Pinjol: Berkah Atau Musibah?

 

                         Oleh:  Budhi Santoso* 

     Sejak akhir tahun 2018 lalu, jauh sebelum dampak pandemi Covid-19, terungkap kondisi industri keuangan mikro telah melahirkan kekhawatiran berbagai pihak. Yaitu praktik agresivitas berlebihan pada segmen keuangan mikro negeri ini.

     Muncul persaingan yang tidak sehat antar pelaku keuangan mikro, penolakan layanan hingga yang paling ekstrim adalah munculnya berbagai tindakan yang merugikan masyarakat.

     Pelaku keuangan mikro di berbagai daerah kini makin beragam, mulai dari bank umum yang bermodal besar dan teknologi tinggi, bank perkreditan rakyat (BPR), multifinance, leasing, pergadaian, modal ventura, teknologi finansial (pinjaman online=pinjol), lembaga keuangan mikro (LKM), koperasi, hingga rentenir perorangan. 

     Satu sisi, kompetisi antar pelaku keuangan mikro akan memberikan akses yang lebih besar bagi masyarakat  dalam menjangkau layanan keuangan mikro. Hal ini sesuai dengan implementasi program strategi nasional keuangan inklusif, terutama bagi mereka yang un-banked. 

     Pada sisi lain, kehadiran perusahaan pinjol, yang saat ini telah memberikan tekanan kuat terhadap pelaku keuangan mikro di daerah, terutama yang memiliki basis kapital terbatas,  menjadi tidak fair. Selain didera oleh bencana pandemi Covid-19, yang melahirkan risiko baru. Kondisi saat ini, baik dampaknya secara individu maupun pengguna jasa keuangan secara umum, adalah masyarakat  dihadapkan hanya pada satu pilihan hebatnya jebakan hutang baru (debt trap).

     Sisi lain, ada kecenderungan untuk membiarkan “free fight-market competition” di sektor keuangan mikro head to head tanpa regulasi pranata pasar yang jelas dan tegas.

     Memang benar, sebelum 2018, inklusi keuangan negeri ini masih jauh tertinggal dari negara-negara tetangga kita.  OJK menampilkan indeks inklusi keuangan masih kurang dari 50%, saat itu masih terlalu jauh untuk menjangkau ke angka 75% di akhir tahun 2019. Namun membiarkan pelaku keuangan mikro di daerah bertempur bebas juga tidak adil.

     Mestinya ada kebijakan besar pada layanan dan industri keuangan mikro ke depan, mungkin semacam cetak biru hingga peta jalan.  Sehingga berjalannya layanan keuangan mikro, keserasian program, sinkronisasi dan integrasi program serta pembagian pasar yang jelas dan tegas, membuat seluruh stakeholder lebih nyaman dan tetap terus meningkatkan daya saingnya masing-masing, sehingga semua pihak terlindungi.

     Laporan OJK, tampak pinjol yang terdaftar di lembaga tersebut pada 10 Desember 2018 sebanyak 78 perusahaan, menjadi 107 perusahaan hingga bulan Agustus 2021. Penyaluran pinjaman per Oktober 2018 mencapai Rp16 triliun,  menjangkau sebanyak 2,8 juta nasabah, sedangkan total pinjaman yang masih disalurkan melalui mencapai Rp3,9 triliun.  Pada Agustus 2021, konon nilai Total Penyaluran telah mencapai di atas Rp.100Triliun. Luar biasa eksponensial kenaikannya. 

     Sejak Januari 2018, OJK  telah mengimplementasikan  Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK). Sebagai pelengkap teknologi finansial, SLIK (-credit scoring) merupakan bagian ekosistem industri keuangan modern, termasuk layanan keuangan mikro.

     Laiknya jendela dalam suatu bangunan, teknologi enabler  ini dapat mendukung strategi nasional keuangan inklusi. Hal ini sangatlah menarik, karena terdapat peluang sekaligus tantangan. Seperti diketahui, menurut rilis Bank Indonesia  pada tahun 2016, masih tingginya jumlah kelompok masyarakat un-banked, terutama wilayah yang remote area, kantong wilayah urban masyarakat marginal di perkotaan, masih terjadinya gap total penyediaan dana oleh industri dan layanan keuangan mikro terhadap PDB tercatat lebih dari empat puluh persen.

     Sehingga peningkatan akses berkat layanan keuangan mikro berbasis teknologi modern  ini merupakan berkah. Diharapkan dapat mengangkat kelompok masyarakat remote area & bottom of the pyramid, dari jurang ketimpangan dan memutus siklus kemiskinan. Sedangkan tantangan bagi indsutri dan layanan keuangan mikro, yang telah mengadopsi teknologi modern, adalah risiko (cyber-risk) serta kembali terjebak pada praktik bisnis eksklusivitas industri dan formalitas layanan keuangan mikro (=hanya lips service) yang menjerumuskan pada neraka himpitan utang  baru, hingga risiko kehilangan aset serta sanksi sosial. Ini adalah musibah, mengapa ?

     OJK hingga Nompember 2017 mencatat, saat itu jumlah rekening pinjaman yang akan diakomodir dalam laporan SLIK sebanyak 94,4 juta, dan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah institusi peserta pelapor.  Jumlah pelapor wajib dan sukarela saat ini sebanyak 1.672, yang diproyeksikan akan mencapai 2.142 pelapor di pada akhir Desember 2018.  Saat ini, tahun 2021 karena didukung program nasional kependudukan (KTP-el.), Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), gerakan nasional transaksi nontunai (GNNT), ekosistem digital  & e-commerce melalui beragam layanan teknologi finansial serta pelonggaran Registrasi Ulang Mobilephone.  Bukan mustahil pelaporan skoring keuangan tersebut akhirnya mencapai jumlah yang eksponensial, serta komprehensif  tidak sebatas skoring aspek dan kondisi keuangannya saja.

    Bahkan, berkat perkembangan pesat berbagai aplikasi teknologi multifungsi sosial lainnya, teknologi kecerdasan buatan (learning machine), profil sasaran dapat mencakup skor seluruh aspek sosial per individu maupun risiko bisnisnya. Artinya, secara teknis dimungkinkan bahwa kelak setiap individu warga Negara ini sejak lahir hingga usia lanjut, memiliki skoring finansial, sosial yang spesifik dan dinamis.  Bukan sebatas  Skoring Kredit semata.

     Hal ini bisa kontradiktif bagi pengguna, regulator serta industri dan layanan keuangan mikro, juga perkembangan teknologi finansial itu sendiri. 

     Perkembangan lingkungan digital dalam setiap aspek kehidupan sosial saat ini, menimbulkan peluang serta tantangan uniknya.  Bahkan bisa terjadi paradoks, jika tidak diantisipasi. Satu sisi, dengan aplikasi teknologi multifungsi: finansial dan sosial, semua mendapat manfaat  karena kebebasan, keterbukaan akses serta inklusivitas informasi. 

     Sedangkan sisi lain, yaitu terjadi risiko bias atau  kontrol sosial berlebihan, rawan penetapan kebijakan berstigma negatip kepada warganya, hingga praktek penindasan, pemerasan oleh dan atau kepada individu atau korporasi tertentu.  Dan, peluang praktek ilegal baik oleh individu atau korporasi tertentu lainnya.  Sehingga otoritas perlu melakukan analisis dan kajian lintas sektoral (regulatory  sandbox) untuk mengadopsi serta memberlakukan skoring yang lebih dinamis, tetapi tetap independen serta bertanggung jawab bertujuan perlindungan pengguna.

     Contohnya, otoritas dapat mengantisipasi indikasi manipulasi yang mengendalikan kelompok  tertentu mendapat skoring prima, atau kelompok nasabah bad-debt segmen middle-up lolos verifikasi sehingga mendapatkan fasilitas layanan keuangan mikro (credit worthy). Atau, berkat teknologi kecerdasan buatan, industri keuangan formal justru kembali fokus dan terjebak dalam rebutan nasabah pada sektor tertentu yang kini makin jelas riwayat dan identitas keuangannya. Misalnya, terjebak dengan program akuisisi  jor-joran kembali menyasar sektor konsumtif yang makin menarik.

     Kemudian, pada saat yang sama meninggalkan idealisme keberpihakan kepada sektor produktif yang memberdayakan masyarakat. Kenyataanya, sektor produktif usaha ultra mikro hingga usaha mikro produktif, masih dihindari oleh rentenir digital, pinjaman online, atau kreditor pinjol bermodal besar ini. 

     Dalam tataran format komprehensif berikutnya, teknologi kecerdasan buatan dapat menampilkan panduan lebih integral dan bertanggung jawab, karena dibangun dari berbagai rekam jejak financial & nonfinancial yang terus berkembang.

      Informasi individu serta bisnisnya yang dilaporkan, merupakan feedback data-user, paralel dan integral.  Maka, diperlukan perluasan dimensi data, serta cakupan bidang institusi pelapor baik yang wajib, maupun pelapor sukarela sektor non-financial yang terpercaya. Dengan format baru tersebut, setiap verifikasi informasi individu dan risiko bisnis yang ditampilkannya, sekaligus dapat juga mereduksi dampaknya (cyber-risk).

      Melalui peningkatan peran dan fungsi pengamanan (security-alert) diharapkan dapat mengantisipasi risiko seperti data-bias,  fraud, penggelapan, pemaksaan, penindasan hingga pemerasan.  Pedoman credits scoring yang kuat, harus merujuk pada seluruh perundangan, terutama yang mengakomodir aturan main bidang jasa  keuangan serta informasi dan transaksi elektronik (ITE).

     Harapannya, keberadaan industri layanan keuangan mikro berteknologi serta implementasi teknologi Credit Skoring akan meningkatkan hak masyarakat piramida terbawah mengakses seluruh layanan keuangan mikro formal, penetrasi industri keuangan yang kompetitif serta manfaat yang luas teknologi finansial itu sendiri. Industri dan layanan keuangan mikro yang didukung teknologi dan aturan main jelas serta tegas dapat berdampingan saling melengkapi hingga berkembang sehat, karena kombinasi sistem informasi keuangan yang dibangun telah mereduksi,  memitigasi risiko dan hambatan ekslusivitasnya.Sehingga terjadi peningkatan pendapatan riil yang mensejahterakan, mengurangi ketimpangan sosial antar wilayah serta merapatkan jurang, kesenjangan rasio gini. Karena layanan keuangan mikro berteknologi kini bukan lagi ancaman atau musibah, atau neraka baru bagi masyarakat di berbagai daerah Indonesia.

     Saat yang sama, kehadiran, keberadaan dan eksistensi pinjol menjadi berkah. Berkat pinjol: warga marginal, terjauh, terluar, dan berpenghasilan tidak tetap lainnya di pedesaan serta kaum urban masyarakat marginal di perkotaan, kini keduanya mampu mengakses semua fasilitas keuangan berteknologi modern. Sekaligus mampu  mengembangkan ekosistem industri keuangan berteknologi terkini yang sehat./(Prio) 

*) Pemerhati Ekonomi

e-mail: bsantoso1880@gmail.com

Kategori
KOLOM

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar