diberikan jatah biaya sehingga tidak akan mengalami kerugian. Istilah Defisit Hasil Usaha (DHU) tidak dikenal. Sementara jika yang dilakukan menggunakan sistem jual beli antara koperasi dengan anggota, maka keuntungan yang diperoleh disebut “laba” atau profit bukan SHU, dalam cara ini koperasi bisa mengalami kerugian atau “loss”. Istilahnya laba-rugi atau profit-loss.

Di Indonesia koperasi yang menggunakan sistem pooling adalah koperasi susu sapi atau GKSI, yang tepat mernggunakan istilah SHU, sedang koperasi lain umumnya tidak menggunakan sistem pooling sehingga tidak tepat menggunakan istilah SHU, lebih tepat menggunakan istilah untung-rugi sesuai dengan sifat usahanya. Istilah SHU pernah diledek oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), “Bagaimana koperasi bisa maju yang dicari cuma sisa-sisa”.

Dunia nyata koperasi kini adalah perdagangan bebas, ada yang menyebut “kapitalisme neo-lib” dengan penuh persaingan yang mematikan. Dunia nyata tersebut sangat menakutkan bagi koperasi. Koperasi dengan paradigma kerjasama, dapat ditafsirkan tidak boleh bersaing dan harus kerjasama.

Kerjasama adalah cara untuk memenangkan persaingan, sehingga persaingan dan kerjasama seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Koperasi seharusnya “garang bersaing” dan sebaliknya “lentur kerjasama”. Koperasi seharusnya memahami bahwa kerjasama merupakan cara untuk memperbesar kekuatan. Memperbesar modal karena kerjasama berarti menyatukan modal bersama sesama pihak-pihak yang kerjasama.

Koperasi pada umumnya ingin bekerja sendiri, tidak mudah untuk bekerjasama dengan sesama koperasi atau dengan perusahaan non koperasi. Kalau kerjasama dengan pihak lain diliputi dengan kecurigaan dan ketidak kepercayaan. Selain ingin bekerja sendiri, kalau kerjasama patungan juga berkeinginan mayoritas. Oleh sebab itu jarang terdapat usaha koperasi yang merupakan milik bersama antar koperasi, dan jarang usaha yang menjadi milik koperasi dan perusahaan lain. Apalagi usaha Penanaman Modal Asing (PMA).

Cobalah berjalan dari Jakarta lewat Bekasi, Karawang, Cikampek sampai Bandung. Lewat ratusan atau bahkan ribuan pabrik dalam negeri dan patungan Asing, kesannya tak ada satupun pabrik koperasi. Anehnya koperasi tidak punya pabrik tetapi berani bicara revolusi industri 0.4 Wah.

Gabungan Koperasi Batik Indonesia, GKBI, memiliki enam pabrik tekstil, satu dimiliki sendiri (100%) dalam keadaan pabrik tua yang kini omsetnya sekitar Rp 200 miliar, satu patungan domestik dan empat patungan dengen perusahaan asing, tiga diantaranya GKBI menjadi pemegang saham minoritas, GKBI tidak terdorong untuk menjadi pemegang saham mayoritas, karena tanggung jawab dalam pengelolaan pabrik khususnya dalam permodalan dan pemasaran.

Bermula dari pabrik tekstil memroduksi kain batik (mori) dan berkembang ke berbagai jenis tekstil non mori. Satu pabrik memroduksi palaian dalam pria dan perempuan dengan nilai produk sekitar tigapuluh milyar seluruhnya ekspor.

Setelah Pemerintah melakukan kebijakan devaluasi rupiah tahun 1986 diikuti dengan pengembangan PMA dengan menurunkan minimum modal investasi, dari satu juta dollar menjadi 250 ribu dollar. Apa yang dapat dilakukan oleh PMA kecil tersebut. Misalnya ibu-ibu di Jepang sudah tidak mau bikin sate sendiri dengan memotong daging dan sayur, lebih praktis beli sate di supermarket dan tinggal membakar.

Koperasi umumnya tidak mendengar kebijakan baru tersebut dan tidak punya kontak dengan para pengusaha luar negeri, karena itu tidak tergerak untuk memanfaatkannya. GKBI bersama partner Jepang memanfaatkannya dengan mendirikan sebuah perusahaan, bukan jualan sate tetapi perusahaam inspecting PT Dayani untuk melayani eksportir garmen terutama tujuan ke Jepang dengan jaminan bahwa dari segi kualitas ekspornya tidak akan ditolak,

Ada sebuah grup perusahaan besar, mungkin punya puluhan atau ratusan unit perusahaan. Mereka merencanakan menutup semua perusahaan yang 100% (saham) dimiliki sendiri. Perusahaan yang dipertahankan yang berpatungan dengan pihak lain. Dengan perhitungan perusahaan milik sendiri tersebut tidak ada kontrol pihak lain dan jika ada keluarga yang bekerja di perusahaan itu (nepotisme)  pendisiplinannya akan menjadi sulit. Sedang perusahaan patungan ada imbangan partner lain, malu jika berbuat curang, sehingga pabrik aman dari penyakit korupsi yang dilakukan sendiri.

Sebaliknya perusahaan non koperasi yang banyak dan bersemangat kerjasama, dengan kesadaran bahwa kerjasama akan memperkuat masing-masing perusahaan. Ada usaha besar yang mungkin tidak terangkat oleh satu perusahaan konglomerat. Plastik merupakan produk yang sangat diperlukan, yang selama ini bahan bakunya masih impor. Untuk mengganti dengan produk dalam negeri sekumpulan konglomerat mendirikan pabrik bahan baku plastik, poly propilane, di Cilegon dengan bahan baku impor. Setelah berjalan mereka mendirikan pabrik yang lebih hulu, Candra Asri juga di Cilegon, proyek multi billions dollars diperkuat dengan masuknya perusahaan asing. Chandra Asri memroduksi antara lain bahan baku polypropilane.

Ada tiga model perusahaan yang dikenal, yaitu pertama Perusahaan berpatungan dengan Asing (PMA) yang umumnya berkembang maju. Besarnya saham untuk masing-masing dibayar penuh, dan kalau pakai uang untuk keperluan lain segan diketahui partnernya. Produk unggulan koperasi luar negeri yang masuk ke Indonesia semua melalui kerjasama dengan perusahaan swasta tak satupun dengan koperasi, seperti Es Krim Campina dan Susu Cap Bendera dari Belanda. Dunking Donat dan ACE Hardware dari AS.

Kedua adalah Perusahaan berpatungan domestik (PMDN), masih bisa berkembang tetapi tidak terlalu maju, kadang masih mengkali dengan saham kosong. Kalau mau korupsi masih segan dengan adanya partner lain. Ketiga adalah perusahaan yang dimiliki dan dikelola sendiri, paling tidak maju, profesionalisme sulit dikembangkan, kalau ada kerabat ikut bekerja disitu disiplin akan sulit dilaksanakan. Rugi sudah menjadi biasa. Koperasi lebih menyukai dan bangga model ketiga yang sulit maju. (PRIONO/Foto : Istimewa)

Kategori
Laporan Khusus

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar