USP Koperasi, Seberapa Perlu Bentuk LPS Layaknya Perbankan?

USP Koperasi, Seberapa Perlu Bentuk LPS Layaknya Perbankan?



img-1764720312.jpg

Oleh : R. Nugroho M

Praktisi Koperasi


Draft Rencana Undang-Undang Perubahan Keempat Undang-undang No 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian yang telah disahkan sebagai RUU Inisiatif DPR dalam Sidang DPR-RI pada tanggal 18 November 2025 , menghadirkan lembaga baru dalam Tata kelola Usaha Koperasi khususnya Usaha Simpan Pinjam Oleh Koperasi yang  disebut Lembaga Penjamin Simpanan.

Lembaga Penjamin Simpanan ini dibentuk oleh Pemerintah Pusat untuk melindungi simpanan anggota koperasi yang disimpan di Koperasi yang menjalankan Usaha Simpan Pinjam, dan ketika membaca beberapa ketentuan teknis yang mengatur Lembaga ini yaitu pada perubahan pasal 44 UU 25/1992 mulai pasal 44R sampai 44X, rasa-rasanya ketentuan teknis tentang Lembaga Penjamin Simpanan pada Koperasi Ini tak jauh bedanya dengan Lembaga Penjamin Simpanan pada lembaga Perbankan yang diatur dalam UU 24/2004 sampai dengan perubahannya dalam UU 7/2009 ( kalau tidak boleh dikatakan copy paste dari UU 24/2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan ).

Terlepas apakah Lembaga Penjamin Simpanan pada Usaha Simpan Pinjam Koperasi merupakan Copy Paste dari Lembaga Penjamin Simpanan pada Perbankan atau tidak,  penulis ingin merenungkan pertanyaan diatas yaitu Apakah Lembaga Penjamin Simpanan dibutuhkan dalam Usaha Simpan Pinjam Koperasi ?

Fakta empiris menunjukkan kepada kita semua, bahwa selama ini Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi tidak dapat disamakan dengan Usaha sektor Jasa Keuangan yang dilakukan oleh Pihak Perbankan.

Simpanan Anggota Koperasi sebagai modal dalam Usaha Simpan Pinjam Koperasi , disimpan pada koperasi yang dimiliki anggota koperasi itu sendiri;  sedangkan simpanan masyarakat yang ditempatkan pada lembaga perbankan disimpan pada lembaga keuangan yang bukan milik masyarakat.

Dalam Usaha Simpan Pinjam Koperasi,  pengelolaan simpanan anggota pada koperasi dilakukan secara bersama , digunakan untuk melayani kebutuhan anggotanya sendiri, dan apabila pengelolaan Usaha simpan pinjam dalam konteks transaksi dari-oleh dan untuk anggota menghasilkan sisa hasil usaha maka sisa hasil usaha yang diperoleh akan dibagikan kembali kepada anggota berdasarkan kesepakatan bersama;  sedangkan dalam dunia perbankan simpanan masyarakat yang disimpan di bank akan dioperasionalkan bank untuk bertransaksi dengan masyarakat ( bukan pemilik bank ) dalam konteks transaksi bisnis antara Bank dengan Masyarakat ; dan apabila menghasilkan keuntungan dari transaksi bisnis yang dilakukan , keuntungan itu milik dari bank dan tidak dibagikan kepada masyarakat yang melakukan transaksi dengan Bank.

Perbedaan hakiki antara Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi dengan Usaha Sektor Jasa Keuangan yang dilakukan pihak Perbankan atau lembaga keuangan non Bank yaitu :

Usaha Simpan Pinjam dilakukan sebagai usaha bersama para anggota pemilik koperasi untuk melayani kebutuhan keuangan para anggotanya  dengan modal berupa simpanan yang dihimpun bersama .

Usaha Sektor Jasa Keuangan dilakukan pihak perbankan/lembaga keuangan Non Bank untuk melayani kebutuhan masyarakat bukan pemilik Bank/Lembaga keuangan Non bank sebagai kegiatan bisnis dengan memberdayakan simpanan masyarakat di bank .

Dari ketiga fakta empiris diatas, akan dapat dapat difahami bersama bagaimana kedudukan masyarakat sebagai pemilik simpanan pada koperasi dan pada lembaga Perbankan/Lembaga Keuangan Non bank.

Lembaga Penjamin Simpanan Masyarakat pada perbankan bertujuan melindungi simpanan masyarakat yang disimpan pada lembaga keuangan yang bukan miliknya, karena masyarakat pemilik simpanan tidak memiliki kemampuan dan hak untuk ikut mengawasi tata kelola usaha yang memanfaatkan simpanannya; disinilah Jati Diri Kehadiran Lembaga Penjamin Simpan hadir sebagai pelindung masyarakat.

Sedangkan pada Koperasi, masyarakat sebagai anggota koperasi mempunyai kedudukan hukum yang kuat dan strategis karena ikut serta mengawasi dan mengelola simpanannya sendiri melalui tata kelola usaha simpan pinjam yang direncanakan, dikelola dan diawasi secara bersama ; fakta empiris menunjukkan bahwa selama ini banyak koperasi yang ada ditengah masyarakat telah mampu menjamin dan melindungi simpanan anggotanya sendiri tanpa adanya campur tangan Pemerintah/pihak diluar koperasi.

Dalam hal ini memang tidak dapat diterima alasan kalau kehadiran LPS dan OPK hanya untuk menjaga agar tidak terulang lagi kasus adanya beberapa Koperasi yang gagal bayar mengembalikan simpanan masyarakat,  selanjutnya  perlu dikaji lebih mendalam dalam kasus ini apakah kasus Gagal bayar oleh Koperasi yang menjadi viral dimasyarakat tersebut adalah Koperasi yang memang menerapkan tata kelola Koperasi dalam Koridor Jati Diri Koperasi atau tidak.

Dalam hal ini memang tidak dapat diterima pula alasan kalau kehadiran LPS koperasi karena adanya kesalahan tata kelola koperasi yang keluar dari Koridor jati diri Koperasi yang jumlahnya tidak ada 1 % dari ribuan koperasi yang ada , menjadi akibat yang harus ditanggung oleh ribuan Koperasi yang menerapkan tatakelola jati diri koperasi .

Dalam ketentuan yang digagas dalam draft RUU perubahan keempat UU 25/1992 khususnya perubahan pasal 44 , diatur bahwa Koperasi ikut serta membiayai Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Koperasi,  itu berarti masyarakat atau anggota koperasi yang mempunyai simpanan di Koperasi itulah yang membiayai LPS koperasi ( pada dasarnya Koperasi secara kasat mata adalah kumpulan anggota koperasi itu sendiri ), sedangkan dalam UU 24/2004 sampai dengan perubahannya dalam UU 7/2009 diatur bahwa yang membiayai LPS adalah Bank peserta LPS baik dalam bentuk pembayaran premi dan kontribusi kepesertaan, itu berarti yang terkena beban untuk membiayai LPS adalah Bank peserta LPS bukan masyarakat pemilik simpanan.

Dari analisa kritis ini , telah terjadi pembebanan yang tidak adil,  kalau di LPS perbankan beban untuk membiayai LPS ada pada bank, bukan pada pemilik simpanan di bank;  tetapi pada LPS koperasi beban untuk membiayai LPS justru ada pada pemilik simpanan yaitu anggota koperasi sendiri. ; karena pada dasarnya beban yang harus ditanggung oleh koperasi adalah beban yang harus ditanggung bersama oleh seluruh anggota koperasi.

Belum lagi ketentuan teknis lain terkait dengan kehadiran LPS Koperasi yang menjadi beban anggota sebagai pemilik koperasi maupun pemilik simpanannya itu sendiri,  lain halnya dengan LPS perbankan yang tidak memberikan beban kepada masyarakat pemilik simpanan di bank.

Dalam hal ini perlu difahami pula bahwa Rencana Undang-undang perubahan keempat UU 25/1992 telah menetapkan bahwa Usaha Simpan Pinjam Koperasi yang merupakan transaksi pelayanan dari-oleh dan untuk anggota bukanlah Usaha Sektor jasa Keuangan Koperasi yang merupakan transaksi bisnis keuangan koperasi yang profit oriented. ( perubahan pasal 43 UU 25/1992 )

Dari renungan diatas, maka anggota koperasi sebagai pemilik simpanan perlu berfikir lebih mendalam  untuk menjawab pertanyaan “PERLUKAH KEHADIRAN LPS KOPERASI DALAM TATA KELOLA USAHA SIMPAN PINJAM KOPERASI ?”  ; kalaupun perlu maka harus ditata kembali agar kehadiran LPS koperasi tidak merenggutkan hak otonomi dan kemandirian koperasi untuk menata kehidupannya sendiri, serta kehadiran LPS Koperasi tidak memberikan beban kepada anggota koperasi dalam merawat dan mengelola simpanannya sendiri yang digunakan dalam rangka melaksanakan gerakan saling menolong untuk mewujudkan kesejahteraan bersama lewat wadah koperasi.

Kehadiran Lembaga Penjamin Simpan Anggota Koperasi harus semakin memperkuat penghayatan dan pengamalan perubahan definisi Koperasi dalam Undang-undang perubahan keempat UU 25/1992 yang berubah dari BADAN USAHA menjadi SEKUMPULAN ORANG PERORANGAN ATAU BADAN HUKUM KOPERASI yang melakukan usaha bersama dalam koridor azas kekeluargaan dan gotong royong. Semoga (*)


Sumber : https://wartakoperasi.net/usp-koperasi-seberapa-perlu-bentuk-lps-layaknya-perbankan-detail-460753