GKBI dan Peran Pemerintah dalam Gerakan Koperasi


Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) merupakan salah satu koperasi sukses pada masanya (berdiri 1954). Pada masa demokrasi liberal, era ketika Dr. Saroso Wirodiharjo, yang pada waktu itu menjabat Kepala Jawatan Perdagangan dan Kepala Direktorat Perdagangan dan Perindustrian pada Kementerian Perdagangan dan Perindustrian, yang bertanggung jawab mengurusi Koperasi sebagai lembaga penggerak perdagangan dan perindustrian.

Semula, perkembangan koperasi bersumber pada tiga institusi dan jalur. Pertama, koperasi pada mulanya berkembang karena digerakan oleh organisasi sosial dan politik, seperti Boedi Utomo, Sarekat Dagang Islam (SDI), Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), Partai Indonesia Raya (Parindra) yang diikuti oleh partai-partai politik lainnya pada masa kemerdekaan. Kedua, digerakan atau dibantu oleh pemerintah, baik Pemerintah Hindia Belanda maupun Republik Indonesia. Ketiga, merupakan inisiatif seorang atau kelompok masyarakat dan dunia usaha dari bawah, yang bisa juga atas dorongan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang nonpolitis sebagai bagian dari masyarakat sipil (civil-sosiety).

Organisasi kemasyarakatan dan partai politik memang berhasil menggerakan masyarakat untuk mendirikan koperasi-koperasi secara massal. Namun koperasi-koperasi yang lebih didorong oleh semangat dan iedologi politik, misalnya menentang kapitalisme dan politik perekonomian pemerintah Kolonial, itu gagal untuk menjadikan koperasi sebagai organisasi usaha yang berhasil secara komersial. Sebabya adalahkurang dan tiadanya perhatian pada aspek keterampilan usaha yang berdasarkan motif ekonomi, dan tiadanya pengetahuan mengenai asas-asas koperasi dan pengelolaan koperatif (cooperative governance). Kekurangan ini disadari oleh pemerintah yang kemudian berusaha untuk memberdayakan koperasi melalui Undang-Undang (UU) dan peraturan, serta kegiatan pembinaan dan intervensi kebijaksanaan.

Di masa kemerdekaan, campur tangan pemerintah ini dilakukan secara lebih intensif dan di masa Ekonomi Terpimpin (1959-1965), yang menempatkan koperasi dalam kerangka ideologi sosialis. Pada waktu itu juga agenda-agenda partai politik, seperti PNI, Masyumi, PKI, dan NU juga menyusup ke dalam gerakan dan organisasi koperasi sehingga terjadi politisasi gerakan koperasi. Tapi campur tangan pemerintah itu sudah lebih lunak dibanding dengan pada masa pendudukan Jepang, yang menggunakan organisasi koperasi sebagai lembaga eksploitasi terhadap rakyat untuk pengadaan pangan dan bahan baku industri, dalam rangka pembangunan ekonomi Timur Raya yang diprakarsai oleh Jepang dan mobilisasi tenaga kerja, sehingga azas partisipasi dan emansipasi pada koperasi menjadi rusak, yang menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap koperasi.

Namun demikian, terdapat perbedaan antara pengaruh politik pada masa Hindia Belanda dan pada masa kemerdekaan. Pada masa penjajahan, politisasi koperasi diarahkan kepada gerakan perlawanan dan penegakan strategi politik kooperasi (kerja sama) nonkoperasi terhadap Pemerintah Hindai Belanda. Tapi, pada masa kemerdekaan, politisasi mengarah kepada penggunaan organisasi koperasi untuk kepentingan politik partai. Yang pertama, menimbulkan semangat swadaya dan independensi. Sedangkan yang kedua, mengundang campur tangan pemerintah terhadap gerakan koperasi, untuk menjadikan koperasi sebagai bagian dari sistem ekonomi nasional sesuai dengan gagasan konstitusi ekonomi dalam UUD 1945.

Pada masa Pemerintahan Orde Baru, terjadi proses metamorposis peranan pemerintah dalam perkembangan koperasi. Pertama, pemerintah melakukan reformasi organisasi koperasi melalui UU dan peraturan. Kedua, pemerintah menjadikan koperasi sebagai alat kebijaksanaan khsusunya untuk mendukung program pembangunan pertanian. Ketiga, pemerintah memberikan bisnis atau bidang usaha kepada koperasi. Keempat, pemerintah menyediakan faktor-faktor produksi seperti kredit, tenaga manajer, bahan baku, dan alat-alat produksi. Kelima, pemerintah melakukan modernisasi organisasi koperasi melalui pendidikan dan informasi. Keenam, pemerintah melakukan pemberdayaan kapasitas (capacity building) kelembagaan koperasi. Ketujuh, pemerintah menciptakan proyek-proyek pembangunan koperasi misalnya pengembangan koperasi unit desa dan kemitraan koperasi dengan BUMN dan perusahaan swasta sebagai bagian dari program pemerintah. Kedelapan, pemerintah memberikan hibah, misalnya untuk membangun kantor atau kendaraan.

Sebenarnya intervensi dan peranan pemerintah itu memiliki preseden, yaitu usaha gerakan koperasi sendiri untuk meminta bantuan pemerintah. Peristiwa ini terjadi di kalangan gerakan koperasi batik nasional, yaitu Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) yang beranggotakan pengusaha-pengusaha batik yang sejak berkembangnya industri batik. Pada awal abad 20, mereka sangat membutuhkan bahan baku, khususnya mori atau cambrics yang distribusinya dikuasai atau dimonopoli oleh pedagang Belanda dan keturunan China, yang pada waktu itu merupakan warga negara kelas atas dan menengah, sedangkan pribumi kelas bawah. Pada mulanya GKBI hanya sekadar ingin berhubungan langsung dengan importir saja, tetapi kemudian berjuang untuk mendapatkan lisensi sebagai importir yang bahkan kemudian berhasil ditunjuk sebagai importir tunggal kain mori.

Setelah berhasil menjadi importir tunggal itu, maka GKBI menyalurkan bahan baku itu kepada pengusaha yang menjadi anggota koperasi batik primer. Dari situ, maka koperasi menciptakan keuntungan pada tiga level. Pertama, level gabungan koperasi (GKBI), kedua, level koperasi primer dan ketiga level anggota koperasi yang bisa mendapatkan jatah bahan baku dengan harga murah.

Maksud koperasi sebenarnya adalah bahwa bahan baku itu diolah sendiri, namun sebagian menjualnya ke pasar sehingga menimbulkan perdagangan di luar koperasi. Tapi dengan keuntungan itu, maka GKBI bisa menghimpun modal dengan cepat dan mendirikan perusahaan mori sendiri. Demikian juga berbagai koperasi primer mendirikan pabrik sendiri sehingga terjadi proses industrialisasi. Dalam posisi itu, koperasi bertindak sebagai investor industri dan sekaligus distributor kepada anggota koperasi primer. Dengan pengalaman itu, maka lahir persepsi bahwa pemerintah dapat berperan startegis dalam membangun koperasi.

Edi Supriadi (diolah dari berbagai sumber)/ Foto : Semarang City Walkthrough     

Kategori
WACANA

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar