Microfinance Outlook 2021 : Tantangan Era Inklusi dan Inovasi Keuangan Mikro Kita


img-1619070414.jpg

Oleh : DR. Ahmad Subagyo

(Ketua Umum IMFEA dan Ketua Harian Alumni FE-UNSOED)


“Don’t ever look for past if you can’t learn from it, and don,t worry of your future if it only holding you back from moving forward”.

    Kalimat bijak di atas, sengaja saya kutip sebagai lead pembuka tulisan ini. “Jangan pernah melihat masa lalu, jika kau tidak bisa belajar darinya, dan jangan mengkhawatirkan masa depan jika itu hanya akan menghambatmu untuk maju ke depan,demikian kurang lebih terjemahan bebasnya. Pepatah yang relevan dengan tantangan dunia keuangan mikro dewasa ini.

    Melihat kondisi keuangan mikro saat ini, landscape-nya sudah berubah jauh dibandingkan dengan ketika Muhammad Yunus menerima Nobel Perdamaian tahun 2006 silam. Kala itu keuangan mikro di dunia mengenal hanya  empat model bisnis yaitu Credit Union (CU) atau koperasi kredit yang berbasis membership, Grameen Bank, village bank yang dimotori kredit mikro BRI dan Self Help Group (SHG), sebentuk arisan yang banyak dipraktekkan di Asia Selatan.

    Satu dekade kemudian (2016), dunia keuangan mikro Indonesia dikenalkan oleh Bank Dunia dengan tujuh model bisnisnya, antara lain Credit Union (CU), Tanggung renteng, kuasi bank, BMT, Kemitraan, kuasi CU, dan unit simpan pinjam (USP).

    Bagaimana sekarang? Memasuki era pandemi Covid-19 tahun 2020, wajah keuangan mikro makin beragam dengan kehadiran teknologi informasi dan kehadiran pemain baru, yaitu Pemerintah. Seperti diketahui, ragam keuangan mikro dapat ditinjau dari kepemilikannya (pelakunya), instrument yang dipergunakan, dan dari skema produknya.

    Merujuk pada pandapat MS Robinson (2001) dalam The Microfinance Revolution: sustainable finance for the poor, menyatakan bahwa sasaran keuangan mikro sejatinya ada dua yaitu the economically active poor dan the extremely poor. Kedua istilah ini juga ada dalam Syariah Islam yaitu miskin dan fakir. Orang miskin adalah mereka yang mampu melakukan pekerjaan dan mendapatkan pendapatan namun tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya secara layak, sedangkan orang fakir adalah mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk menghidupi dirinya sendiri. Kedua sasaran tersebut tentunya berbeda pendekatannya, dan di sinilah model bisnis keuangan mikro berkembang secara massif.

 

Kondisi Terkini Keuangan Mikro di Indonesia

    Ditinjau dari aspek pelaku keuangan mikro di Indonesia, dapat dibedakan menjadi empat yaitu (1) Bank, (2) Lembaga keuangan bukan Bank, (3) Koperasi, dan (4) Perseorangan (money lenders). Dari keempatnya, Perbankan memberikan kontribusi terbesar dalam volume pendanaan terhadap sektor mikro dan kecil (UMK). Laporan OJK 2021, 110 bank komersial telah memberikan kredit ke UKM sebesar Rp. 1.059 triliun dan BPR sebesar Rp. 110 triliun.

    Mengutip ADB Monitor, lembaga keuangan Bukan Bank (LKBB) yang terdiri dari 184 Multifinance, 83 Pegadaian, 60 Ventures Capital, 22 perusahaan penjaminan kredit dan Permodalan Nasional Madani (PNM) di akhir 2020 mencapai Rp.452,2 triliun (hampir separuh kredit Bank).

    Data yang cukup mengejutkan, adalah laporan dari Layanan Keuangan Digital (LKD) OJK Q2 tahun 2021. Disebutkan, bahwa P2P, equity crowdfunding, inovasi keuangan digital dengan jumlah perusahaan sebanyak 149 Fintech Lending telah mampu menyalurkan Rp 113 triliun. Angka ini bahkan melampaui BPR dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang jauh lebih dulu dan lebih lama berkiprah di sektor microfinance. Berapa capaian KSP? Laporan Kemenkop UKM (2020) menyebut Koperasi Simpan Pinjam (KSP/KSPPS) baru mampu menyalurkan pembiayaan sebesar Rp 59 triliun.

 

Inovasi, Inklusi, dan Performa Koperasi

img-1619070791.jpg

    Spirit dalam keuangan mikro adalah bagaimana cara menjangkau masyarakat remote area dalam layanan keuangan. Baik dalam bentuk tabungan, pinjaman, asuransi maupun penjaminan dan produk keuangan lainnya (pembayaran).

    Sasaran keuangan mikro yang jumlahnya besar dan tersebar di seluruh Indonesia, yang menghuni berbagai pulau dan daratan yang jaraknya sangat jauh dari jangkauan kantor layanan perbankan, saat ini sedikit demi sedikit mulai terurai dan teratasi dengan kehadiran teknologi. Lembaga Keuangan saat ini sedang berlomba mengembangkan infrastruktur teknologinya.  Adalah sebuah keniscayaan, tanpa dukungan teknologi yang tepat maka daya saing akan menurun dan pada saatnya akan tereliminasi dari industri.

    Sebagai salah satu entitas yang bergerak di sektor keuangan mikro, koperasi merupakan organisasi yang unik jika dilihat dari perspektif industri keuangan lainnya. Keunikan terutama pada masalah kepemilikan “ownership”, dimana para pengguna jasa keuangan koperasi adalah anggotanya sendiri. Sehingga walaupun dari sisi jumlah omset atau volume usahanya relatif lebih rendah dibandingkan dengan industri sejenis (BPR dan Fintech), namun pemilik Koperasi relatif lebih besar jumlahnya. Sehingga, bisa dikatakan jika koperasi bermain di wilayah “BLUE OCEAN”. Tentu, jika mereka berpegang teguh pada prinsip koperasinya sendiri.

    Keunggulan tersebut akan makin kuat jika Koperasi bersedia untuk memodernisasi dirinya melalui penggunaan teknologi informasi, menuju digitalisasi. Nah, apakah Koperasi mampu memodernisasi dirinya sendiri tanpa bantuan pihak lain?

    Demikian juga Lembaga Keuangan Mikro, mampukah bersaing dengan lembaga keuangan lain, di tengah-tengah persaingan yang makin ketat. Baik dari sisi pelaku maupun skema-skema pembiayaan mikro yang makin beragam dari Pemerintah sendiri melalui Kredit usaha Rakyat (KUR), Kredit Ultra Mikro (Umi), pendanaan melalui LPDB, dan program-program bantuan lainnya yang berasal dari Pemerintah.

    Pada kenyataannya, angka inklusi pembiayaan kita masih berada di angka 19,8%, artinya dari total populasi kita yang mampu mengakses pembiayaan formal tidak lebih dari seperempat dari total jumlah penduduk.  Alhasil, kehadiran lembaga-lembaga pembiayaan alternatif menjadi keniscayaan untuk mendorong agar masyarakat memiliki banyak pilihan untuk mendapatkan layanan keuangan yang berkeadilan bagi diri dan masyarakat lainnya.

    Akhirnya, dalam keragaman dan kompleksitas layanan keuangan bagi masyarakat grassroot diperlukan peraturan dan kebijakan yang adil bagi semua pihak. Bagaimana pemerintah mampu memberikan ruang yang fair bagi para pelaku keuangan mikro dan di sisi lain, masyarakat berpenghasilan rendah mampu mengakses layanan keuangan dengan mudah, aman dan murah (*)

_______

Kategori
WACANA

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar