Untung Rugi Omnibus Bagi Koperasi

Usai disyahkan berikut segala kontroversi dan demonstrasi bertubi, Undang Undang Omnibus Law resmi berlaku. Sejumlah pasal berkaitan langsung dengan Perkoperasian. Apa untung ruginya?


Oleh : PRIONO


          Ihwal pendirian koperasi menjadi pasal yang banyak ditanggapi entitas gerakan koperasi. Seperti diketahui, UU Omnibus Law memangkas pasal jumlah pendiri koperasi dari semula minimal 20 orang menjadi hanya 9 orang. Usulan awal bahkan lebih radikal, yaitu 3 orang.

 

           UU Perkoperasian No.12/1992 sebelumnya memang mensyaratkan jumlah pendiri koperasi primer minimal 20 orang. Regulasi sebelumnya bahkan pernah 25 orang (UU 1958 dan 1965). Lantas kemudian berubah menjadi 20 orang (UU 1967, 1992, 2012, 1992).

 

         Kenapa dipangkas jadi kurang dari separuhnya? "Ini akan mempermudah masyarakat dalam mendirikan koperasi. Sehingga inisiatif masyarakat (mendirikan koperasi) tumbuh," papar Menteri Koperasi  dan UKM Teten Masduki dalam satu kesempatan.

 

           Bagaimana pandangan entitas gerakan koperasi? Menurut Bambang Suhardijo, (Plt) Ketua Induk Koperasi Pegawai RI, persyaratan jumlah minimum pendiri koperasi yang hanya 9 orang dinilai kurang memadai. "Jumlah minimal pendiri yang hanya 9 orang itu menurut Saya kurang memadai, bisa jadi itu hanya untuk melegalkan koperasi-koperasi yang sekarang ada," teang Bambang.

 

        Ketua Koperasi Syariah Benteng Mikro Indonesia (BMI) Kamaruddin Batubara, misalnya, jumlah pendiri koperasi yang dipangkas jadi 9 orang itu bukan hal urgen. "Masalah koperasi itu ada (muncul) justru setelah koperasi berdiri, bukan saat pendirian," papar Kamaruddin. "Apa bedanya dengan PT jika hanya mengedepankan jumlah pendiri yang terbatas. Saya justru kuatir dengan kemunculan koperasi abal-abal dengan memanfaatkan jumlah pendiri yang sedikit ini," papar Kamaruddin.   

                                   

      Hampir senada Kamaruddin, Ketua Pusat Koperasi Pegawai RI Sumatera Barat Hadi Suryadi mengemukakan, UU Omnibus Law ini terkesan berorientasi kuantitatif ketimbang kaulitatif. Memunculkan ekses berupa orang-orang berduit membentuk koperasi yang tidak mengutamakan anggota melainkan legalitas pendirian (yang mudah). "Orientasinya terkesan kuantitatif. Potensial booming pengusaha koperasi. Nanti yang untung adalah para pemilik koperasi yang sembilan orang itu. Ibaratnya, petani akan tetap jadi petani dan yang punya duit tetap jadi bos nya, terjadi pelebaran jarak status sosial di antara mereka," papar Hadi.  

 

            Ada kekurangan dan kelebihan terkait pendirian koperasi dihubungkan dengan jumlah minimal pendirinya. Menarik mencermati jajak pendapat Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Mei 2020 silam. Jajak pendapat online yang diikuti 1.002 responden itu, antara lain mendapati top of mind orang Indonesia dalam memandang koperasi. Mindset orang Indonesia dalam memandang koperasi secara runut  meliputi "usaha bersama", "simpan-pinjam", "gotong royong", "kewirausahaan" dan "demokrasi ekonomi".

                                   

         Ada satu pertanyaan menarik dalam jejak pendapat ihwal ketertarikan dalam mendirikan koperasi. Tiga besar alasan responden meliputi, "tidak memahami model koperasi", "butuh banyak orang (20 orang)" dan "tidak memiliki modal.

 

          Direktur ICCI Firdaus Putra mengemukakan, ada perbedaan syarat dalam pendirian koperasi di berbagai negara. Diantaranya Kanada yang mensyaratkan minimal tiga orang untuk mendirikan koperasi, lalu Afrika lima orang, Nigeria 6, 10, 20, 50 orang tergantung sektor koperasinya. Jamaika 10 orang, India 10 dan 50 orang, tergantung wilayah operasinya.

                                   

         Negara jiran Singapura mensyaratkan jumlah minimal pendiri koperasi 5 dan 10 orang tergantung sektornya. Malaysia 10 orang. Australia dan Uni Eropa sama-sama 5 orang. Tidak ada jumlah baku terkait jumlah pendiri koperasi dan setiap negara memiliki kebijakan dan pertimbangan yang berbeda.  Dengan kemudahan itu, "Dengan kemudahan itu, saya memproyeksikan akan banyak tumbuh koperasi-koperasi primer nasional yang diinisiasi dari berbagai kota/kabupaten di Indonesia," papar Firdaus. Ia mengimbuhkan, sangat penting bagi Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Koperasi, menerbitkan regulatory sandbox, yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mendokumentasi, mengklasifikasi berbagai inovasi model koperasi  yang dilakukan masyarakat.

 

Substansi Yang Luput

                                 

            Sejumlah hal penting justru luput cakupan dari Omnibus Law, sebut saja distingsi bagi koperasi terkait pajak. Sejumlah negara membebaskan koperasi dari pajak untuk memberdayakan koperasi itu sendiri. Sebut saja Singapura dengan koperasi konsumen terbesarnya, FairPrice.

                                   

             Koperasi yang bertransaksi hanya dengan anggotanya diberikan perkecualian pajak. Sebagai lembaga yang telah andil secara ekonomi dan sosial sekaligus, koperasi yang sehat dan besar justru telah turut membantu mengatasi problem negara.

 

             Pasal Koperasi Syariah juga disebut sebuah kemajuan, meski tetap mencuatrkan persoalan. Terkait Dewan Pengawas eksternal dari Koperasi Syariah, misalnya, dinilai sejumlah kalangan kurang pas dengan tradisi baku koperasi. "Disebutkan Koperasi Syariah harus ada Dewan Pengawas dari luar, jika itu diterapkan justru menunjukkan dependensi koperasi. Standar baku koperasi sudah memiliki Pengawas (dan Pengurus) yang dipilih Anggota melalui Rapat Anggota," papar Bambang Suhadijo. Sejauh ini, imbuh Bambang, IKPRI, GKPRI, hingga primernya (KPRI) tetap fokus dengan apa yang sudah dilaksanakan dan tradisi baik gerakan koperasi selama 73 tahun. (*)

Kategori
NASIONAL

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar