Koperasi Indonesia “Out” dari 300 Besar Dunia : Berkah atau Musibah?
Tak satupun koperasi Indonesia masuk dalam daftar 300 koperasi besar dunia (ICA Global 300) hasil rilis dua tahunan World Cooperatives Monitoring, di Belgia, 1 Desember lalu. Kondisi ini setali tiga uang dengan tahun sebelumnya. Padahal, lebih lima tahun silam, Koperasi Seluler Indonesia (KISEL), berhasil masuk dalam 300 besar koperasi dunia. Alih-alih jumlahnya kian meningkat, kini tak satu pun koperasi Indonesia yang masuk ICA Global 300. Berkah atau musibah?
Hasil rilis World Cooperatives Monitoring, atas 300 koperasi besar dunia atau ICA Global 300 yang diterbitkan oleh lembaga riset Euricse, tak satupun mencantumkan nama koperasi Indonesia.
Entitas gerakan koperasi, termasuk pemerintah Indonesia, sejatinya tidak tinggal diam. Satu dekade silam, misalnya, Kementerian Koperasi dan UKM pernah mengajukan lima koperasi besar ke ICA untuk dimasukkan dalam kandidiat ICA Global 300. Kelimanya adalah Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Jasa Pekalongan, Induk KSP Jakarta, Koperasi Kredit Obor Mas (Maumere, NTT), Koperasi Karyawan PT Semen Gersik (Jatim), dan Koperasi Sapi Perah Lembang (Jabar). Hasilnya? Nihil. Kelima koperasi yang didaftarkan itu adalah Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Jasa Pekalongan, Induk KSP Jakarta, Koperasi Kredit Obor Mas (Maumere, NTT), Koperasi Karyawan PT Semen Gersik (Jatim), Koperasi Sapi Perah Lembang (Jabar).
Dari rilis yang diterima Warta Koperasi, Indonesia masih tertinggal dari negara-negara Asia. India, Jepang, dan Korea Selatan, bahkan memasukkan sejumlah koperasinya dalam deretan sepuluh besar dunia di sejumlah sektor.
Koperasi petani dan produsen pupuk raksasa India, IFFCO (Indian Farmers Fertiliser Cooperative), yang satu dekade silam menduduki peringkat di atas 100 besar dunia, kini menyodok di urutan teratas dengan koperasi produsen terbesar dengan acuan perkapita penduduknya.
Tak sampai di situ, masih dari anak benua India, Gujarat Cooperatives Milk Marketing (AMUL), menduduki posisi kedua di bawah IFFCO. Mereka mengungguli koperasi berbasis layanan finansial andalan Perancis (Groupe Credit Agricole) dan koperasi pertanian jagoan Jepang yang langganan di posisi nomor satu, Zen-Noh.
Apa boleh buat, koperasi Indonesia juga masih kalah dari negara tetangga. Singapura, misalnya, sukses mencatatkan dua koperasi dalam jajaran 300 besar dunia. Adapun Malaysia mencatatkan satu koperasi (ANGKASA).
Dari 100 negara yang disigi, Amerika Serikat dan Eropa masih mendominasi daftar koperasi terbesar dunia. Amerika Serikat berkontribusi 71 koperasi (23,66 %), Eropa 141 koperasi (47%). Benua Amerika total mencatatkan 91 koperasi (30%) dan Asia Pasifik sebanyak 41 koperasi (13,66%). Total jumlah jumlah perputaran bisnis 300 koperasi besar itu mencapai Rp 32 triliun.
Sektor-sektor yang dikelola koperasi dunia itu, sektor agrikultur,
pangan, dan keuangan, masih mendominasi. Di sektor agribisnis,
koperasi-koperasi kelas dunia dari Asia memang terus menguat. Selain dari
Jepang dan India, Korea Selatan dikenal dengan NACF dan Nong Hyup, koperasi
agrikultur yang rajin bercokol di posisi sepuluh besar dunia.
Nong Hyup memang menarik. Ia mirip KUD di awal pendirannya. Awalnya, Nong Hyup didirikan oleh pemerintah, tepatnya pada 1961. The National Agricultural Cooperatives Federation (NACF), lengkapnya. Didirikan untuk mengatasi kemiskinan dan kelaparan akibat perang Korea (1950-1953). Ya, periode itu, Korea adalah negara melarat dan militeristik. Kini mereka tumbuh fantastis dans selalu masuk sepuluh besar dunia dari sektor koperasi pertanian.
CEO Induk Koperasi Konsumen Indonesia (IKKI) Suroto mengatakan, Koperasi besar dunia yang di dominasi negara negara global utara seperti Eropa, Amerika, dan negara maju seperti Asia Pasifik seperti Jepang, Korea dan Singapura, New Zeland, Australia itu juga menunjukkan bahwa koperasi turut membuat negara tersebut menjadi negara maju, berdaya saing tinggi dan ekonominya lebih berkedilan.
Lalu bagaimana dengan koperasi Indonesia? “Koperasi dari tanah air yang tak satu pun masuk dalam ICAGlobal300 menunjukkan bahwa perkoperasian kita dalam masalah besar. Koperasi sebagai konsep yang sesuai dengan demokrasi ekonomi atau ekonomi Konstitusi kita sengaja tidak dikembangkan secara serius. Persoalan utamanya dimulai dari masalah paradigma. Masyarakat kita banyak yang tidak mengerti apa itu koperasi dan arti pentingnya bagi pembangunan. Juga kemandirian dan kedaulatan sosial ekonomi kita,” papar Suroto.
Masih menurut Suroto, masalah paradigma ini disebabkan oleh persoalan serius tentang dunia pendidikan kita. Orang orang muda tidak memiliki bekal pemahaman yang cukup tentang koperasi. Koperasi sebagai ilmu pengetahuan dan temuan penting peradaban tidak diajarkan dan bahkan disingkirkan sejauh mungkin sebelum masuk ke pikiran.
Soal selanjutnya adalah masalah regulasi. Koperasi dalam banyak regulasi kita sengaja didiskriminasi, disubordinasi dan bahkan dieliminasi. Contoh paling kongkrit misalnya koperasi tidak diberikan kesempatan sebagai opsi untuk pengembangan di sektor layanan publik, misalnya. Dimana di UU BUMN koperasi tidak diberikan opsi sebagai badan hukum atau hanya persero. Di UU layanan kesehatan diwajibkan berbadan persero, investasi asing wajib berbadan hukum perseroan dan lain sebagainya.
Rehabilitasi
Masalah ini akhirnya membentuk pemahaman yang keliru dalam penyusunan kebijakan perkoperasian. Koperasi yang seharusnya diperkuat dengan diberikan otonomi justru terus dibina(sa)kan melalui program program pemerintah.
“Untuk mencapai tahapan agar koperasi kita dapat berkembang dengan baik sebetulnya dapat dilakukan dengan tahapan tahapan yang jelas. Pertama, koperasi semestinya dilakukan rehabilitasi dengan dilakukan pembubaran terhadap koperasi papan nama dan koperasi abal abal. Ini dilakukan untuk mengembalikan citra koperasi dan agar masyarakat tahu apa itu koperasi sebenarnya dan arti pentingnya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, setelah dilakukan rehabilitasi, sebetulnya perlu dilakukan upaya reorientasi. Tahapan ini dilakukan dengan cara diarahkan agar koperasi dapat melakukan konsolidasi strategis kearah yang benar. Ketiga, yaitu tahap pengembangan. Dalam tahap ini koperasi perlu diberikan otonomi dan juga juga dihargai prinsip prinsipnya dan agar berkembang secara natural menjawab berbagai kebutuhan masyarakat,” pungkas Suroto.
Posisi koperasi Indonesia yang masih di luar 300 besar, tak perlu dianggap musibah. Bisa juga disikapi sebagai sebuah tantangan. Bahwa, dengan pengelolaan yang serius oleh seluruh pengampu kepentingan, terutama keseriusan koperasi Indonesia sendiri, posisi 300 besar dunia bukan sesuatu yang mustahil. (Teks dan Foto : Priono)
Komentar