"Bisnis Sharing dan Kolaborasi, Pas dengan Koperasi Multi Pihak"



Setelah melalui serangkaian diskusi dan FGD yang memakan waktu, Draft Peraturan Menteri Koperasi (Permenkop) untuk menjawab stagnasi model-model koperasi di era digital melalui Koperasi Multi Pihak (KMP), akhirnya disetujui oleh Presiden, pekan lalu. Apa saja urgensi dan tantangan dalam implementasinya mendatang? Berikut wawancara Priono dari Warta Koperasi dengan Firdaus Putra, praktisi dan ektivis koperasi, salah satu inisiator di balik rancangan Permenkop tentang Koperasi Multi Pihak, medio Oktober lalu. 


img-1635148794.jpg


Bisa diceritakan awal pembahasan yang bermuara pada Permenkop Koperasi Multi Pihak (KMP)?

 

Semua berawal saat beberapa tenant yang kita inkubasi mulai mengurus Badan Hukum koperasi. Mereka mengurusnya sudah sudah sampai ke Notaris, lalu eksplore dengan model multi pihak, ternyata ditolak. Kami konsultasikan dengan Notaris lain, juga ditolak. Sehingga ini memang perlu regulasi baru agar bisa diterima. Lalu kami deliver ide tersebut ke Menteri, alhamdulillah mendukung. Dari Menteri disposisi ke Pak Ahmad Zabadi yang saat itu masih menjabat sebagai Deputi Pengawasan, kita lakukan audiensi. Beliau memahami ide besarnya. Ditambah beliau mengalami dua kasus di masa lalu, yang bakal solve bila ada model KMP di Indonesia, yaitu kasus Kosti Jaya (taksi) dan Gojek. Lalu diskusi mulai intensif dan sampailah FGD dan ditindaklanjuti dengan perumusan draft Permenkopnya.

 

Mulai kapan prosesnya?

 

Proses itu mulai sejak April 2021 yang lalu. 

 

Menurut anda, apa urgensi Permenkop ini?

 

Urgensi Permenkop ini, yakni merespon beberapa tantangan strategis. Pertama, tumbuhnya ekonomi digital, di sini perusahaan startup tumbuh. Bila founder startup mau bikin perusahaannya berbasis koperasi, dalam model eksisting (satu pihak) itu tak bakal fit. Atau ada disinsentif pada beberapa hal lainnya. Kedua, tumbuhnya generasi milenial dan pasca milenial, yang mana mereka memiliki aspirasi soal pekerjaan dan pendapatan. Koperasi yang fit bagi mereka tentu saja seperti worker coop. Model worker coop ini juga bisa dikembangkan dengan multi pihak, sehingga lebih akseleratif. Ketiga, model bisnis yang berkembang cepat. Hal ini terlihat di berbagai model bisnis aneka startup. Inovasinya sangat out of the box, khususnya pada model-model sharing atau collaborative economy. Model seperti ini akan fit dengan KMP. 

 

Apa kendala utama perumusan regulasi baru ini?

 

Saya kira kendala yang utama adalah meyakinkan para pihak (dalam hal ini para Pejabat di Kementerian), bahwa kita membutuhkan model ini untuk merespon masa depan, yang tomorrow is today, yang sayangnya praktik validnya belum ada. Masih embrio-embrio. Ini jadinya jadinya seperti analogi ayam-telor. Apa yang ada lebih dulu, ayam = praktik atau telor = regulasi. Bila ditanya praktik, di Indonesia semua masih embrio, tapi agar di negara-negara lain sudah berkembang massif pada bentuk platform coop. Nah dari benchmark itu, saya pikir relevan untuk kita adopsi. Toh, salah satu fungsi regulasi/ hukum itu kan sebagai tools as social engineering. Sehingga, dilema ayam-telor bisa terpecahkan. 

 

Pasca presiden setuju Permenkop, apa berikutnya?

 

Alhamdulillah, kurang dari satu tahun (Permenkop) selesai. Ini proses advokasi regulasi yang cepat, tambah pada isu yang sifatnya inovasi atau terobosan baru pada kelembagaan pula. Ditambah sekarang membuat Permen itu kan juga harus disetujui oleh Presiden (via Setkab). Dan puji syukur Setkab mendukung dan memahami terobosan ini. Pasca diundangkan saya pikir saatnya masyarakat memanfaatkan regulasi baru ini.

 

Sudah ada aksi?

 

Beberapa teman saya sudah mulai bersiap juga mengurus badan hukum koperasinya dengan model multi pihak. Beberapa wait and see sampai Permen ini diundangkan. Jadi sekarang ayam dan telornya sudah ada. Tinggal melakukan validasi di eksekusi kelembagaan dan bisnis dari KMP-KMP yang berkembang di waktu-waktu mendatang. Dua-tiga tahun mendatang masyarakat pasti akan mencari formula-formula eksekusi yang pas. Sebab, Permen ini kan general, tidak mengatur detail. Detailnya diserahkan ke koperasi melalui AD/ ART masing-masing. Tapi kita juga patut bersyukur, sebab pada struktur organisasi Kemenkop dengan kedeputian baru, di bawah Deputi Perkoperasian ada namanya Asdep Pengembangan dan Pembaruan Koperasi, saya pikir Asdep tersebut akan relevan sekali dalam melakukan pendampingan/ konsultansi pada KMP-KMP yang berkembang di masyarakat. 

 

Ada sesuatu yang baru terkait lolosnya Permenkop?

 

Saya senang dengan momen ini. Sebab tak semua Pejabat bisa menerima terobosan-terobosan baru. Saya pikir Menteri Teten dan Deputi Zabadi patut diacungi jempol. Mereka bisa melihat dan memproyeksikan bagaimana masa depan akan begitu dinamis, sehingga betul-betul all out mendukung Permenkop ini.

 

Apa saja tantangan implementasinya?

 

Tantangan implementasi, sebagai model baru tentu tantangan ke depan adalah bagaimana mencari formula yang tepat pada beberapa isu. Pertama, tata kelola, yakni representasi setiap Kelompok Pihak Anggota dalam struktur Pengurus dan Pengawas KMP. Kedua, pengambilan keputusan, di mana dilakukan berjenjang melalui dua RA, RA Kelompok dan Paripurna. Nah pada RA Paripurna, voting berdasar proporsi, yang mana itu diserahkan kepada koperasi masing-masing. Ketiga, distribusi peran, hak serta kewajiban masing-masing Kelompok Pihak Anggota. Keempat, distribusi SHU/ manfaat kepada masing-masing Kelompok Pihak Anggota. Isu-isu di atas detailnya diserahkan ke koperasi melalui AD/ ART agar lebih luwes dan fit bagi masing-masing koperasi. Meskipun menantang, saya yakin para praktisi akan memiliki kebijaksanaannya dalam merumuskan itu semua. Sampai pada gilirannya pada tahun-tahun berikutnya kita memiliki model yang relatif fit pada berbagai jenis atau model bisnis KMP.* (Prio)

 

Kategori
Wawancara

Artikel Terkait

Komentar

  • Belum Ada Komentar

Tambahkan Komentar