Akhirnya, Presiden Setujui Permen Koperasi Multipihak
Entitas gerakan koperasi menarik nafas lega menyusul disetujuinya Rancangan Menteri Koperasi dan UKM (RPermen KUKM) tentang Koperasi dengan model Multi Pihak, baru-baru ini. Dalam surat berkop Sekretaris Kabinet bertanggal 7 Oktober 2021 yang tembusannya diterima Warta Koperasi kemarin (12/10), Presiden menyetujui seluruh isi rancangan dan ,perekomendasikan Kemnterian Koperasi dan UKM untuk menyosialisasikan Rancangan Permen KUKM itu kepada publik.
Surat bernomor B.0335/Seskab/Ekon/10/2021 itu, merupakan respons Surat Menteri Koperasi dan UKM tentang permohonan persetujuan Presiden atas RancanganPeraturan Menteri Koperasi dan UKM tentang koperasi dengan model Multi Pihak, yang diajukan pada 30- September lalu.
Disetujuinya koperasi model multi pihak, sejatinya sudah melalui perjalanan panjang. Pada medio April silam,misalnya, sempat dihelat perumusan Draft Permenkop ihwal Koperasi Multi Pihak untuk menjawab stagnasi model-model koperasi dan menjawab tantangan teknologi 4.0 di kalangan koperasi tanah air. Acara digelar Kementerian Koperasi bersama para inisiatornya dari Indonesia Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI).
Wacana pentingnya Koperasi Multi Pihak gencar digaungkan ke publik sejak tahun lalu. Focus Group Discussion (FGD) kian intens setelah mendapat respons dari audiensi dan diskusi intensif ICCI dengan Kementerian Koperasi dan UKM tentang urgensi koperasi multi pihak di Indonesia. Sebelumnya ICCI telah melakukan audiensi pada 3 Desember 2020. Kemudian juga melakukan jajak pendapat.
Sebuah FGD pernah menghadirkan para praktisi yang telah mencoba membangun embrio koperasi multi pihak. Para peserta itu yang sebelumnya terjaring lewat jajak pendapat yang diselenggarakan ICCI pada bulan 19 Januari 2021. Sehingga para perserta sedikit-banyak telah mengetahui model koperasi multi pihak.
Saat itu, Asdep Pengembangan dan Pembaruan Perkoperasian menghadirkan dua narasumber: Firdaus Putra, HC., Ketua Komite Eksekutif ICCI dan Untung Tri Basuki, Pegiat dan Pakar Koperasi. Firdaus memaparkan ihwal sejarah serta perkembangan koperasi multi pihak di luar negeri. Kemudian memberikan analisis singkat bagaimana model itu relevan dengan kebutuhan Indonesia dewasa ini.
Ada tantangan stagnasi model di mana koperasi Indonesia sejak 1992 sampai sekarang tidak memiliki model-model baru kelembagaan di banding negara lain (misalnya: startup coop, platform coop, community coop, social coop, worker coop dll). Kemudian tantangan sosio-budaya di mana banyak praktik yang telah mengakar kuat di masyarakat, yang memposisikan para pihak secara dikotomik/ diametral (misalnya: produsen vs pengepul, pemasar vs produsen, produsen vs konsumen).
Tak ketinggalan juga adanya tantangan model bisnis dan kebuntuan kelembagaan di mana berbagai model bisnis baru tak bisa diimplementasikan sebab keterbatasan kelembagaan (misalnya: platform coop dan sejenisnya yang bercorak collaborative economy). Hal ini santer dengan berkembangnya startup business dengan aneka model binisnya yang inovatif.
Di sisi lain, Firdaus mengungkapkan bahwa, kita harus melihat tantangan zaman di mana ekonomi teknologi menghadirkan model bisnis baru (misalnya: collaborative economy/ sharing economy). Variabel lainnya adalah tantangan demografis di mana bonus demografi hadirkan talenta-talenta kreatif yang menggeliat di berbagai sektor (misalnya: ribuan startup tanah air yang diinisiasi oleh milenial).
Juga pertumbuhan kelas menengah di Indonesia merupakan potensi besar bagi pengembangan sumberdaya koperasi, sayangnya tak bisa dimaksimalkan karena kebuntuan kelembagaan (misalnya: koperasi produksi, tidak menerima anggota individual yang berperan sebagai investor).
Dengan melihat berbagai tantangan strategis itu, model koperasi multi pihak ini menjadi sangat relevan menjadi pengungkit bagi ekonomi kolektif di masyarakat. Yang juga menjadi solusi bagi keterbatasan model koperasi konvensional yang tak dapat mengakomodasi berbagai perubahan serta tuntutan baru.
Untung Tri Basuki, lantas memberi penegasan, bahwa selama undang-undang tidak memberi larangan, artinya tidak ada masalah. Yang diperlukan adalah pengaturan lebih lanjut/ khusus, sehingga ada kepastian hukum bagi masyarakat. Sebab model ini memang memiliki beberapa perbedaan dengan yang konvensional.
Untung juga menggarisbawahi bagaimana koperasi multi pihak ini harus bersandar pada jati diri koperasi, khususnya ICIS 1995. Yang misalnya memberi batasan tertentu pada modal, bisa saja diberi batas maksimal 20 persen pada proportional right voting-nya. Tujuannya agar tidak merusak karakter khas koperasi sebagai perusahaan yang demokratis.
Ahmad Zabadi, Deputi Bidang Perkoperasian menyampaikan harapan draft Permenkop ini benar-benar siap. Sehingga pada setiap FGD bisa fokus pada koperasi multi pihak dulu. Isu-isu lain yang belum terakomodasi, bisa menjadi catatan yang akan menjadi masukan dalam pembahasan revisi UU Perkoperasian mendatang.
Peran ICCI
Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation atau ICCI, merupakan konsorsium yang didirikan oleh lembaga/organisasi dengan tujuan untuk membangun ruang bagi inovasi perkoperasian di Indonesia. Lembaga ini berdiri berangkat dari kebutuhan merespon kondisi strategis yang perlu disikapi dengan cepat dan tepat. Warta Koperasi, merupakan salah satu entitas pendukung ICCI.
Dipaparkan Anis Saadah dari Innocircle Innitiative, salah satu entitas pendukung ICCI yang terlibat dalam diskusi perumusan Draft Permenkop tentang Koperasi Multipihak, sejak menjamurnya pertumbuhan start up digital, banyak usaha rintisan (start up) berburu label itu, tidak peduli meskipun start up itu sudah mereka jual ke Investor Asing.
Anis dan kawan-kawan pegiat koperasi geram, mengapa platform bisnis usaha rintisan yang sukses besar di Indonesia, tidak dimiliki oleh seratus persen orang Indonesia. Sebut saja Gojek dan Grab di sektor transportasi publik, lantas Tokopedia dan Bukalapak di sektor ritel (ecommercee). Semua saham mayoritasnya akhirnya dimiliki oleh investor asing, terlepas perintis awalnya adalah anak-anak muda pintar dari Indonesia.
Awal Oktober lalu, memang berembus angin segar menyusul gagasan Menteri BUMN Eric Thohir ihwal rencana keterlibatan BUMN-BUMN untuk membeli dan memiliki start up potensial agar tak semuanya dimiliki oleh pihak asing. Hanya saja, wacana Eric Thohir itu masih butuh pembuktian.
Selama ini investor besar dari luar negeri terus mengincar talenta-talenta usaha rintisan prospektif di Indonesia. Pasar Indonesia dinilai terlalu menggiurkan untuk disia-siakan para pemodal kakap. Sea Limited, misalnya, investor induk usaha platform bisnis ritel Shopee. Shopee dikenal sebagai kompetitor Tokopedia dan Buka Lapak. Sea Limited saat ini bahkan menguasai Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE), bank yang diinisiasi pendiriannya oleh tokoh-tokoh dan entitas gerakan koperasi pegawai RI di awal 90an. Setelah dikuasai Sea Limited, Bank Kesejahteraan Ekonomi berubah nama jadi Sea Bank, terhitung Februari lalu.
“Lucunya adalah,kita masyarakat juga turut berbangga menyukseskan karya anak bangsa ini, meskipun perputaran uang yang diciptakan di lokal berakhir di tangan investor. Kerja-kerja digital yang membuat mesin Algorithm semakin cerdas kita berikan secara gratis,” papar Anis.
“Lantas apa sih sejatinya Karya Anak Bangsa? Kalau menurut saya, ya platform yang berdikari dimiliki oleh masyarakat yang terlibat dalam setiap platform. Bukan ke pemilik modal yang jumlah nya satu berbanding jutaan orang yang menggunakannya. Maka,dalam frasa Karya Anak Bangsa Who Own The Platform itu yang paling penting,” imbuh Anis.
ICCI lantas menyodorkan Permodelan Koperasi Multipihak. Dimana pihak-pihak yang terlibat bisa menjadi pemilik nya. “Bayangkan model bisnis ride hailing, dimana terdiri dari founder,worker, driver, merchant, hingga user. jika mereka memberikan modal sesuai dengan kapasitas mereka bukan kah sudah bisa menandingi investasi yang didatangkan dari luar?”
Bandingkan dengan Gojek, misalnya, dengan keuntungan terbesar terfokus pada investor. Mitra pengemudi hanya mendapat porsi bagi hasil yang sangat kecil dan tetap bekerja dengan resiko besar di jalanan. Sungguh ketidakadilan yang nyaris tak terpikirkan.
Lantas jika hendak dikoperasikan, apakah ada aturan yang mewadahi model koperasi multipihak itu? Jawabannya adalah belum ada. Peraturan koperasi tidak bisa menjawab kebutuhan aneka rupa bisnis model baru saat ini. “Bayangkan saja, saya mendirikan startup yang mengorbankan waktu, tenaga,pikiran, keluarga, kemudian saya ingin menjadikan koperasi dengan berbagai pihak didalamnya, katakanlah ada 10.000 orang,” papar Anis. “Jika menggunakan aturan koperasi saat ini, saya bisa sewaktu waktu didepak dari perusahaan yg saya rintis dengan berdarah darah. Bagaimana memproteksi agar saya tetap aman? Koperasi Multi Pihak lah yang bisa menjawab kebutuhan itu. Setahu saya, koperasi adalah teknologi dalam mengadministrasikan keadilan. Selayaknya teknologi, dia harus tetap terus diuji kecepatan dan kegesitanya agar selalu digunakan dan menyelesaikan masalah”.
Akhirnya, kegalauan anak-anak muda itu sedikit terjawab dengan rilisnya surat persetujuan Presiden soal calon regulasi yang bakal mengatur koperasi model multi pihak. Berikutnya, entitas pendorong koperasi model anyar imi, dituntut kerja keras agar koperasi multi pihak bnenar-benar hadir dan jadi role model koperasi sukses di Indonesia.(*)
(PRIONO)
Komentar