Aktivis Koperasi
Paruh baya dengan dahi lebar itu, dulu lebih saya kenal sebagai pegiat Transparency International (TI), sebuah lembaga independen yang rutin mengeluarkan rilis (salah satunya) Indeks Persepsi Korupsi berbagai negara : Teten Masduki. Ia otomatis lekat dengan kerja-kerja riset dan pemberdayaan publik dalam atmosfer “pro demokrasi dan anti korupsi”.
Kini, penggemar domba Garut, itu adalah Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Indonesia terhitung 23 Oktober 2019. Jika tak ada aral menelikung, Teten akan bekerja hingga 2024 mendatang. Sebelum itu, Ia menjabat Kepala Staf Kepresidenan Indonesia sejak 2 September 2015 hingga 17 Januari 2018.
Pencermatan saya, Teten Masduki, hingga saat ini, adalah satu-satunya menteri koperasi yang berlatar aktivis dan nyaris tak memiliki track reccord sebagai praktisi, bahkan sekedar pemerhati perkoperasian. Ia juga bukan sosok menteri koperasi yang berlatar belakang partai politik.
Sejumlah Menteri Koperasi pedahulu Teten Masduki yang pernah saya wawancarai, diantaranya adalah Subiakto Tjakrawerdaja, Adi Sasono, Zarkasih Noer, Alimarwan Hanan, Suryadharma Ali, hingga Syarief Hasan. Mayoritas mereka berlatar belakang partai politik, dan mayoritas mereka bukan berlatar belakang “aktivis koperasi”. Dalam sebuah wawancara di pinggir kolam miliknya, Zarkasih Noer menasehati Saya agar memiliki barang sepetak tanah. “kamu bisa bikin tempat kost, kolam, atau sekedar lapak untuk jualan,” ujarnya. Ia tak menanyakan, apakah Saya anggota koperasi atau bukan.
Sejatinya, latar belakang seperti apa yang dianggap sesuai untuk memimpin Kementerian Koperasi dan UKM? Paling sederhana, kita bisa melacak dari kinerja menteri-menteri koperasi terdahulu, dan itu bukan pekerjaan mudah. Jika kenaikan kuantitatif jumlah koperasi jadi ukuran, maka semua mantan menteri di atas bisa dikatakan “berprestasi”. Setiap tahun, terutama di ajang perayaan harkopnas, selalu dirilis perkembangan koperasi dalam satu tahun, dan itu identik dengan angka-angka. Kenaikan angka jumlah koperasi dari puluhan ribu menjadi seratusan ribu unit,misalnya, dibacakan di panggung seremoni Harkopnas dengan nada bangga. Sayangnya, sangat jarang yang merilis koperasi-koperasi ‘sesat’ yang saban tahun sukses ditaubatkan.
Di era kepemimpinan AA Puspayoga, memang ada sedikit spesifikasi tindakan menyoal “prestasi kuantitatif” koperasi kita. Yaitu, manakala Puspayoga bertekad memberantas koperasi-koperasi papan nama hingga diperoleh sekira 70an ribu koperasi saja. Koperasi yang benar-benar aktif dan berniat sehat.
Teten Masduki belum kita lihat gebrakannya. Satu hal yang layak dicermati, Ia tampak sangat ingin agar koperasi-koperasi benar-benar melek teknologi dan menerapkannya. Ia lantas menerima sejumlah anak muda yang mulai merintis koperasi-koperasi berbasis platform (coop platform) di ruangannya. Ia tampak antusias dengan yang demikian itu.
Terkait sikap terhadap dinamika gerakan koperasi, Teten Masduki, terlihat mencoba independen. Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN) yang terindikasi muncul “tandingannya”, disikapi Teten dengan dingin. Silakan datang dan menghadap, bercerita ihwal gerakan versi masing-masing, dan bekerja membuktikan diri siapa yang pantas menjadi representasi gerakan koperasi sejati. Saya membaca demikianlah sikap Teten Masduki. Ia enggan meniru, misalnya, apa yang pernah dilakukan pendahulunya, yang pernah berperkara di pengadilan dan bahkan pernah kalah.
Sebagai mantan aktivis, Teten Masduki tahu kapan harus bersikap independen. Masih butuh waktu untuk menilai kinerjanya. Dan dari semua itu, koperasi harus punya cukup ketahanan mental untuk tidak menggantungkan hidup pada sesuatu di luar dirinya. Membangun soliditas anggota koperasi dan kerjasama antar koperasi. Di dunia ini, belum pernah ada koperasi yang berkembang sehat dan maju jika ia menghamba pada bantuan eksternal, termasuk bantuan Pemerintah (APBN/APBD). Saya dengar, Teten Masduki memahami hal ini.(PRIONO/Ilustrasi Istimewa)
Komentar