Menjaga Kesehatan Mental Karyawan
Karyawan merupakan intangible asset bagi koperasi. Dalam hal ini karyawan koperasi merupakan eksekutor atas keputusan, policy yang dibuat oleh pengurus maupun sebagai hasil keputusan rapat anggota.
Sudah seharusnya karyawan yang bekerja di koperasi mempunyai mental sehat dalam bekerja. Tentu saja, mental health ini tidak akan menjadi isu jika koperasi memberlakukan sistem yang fair alias adil bagi semua karyawan.
Sayangnya, tidak semua koperasi bisa membangun sistem yang sehat untuk semua karyawan bisa berkontribusi untuk koperasinya.
Bahkan, pola koperasi di level makro yang lebih dominan dengan intrik dan politik, kadang terlihat secara terang benderang dalam praktek keseharian koperasi yang seharusnya dijalankan secara profesional.
Alih-alih mengembangkan corporate culture, yang ada malah praktek asal bapak senang, cari muka, atau saling menjegal kawan. Bahkan sesama teman bisa saling menendang.
Agar lingkungan kerja membuat karyawan bahagia, maka lingkungan kerja harus bebas dari politis. Alias harus profesional.
Mengapa harus profesional? Karena koperasi lembaga bisnis, bukan lembaga politik. Jika intrik lebih kuat, maka budaya kerja di koperasi menjadi taruhan.
Lupakan good corporate governance demi terciptanya manajemen koperasi profesional. Unsur politik yang mencuat akan membuat tata kelola koperasi amburadul, menimbulkan unfairness alias ketidakadilan bagi karyawan yang merupakan intangible asset.
Sehingga, koperasi yang nuansa politisnya lebih kental, akan berkorelasi dengan mental karyawan yang cenderung rusak.
Apa yang diharapkan dari mental karyawan yang rusak, sebagai konsekuensi tata kelola koperasi yang amburadul karena sarat muatan politis?
Tentu kondisi di atas menjadi kontraproduktif bagi kemajuan koperasi itu sendiri. Sehingga, diperlukan sejumlah treatment agar mental karyawan tetap sehat, dan bisa bahagia ketika bekerja.
Berikut tips menjaga kesehatan mental karyawan.
1. Perlakukan semua karyawan sama. Favoritisme alias pembedaan karyawan hanya akan menjadi bom waktu kebencian di antara sesama karyawan. Dan itu jelas kontraproduktif bagi koperasi.
Jika pengurus atau top management terlihat memihak salah satu divisi di koperasi dan menyia-nyiakan atau cenderung tidak menganggap divisi lain, hal itu akan mengundang kekecewaan pegawai lain.
Perlakuan memihak bisa terlihat dalam hal-hal kecil yang kadang tidak disadari. Seperti memberi hadiah kepada karyawan sesuai, hanya melibatkan divisi tertentu dalam pengambilan keputusan.
2. Sistem penggajian yang adil. Gaji menjadi salah satu isu sentral bagi karyawan. Penggajian proporsional berdasarkan komponen-komponen penting yang menjadi bahan konsiderans akan membuahkan fairness.
Faktor yang bisa menjadi konsideran dalam menentukan besaran gaji antara lain masa kerja, background pendidikan, skill, dan job desk dari karyawan bersangkutan, resiko.
Jika penggajian tidak fair, akan muncul ketidakpuasan pada diri karyawan. Kendati ketidakpuasan itu tidak terlihat di permukaan, tetapi sejatinya menjadi racun yang menggerogoti semangat kerja karyawan.
3. Transparansi. Karyawan perlu diberi tahu kondisi aktual tentang koperasi. Jika koperasi bisa mencapai target seperti rencana kerja, karyawan perlu diberi tahu.
Atau jika terjadi problem serius yang dampak negatifnya harus ditanggung oleh seluruh karyawan, sudah seharusnya karyawan dilibatkan sebagai pihak yang harus menanggung akibat dari sebuah kesalahan.
Dialog antara pengurus dengan karyawan menjadi medium untuk mengetahui harapan, masukan-masukan dari bawah terkait masalah koperasi atau untuk pengembangan bisnis koperasi.
4. Tidak membisniskan aktivitas di koperasi. Kebiasaan membisniskan aktivitas di koperasi menjadi racun bagi kesehatan mental karyawan. Karyawan yang awalnya bekerja secara profesional, akan berubah menjadi pribadi yang transaksional.
Jika aktivitas membisniskan ini sudah menjadi kultus alias budaya, akan merusak mental karyawan yang benar-benar ingin bekerja.
Karena saat bekerja ada karyawan bagian tertentu yang memperoleh tambahan banyak fulus dari pekerjaan yang sudah seharusnya menjadi tanggungjawabnya.
Di sisi lain ada bagian yang boleh dibilang kering karena tidak membisniskan aktivitas kerjanya. Hasilnya, karyawan akan sangat transaksional, hitung-hitungan secara materi dalam bekerja.
Selain itu, suasana kerja sebagai teamwork tidak nyaman karena muncul rasa iri akibat kebiasaan membisniskan kerjaan.
Teamwork terbangun jika karyawan di dalamnya merasa menjadi satu kesatuan, satu bagian untuk mewujudkan visi besar bersama.
(Susan/foto : istimewa)
Komentar