Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan Tahun Koperasi Internasional jatuh pada 2025 mendatang. Hal itu merupakan keputusan Sidang Pleno ke-47 dengan salah satunya adalah meneguhkan kembali Resolusi No.47/90 tentang International Year of Cooperatives (IYC) yang berisi seruan kepada negara-negara anggota PBB untuk memperkuat peran koperasi dalam pembangunan sosial.
Penetapan Tahun Koperasi oleh PBB kali ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya, pada 2021 juga dilakukan hal serupa.
Melalui resolusinya, PBB menabalkan kembali efektifitas koperasi dalam pembangunan ekonomi dan pemberdayaan sosial komunitas, dengan dampak positif berupa kontribusi dalam pemberantasan kemiskinan dan kekurangan pangan. Koperasi, melalui perusahaan-perusahaannya, juga berhasil dalam melayani kelompok marjinal, hal yang nyaris tak mampu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang murni berorientasi profit.
Dikaitkan dengan dengan krisis pangan global, PBB dengan terbuka mengakui, koperasi berkontribusi penting terhadap meningkatnya ketahanan pangan dunia melalui kultur produksi pangan yang inklusif dan berkelanjutan.
Koperasi juga diakui berkontribusi besar dalam pemberdayaan ekonomi inklusif dan berperspektif gender melalui program-program pemberdayaan ekonomi perempuan, kalangan muda, disabilitas dan lansia. PBB menganggap hal tersebut selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang juga diinisiasi oleh PBB melalui organ-organnya.
Pada Tahun Koperasi Internasional 2025, PBB mendorong anggota dan organisasi internasional lainnya, mengimplementasikan tujuh taklimat, yaitu :
Urgensi Pemerintah untuk memperkuat ekosistem kewirausahaan bagi koperasi. Tujuannya, agar koperasi dapat lebih berkontribusi secara maksimal terhadap penciptaan lapangan kerja layak, pemberantasan kemiskinan dan kelaparan, pendidikan dan perlindungan sosial, jaminan kesehatan, inklusi keuangan dan penciptaan perumahan yang terjangkau.
Pemerintah perlu meninjau regulasi yang ada agar lebih kondusif bagi koperasi. Baik dengan memperbaiki peraturan perundang-undangan yang ada atau dengan membentuk peraturan baru. Perbaikan secara khusus perlu memperhatikan isu terkait akses permodalan, otonomi, daya saing serta perpajakan yang adil bagi koperasi.
Mengajak pemerintah dan organisasi internasional untuk memperkuat kapasitas pada inisiatif yang dijalankan oleh masyarakat miskin, generasi muda dan perempuan. Termasuk lansia, masyarakat adat, penyandang disabilitas dan mereka yang berada dalam posisi rentan.
Keharusan Pemerintah untuk memperkuat ketahanan pangan dengan implementasi sistem produksi dan konsumsi berkelanjutan. Pemerintah perlu memberi dukungan besar kepada petani kecil, perempuan petani, kelompok tani serta koperasi pertanian dan pangan. Dukungan penting berupa akses pasar dan permodalan.
Mendorong Pemerintah memperluas ketersediaan, aksesibilitas dan penyebaran penelitian mengenai koperasi. Mengembangkan kerangka statistik untuk pendataan koperasi yang sistematis dan komprehensif.
Perlunya pemerintah mengembangkan regulasi dan kebijakan yang memberikan perempuan akses terhadap tanah dan mendukung koperasi perempuan dan pertanian. Kebijakan yang memungkinkan koperasi perempuan memperoleh manfaat dari proses pengadaan sektor publik dan swasta.
Pemerintah proaktif menciptakan lingkungan kondusif dalam pengembangan koperasi. Upaya itu antara lain mengintegrasikan koperasi ke dalam program pendidikan, termasuk kurikulum sekolah. Serta memberikan dukungan pengembangan sumber daya manusia, teknologi informasi dan komunikasi, pendampingan teknis/pelatihan, serta mendorong pertukaran gagasan dan pengalaman melalui berbagai kegiatan yang relevan.
Menanggapi taklimat PBB di atas, praktisi milenial koperasi yang sekaligus Staf Ahli Deputi Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM Firdaus Putra Aditama mengemukakan, taklimat di atas sinkron dengan agenda pembangunan bagi Indonesia dan resolusi PBB itu hadir pada momen yang tepat. “Pertama, adanya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang baru, periode 2025-2029. Kedua, RPJMN dijalankan oleh Presiden dengan kabinet pemerintahan yang baru. Ketiga, kita sedang menyongsong UU Perkoperasian yang baru. “Sehingga maklumat itu seyogyanya mempertebal affirmative action bagi koperasi pada berbagai kebijakan serta program pemerintahan periode mendatang,” papar Firdaus.
Dari maklumat di atas, imbuh Firdaus, ada beberapa isu yang sinkron dengan kerangka RPJMN bidang koperasi. Pertama, arah kebijakan pengembangan ke depan fokus pada koperasi produksi khususnya pertanian dan agribisnis. Afirmasi itu dilakukan guna memperkuat peran koperasi sebagai soko guru ekonomi nasional. Sebab kontribusi PDB sektor pertanian dan pengolahan (makanan-minuman) sangat dominan di Indonesia. Dengan pendekatan industrialisasi dan hilirisasi, anggota serta masyarakat dapat memperoleh nilai tambah yang tinggi.
Keterlibatan koperasi dalam rantai pasok dapat meningkatkan efisiensi produksi, pengolahan dan tata niaga industri pertanian dan agribisnis. Skema kepemilikan serta redistribusi ala koperasi dapat membagi risiko dan hasil lebih adil bagi para pelaku pada sisi hulu dan hilir. Hilirisasi pertanian menjanjikan nilai yang sangat besar. Mulai dari palawija, holtikultura, tanaman obat, perkebunan, perikanan, peternakan dan sebagainya.
Ada beberapa pilar kunci sukses prakarsa itu seperti kewirausahaan, inovasi dan teknologi. Sehingga maklumat PBB terkait strengthening the entrepreneurial ecosystem for cooperatives sangat relevan dalam konteks itu. Resolusi PBB tersebut perlu menjadi perhatian para pembantu Presiden mendatang, tak hanya Menteri Koperasi dan UKM, namun juga Menteri Pertanian, Menteri Perikanan dan Kelautan, Menteri Perdagangan serta Kementerian/ Lembaga lain yang terkait. Terbukti, dulu pada 1984, Indonesia pernah swasembada pangan. Hal itu tercapai salah satunya berkat koperasi yang efektif terlibat dalam budidaya, input pasokan dan juga distribusi. Faktor lain karena kerjasama yang apik lintas kementerian/departemen pada masa itu.
Kedua, pengembangan regulasi yang mendukung pertumbuhan koperasi melalui revisi UU Perkoperasian. Beberapa isu juga selaras dengan maklumat PBB seperti bagaimana meningkatkan akses permodalan koperasi serta daya saing. Seperti diketahui bahwa revisi UU Perkoperasian mendatang salah satunya mengubah ketentuan permodalan koperasi. Di mana karakteristik modal yang baru sangat potensial mengungkit pertumbuhan usaha koperasi.
Dengan ketentuan baru itu, struktur permodalan menjadi lebih stabil dan akseleratif. Pada sisi lain partisipasi anggota dapat meningkat dan aman, sebab kepemilikan modal anggota dapat dialihkan kepada sesama anggota koperasi. Selain itu berbagai pembaruan dilakukan pada postur kelembagaan sehingga koperasi akan lebih tangkas dan berdaya saing dengan tetap memperhatikan identitas dan otonominya. Amanat penting lainnya dalam revisi UU tersebut adalah Pemerintah Pusat dan Daerah dapat menetapkan sektor prioritas untuk kemudian diberikan fasilitasi dan insentif. Insentif tersebut mencakup perpajakan, fiskal dan non fiskal. Termasuk penetapan pencadangan serta pelindungan usaha bagi koperasi.
Ketiga, penyempurnaan ketersediaan dan pemanfaatan data koperasi. Pada RPJMN mendatang terjadi perubahan indikator kinerja pembangunan koperasi. Yakni dari kontribusi ekonomi koperasi terhadap PDB, menjadi rasio volume usaha koperasi terhadap PDB, sebagaimana pada Global Census on Cooperative (PBB, 2014).* (Prio)