Oleh : Djabaruddin
Djohan
Sudah beberapa artikel saya tulis, baik sebagai refleksi dari pengamatan maupun sikap saya terhadap perkembangan koperasi hingga saat ini. Artikel-artikel tersebut ada yang dimuat di koran nasional seperti Koran TEMPO, Harian KOMPAS, dan kebanyakan artikel dimuat di media khusus koperasi yaitu Warta Koperasi.
Menyimak judul-judulnya diantaranya cukup “to the point, seperti Malu Aku Jadi Orang Koperasi, Koperasi Sesat, Dekopin Macan Ompong, Selamat Datang Pengusaha Koperasi, Mimpi Panjang Sebagai Sokoguru Koperasi, Reformasi Koperasi, Nurdin Halid, Apa yang Kau Cari, Mengoreksi Arah Pembangunan Koperasi, Perkembangan Koperasi pada Titik Nadir, Siapa Peduli?, Dicari Juru Selamat Koperasi, dll
Dengan isi tulisan yang sengaja bernada “provokatif”, saya terus terang mengharapkan (atau menantang?) orang-orang gerakan koperasi maupun pejabat koperasi untuk mengoreksi atau meluruskan jika tulisan saya tersebut tidak benar. Tetapi jika tulisan saya ini memang benar adanya, ya nyatakan terus terang, sambil berupaya mencari solusinya.
Namun sungguh ironis, ternyata dari kedua pihak ini (gerakan koperasi dan pejabat koperasi), tak seorangpun yang memberi reaksi atau respon terhadap tulisan tentang kondisi/nasib koperasi, yang seharusnya menjadi fokus perhatian dan profesi mereka. Jika demikian halnya, apakah yang saya tulis itu benar semua, bahwa: arah pembangunan koperasi selama ini tidak benar, bahwa Dekopin belum berfungsi dengan benar, bahwa perkembangan koperasi benar-benar pada titik nadir dan tak seorangpun peduli, sehingga diperlukan juruselamat. Jika demikian halnya, manakah yang dalam keadaan “titik nadir”. Gerakannya atau koperasinya? Atau keduanya?
Selain aktif melalui media tulisan, saya juga aktif di gerakan koperasi, baik sebagai anggota dan pengurus di organisasi koperasi, di organisasi gerakan koperasi (Dekopin), maupun di lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang berkaitan dengan pengembangan koperasi seperti: LSP2I (Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia), FORMASI (Forum Kerjasama Pengembangan Koperasi), ISC (Ibnu Soedjono Center), maupun pada media PIP (Pusat Informasi Perkoperasian).
Keterlibatan saya dalam lembaga-lembaga tersebut, baik sebagai pendiri maupun sebagai pengurus, didasari oleh keinginan untuk ikut serta mengembangkan koperasi secara sehat dan kuat, sesuai dengan visi dan missi dari lembaga-lembaga yang bersangkutan. Pada masanya, kehadiran lembaga-lembaga tersebut, cukup memberi suasana gairah berkoperasi di kalangan gerakan koperasi, meskipun belum banyak memberi dampak positip bagi kinerja koperasi, baik dari segi ekonomi maupun sosialnya.
Pada saat ini lembaga-lembaga yang disebutkan di atas tidak terdengar lagi suaranya. Upaya untuk membangkitkan kembali beberapa lembaga diantaranya, seperti LSP2I atau ISC (sedangkan tentang FORMASI saya tidak tahu kabar beritanya), di tengah kelesuan/kebekuan koperasi pada saat ini berakhir dengan jalan buntu alias mentok. Inilah beberapa pengalaman pribadi saya selama “terlibat” dalam pengembangan koperasi serta dalam ikut serta membangkitkan kembali lembaga-lembaga tersebut, yang sekaligus juga dalam rangka untuk ikut serta “mencairkan” kebekuan pengembangan koperasi pada saat, yang ternyata ibarat “menegakkan benang basah”. Tentu partisipasi saya ini sesuai dengan kapasitas Saya yang terbatas.
1.PIP (Pusat Informasi Perkoperasian).
PIP didirikan oleh para aktivis media koperasi dengan tujuan sebagai pusat informasi tentang berbagai aspek perkoperasian. Tetapi yang dapat dilaksanakan adalah dalam bentuk majalah. Untuk pertamakali terbit Majalah PIP pada April 1981. Pada 1982, secara kelembagaan PIP bergabung dengan Dekopin, meskipun dalam kenyataannya keberadaan PIP bersifat independen, baik dari segi policy maupun pembiayaannya, bahkan juga kantornya berada di luar kantor Dekopin.
Dukungan finansiil pertama-tama datang dari Pak Sularso (Dirluh Ditjenkop, waktu itu), dan kemudian juga dari CCA (Canadian Cooperative Association) –berkat jasa Pak Robby Tulus/Perwakilan CCA di Asia, waktu itu- yang memberikan seperangkat alat komputer, dan juga dari Friederich Ebert Stiftung (FES), yang memberikan bantuan untuk pelatihan dan lokakarya.
Dengan dukungan para pemikir (staf redaksi) seperti Choirul Djamhari, Sutrisno Iwantono, Suharso Monoarfa, Pardjimin Nurzain, Day Hidayat dsb., dan pelaksana seperti Husni Rasyad dan Sardjono serta partisipasi aktif dari perwakilan daerah terutama dari Jawa Barat di bawah pimpinan Wans Ibrahim (almarhum), maka PIP bisa berkembang secara mandiri, yang dapat berlangsung hingga 16 tahun (1981-1996). Pada waktu itu oplah PIP mencapai 10.000 eksemplar.
Pada 1996, secara fisik kantor PIP bergabung dengan kantor Dekopin. Dan sejak itu pula kedudukan saya sebagai pemimpin umum/pemimpin redaksi sejak awal (1981) diberhentikan. Selanjutnya penerbitan PIP di biayai sepenuhnya oleh Dekopin (melalui APBN).
2. LSP2i (Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia).
LSP2I dibentuk oleh sekelompok pemerhati koperasi, baik dari kalangan tua maupun muda seperti Pak Ibnoe Soedjono, Pak Woeryanto, Mas Andi Wahyu Wibisana, Moh Yasid dan saya pada 1997/1998. Sebagai pertimbangannya adalah keprihatinan terhadap kondisi perkoperasian pada saat itu (yang ternyata saat ini lebih parah) seperti: krisis idiologi, krisis kepemimpinan serta sikap pragmatisme yang semakin menonjol, yang singkatnya semuanya ini bertentangan dengan jatidiri koperasi.
Kepengurusan LSP2I ini terdiri dari Pak Ibnoe Soedjono sebagai Ketua, Pak Woeryanto sebagai Bendahara, dan saya sebagai Sekretaris Dalam kurun waktu kepengurusan Pak Ibnoe ini (1998-2006), banyak kegiatan diakukan, baik dalam bentuk seminar, lokakarya, penelitian dsb., baik secara mandiri mauun dengan bekerjasama dengan lembaga-lembaga dalam negeri (INKOPDIT, YAPPIKA) maupun lembaga gerakan koperasi internasional seperti: ICA, CCA, Coop UK, ACCU.
LSP2I juga banyak menerbitkan buku, terutama sebagai hasil seminar/lokakarya yang diselenggarakannya. Kegiatan dan produk-produk-produk LSP2I ini selaian sebagai upaya telaah kritis terhadap kondisi perkoperasian pada saat ini, juga sebagai saran bagi pengembangan koperasi sebara sehat dan kuat.
Ketika Pak Ibnoe meninggal dunia pada 2006, kepengurusannya terdiri dari saya sebagai Ketua, Pak Woeryanto sebagai Bendahara dan Bu Isminarti Tarigan sebagai Sekretaris. Kegiatannya adalah melanjutkan program era Pak Ibnu Soedjono, mengadakan seminar, penerbitan buku dan mendampingi proyek koperasi di Aceh.
Karena sakit, saya mendundurkan diri, sehingga jabatan Ketua dipercayakan kepada generasi muda yaitu, Suroto pada 9 Agustus 2010, disertai dengan daftar inventaris dan kondisi keuangannya. Dibantu oleh generasi muda lainnya, yaity Ilham Nasai, dan Heira Hardiyanti. Pada era kepengurusan Suroto ini (sepengetuan saya) ada beberapa kegiatan, antara lain penerbitan dua buah buku, dan peluncuran buku saya (Wajah Koperasi Indonesia).
Saya tidak tahu sejak kapan, Suroto menyerahkan kepemimpinan LSP2I kepada Ilham Nasai, karena tidak ada dokumen serah terima, apalagi daftar inventaris dan kondisi keuangannya. Juga dalam kepengurusan Ilham ini saya tidak tahu apa yang telah dilakukannya, karena (sepengetahuan saya) tidak ada laporan tertulis, sehingga keberadaan LSP2I antara “ada dan tiada”.
Ternyata tidak mudah mengembalikan “marwah” LSP2i ke masa “keemasannya”, ketika dipimpin oleh Pak Ibnoe, yang sangat disegani oleh kalangan gerakan maupun pejabat koperasi. Pada tanggal 8 April 2016 Ilham, sebagai Ketua LSP2I “mengembalikan mandat Ketua” kepada saya, dengan tugas untuk melakukan reorganisasi.
Dalam rangka melaksanakan tugas ini, melalui beberapa kali rapat di rumah saya, saya telah membentuk tim pelaksana, degan mengangkat seorang Direktur Eksekutif, yang berhasil menyelenggarakan Sarasehan pada 20 Mei 2016, dengan tujuan untuk “membangkitkan kembali LSP2I”. Merasa tugas sudah selesai, kepengurusan LSP2I saya serahkan kembalikan kepada generasai muda pada 30 Mei 2016, yang kembali kepemimpinan di percayakan kepada Ilham sebagai Ketua.
Sayang hingga saat ini, aktivitas dan produk-produk LSP2I apa saja yang dihasilkan bagi pengembangan koperasi tidak dapat kita ketahui dan dengar. Dan upaya untuk membangkitkan kembali LSP2I sebagai lembaga yang kritis dan independenpun, tinggal harapan kosong.
3. ISC (Ibnoe Soedjono Center).
ISC dibentuk pada 5 Maret 2007 melalui beberapa kali pertemuan yang dihadiri oleh para senior koperasi seperti Pak Sularso, Pak Asnawi Hassn, Pak Masngudi, Pak Wagiono Ismangil dsb. Tujuan atau visi dari lembaga ini adalah untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran Pak Ibnoe dalam pembangunan koperasi yang berbasis pada jatidiri koperasi.
Sedangkan kegiatan/misinya adalah melaksanakan visi ISC melalui kegiatan seminar, diskusi dan penerbitan, dalam rangka memberikan sumbangan pikiran bari pengembangan koperasi yang sehat dan kuat.
Kepengurusan ISC terdiri dari Wibisono Wiyono (Ketua), Umar Mappelese (Sekretaris) dan Abat Elias (Bendahara). Sedangkan pembinanya terdiri dari Sularso, Wagiono Ismangil dan Asnawi Hassan. Lembaga ini diresmikan pada 29 November 2007 bersamaan dengan penyelenggaraan Seminar bertajuk “Peranan Ibnoe Soedjono dalam Pembangunan Koperasi”, dan kemudian mendapat pengakuan sebagai Badan Hukum pada 2008.
Dari sekian rencana kegiatan ISC, yang dapat dilaksanakan adalah diskusi-diskusi yang diselenggarakan di Gedung GKBI. Tetapi setelah Mas Umar (Sekretaris) meninggal dunia pada 2013, aktivitas ISC berhenti sama sekali. Baru pada pertengahan 2017 ada tanda-tanda, ISC hendak bangkit kembali. Mas Teguh Boediyana, seorang pejabat Kementerian Koperasi dan UKM menyediakan diri untuk aktif meneruskan kegiatan-kegiatan ISC, Maka dalam rapat 6 Oktober 2017 yang dihadiri oleh sejumlah fungsionaris maupun pemerhati ISC seperti Pak Larso, Pak Asnawi Hassan, Pak Guritno, Mas Wibisono, Mas Himawan Hariyogo, Mas Untung Tri Basuki dsb., maka disepakati Teguh Boediyana ditetapkan sebagai Direktur Eksekutif ISC.
Sepengetahuan
saya, juga telah ditetapkan pengganti Umar Mappelese sebagai Sekretaris ISC ,
yaitu DR. Hanafiah. Setelah itu juga
telah dipresentasikan Strategic Planning,
lengkap dengan filosofi, visi, misi,
tujuan serta program kegiatan seperti : penelitian, sosialisasi jatidiri,
penerbitan buku, serta kerja sama dengan
pemerintah dan organisasi gerakan koperasi tingkat nasional maupun
internasional.
Sayang rencana njlimet yang disusun oleh Dr. Nana Sutisna, seorang aktivis dan konsultan koperasi ini, ya tinggal rencana. Hingga saat ini (sepengetahuan saya) dari sekian banyak rencana belum ada realisasinya. Demikianlah, mentok lagi upaya untuk membangkitkan sebuah lembaga swadaya perkoperasian, yang diharapkan bisa menjadi katalisator bagi kebangkitan kembali koperasi yang sedang beku.
3. Klinik Koperasi
Pendirian Klinik Koperasi merupakan salah satu realisasi dari keputusan Sarasehan LSP2I pada 20 Mei 2016, yang dapat kami realisasikan pada awal 2017. Klinik Koperasi kami motori bertiga, Pak Marsudi Rahardjo, mantan Deputi Kelembagaan Kementerian Koperasi dan UKM, Mas Pardjimin Nurzain, seorang pelatih koperasi berpengalaman dan saya.
Mas Pardjiminlah yang kemudian menyusun isi brosur klinik, yang merupakan lembaga nirlaba yang berfungsi untuk melayani koperasi-koperasi yang menghadapi masalah melalui konsultasi, pendampingan,pelatihan/lokakarya bagi pengurus, pengawas dan karyawan. Sebagai klinik, dalam upaya melayani koperasi-koperasi yang bermasalah klinik bukan saja mendeteksi sebab-sebab terjadinya masalah (diagnose) serta memberikan saran untuk mengatasinya (terapis), tetapi juga memberikan saran untuk pencegahannya (preventif) agar koperasi terhindar dari kegagagalan dan menjadi badan usaha yang sehat, baik organisasi dan usahanya.
Dengan konsep di atas, kami mengadakan pendekatan kepada beberapa koperasi untuk bekerjasama dengan kami dalam upaya untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Kemudian terpilihlah sebuah koperasi masyarakat di Bekasi, KSU Al Muslimun, di mana Pak Marsudi sebagai Penasehatnya. Melalui laporan tahunannya dan wawancara dengan Ketua dan Bendaharanya, kemudian kami lakukan analisis dengan metode SWOT ( kekuatan/strengths),kelemahan /weaknesses, peluang /opportunities, dan ancaman /threats). Dari analisis inilah kemudian kami susun program latihan dan lokakarya untuk selama 2 hari. Program inilah yang kami tawarkan kepada pengurus, yang ternyata tidak mendapat tanggapan positip dari pengurus, terutama ketuanya. Ada kesan kuat, pengurus/ketua tidak ingin melakukan perubahan apapun, dan memilih statusquo entah dengan alasan apa, sehingga menolak (meski tidak disampaikan kepada kami, baik secara lisan ,maupun tertulis).
Selanjutnya kami masih mencoba mengadakan pendekatan kepada beberpa koperasi, yang umumnya koperasi simpan pinjam, yang menurut kami menghadapi masalah, seperti pelayanan yang lebih banyak ditujukan kepada non anggota yang jumlahnya berlipat ganda dibandingkan dengan anggotanya sendiri atau koperasi-koperasi yang banyak menerima investasi dari manapun, anggota maupun non anggota, sementara kepengurusannya (terutama ketuanya) selama puluhan tahun tidak pernah diganti. Tetapi seperti halnya KSU Al Muslimun, pada umumnya KSP-KSP itu “menolak” dengan halus tawaran kami.
Buat mereka, dengan kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan selama ini, meskipun diangap menyimpang, tidak ada teguran sama sekali dari pejabat koperasi, yang berarti “tidak ada masalah”, mengapa harus di perbaiki? Jadilah “mentok” juga usaha kami untuk ikut serta memperbaiki koperasi-koperasi yang menurut kami “bermasalah.
4. Pertemuan Informal.
Sudah lebih dari setahun ini , para senior koperasi secara rutin berkumpul di rumah Pak Asnawi Hassan, Laksamana Pertama yang juga mantan Kepala Puslatpenkop, di Kompleks TNI-AL, Pangkalan Jati, Pondok Labu. Pada awalnya cukup banyak yang datang, selain kami, Pak Asnawi sebagai tuan rumah, juga ada Pak Sularso, Mas Pardjimin dan saya, juga sering hadir, Mas Untung Tri Basuki, Mas Suwandi, Mas Arfian Muslim, dan juga Ilham dari generasi mudanya. Tetapi kemudian yang ajeg datang paling tidak sebulan sekali hanya 4 orang, selain Pak Asnawi, Pak Sularso, Mas Pardjimin dan saya.
Dalam pertemuan rutin ini tidak ada topik pembicaraan yang spesifik, meski materinya tidak pernah lepas dari permasalahan koperasi. Pada umumnya arah pembicaraan bernada kritik terhadap kondisi perkoperasian pada saat ini, baik yang ditujukan kepada gerakan koperasinya maupun kepada kebijakan pemerintah beserta para pejabatnya, yang sepertinya membiarkan saja keadaan seperti pada saat ini”. Di sinilah keluar ungkapan Pak Larso, bahwa koperasi saat ini sudah “beyond help” ( sudah tidak dapat ditolong lagi), atau ungkapan Pak Asnawi, yang menyatakan, bahwa kondisi koperasi saat ini sudah “luput ing cinatur” (sudah tidak layak lagi untuk dibicarakan). Ungkapan kedua tokoh senior koperasi ini, sepintas menunjukkan bahwa keduanya sudah benar-benar “putus asa” terhadap pengembangan koperas pada saat ini. Tapi ironisnya kok masih cukup antusias juga jika bicara tentang koperasi.
Daripada ngomong “ngalor-ngidul” tidak ada ujung pangkalnya, saya pernah mengusulkan “agar kita menyusun Pernyataan tentang kondisi perkoperasian kita pada saat ini dan sekaligus mengusulkan solusinya”, yang ditujukan kepada Dekopin maupun Pemerintah. Atau “kita selenggarakan diskusi terbatas, yang hasil dan rekomendasinya kita sampaikan kepada kedua otoritas koperasi” ini sebagai sumbangan pikiran untuk mengatasi “kebuntuan/kemandegan” pengembangan koperasi pada saat ini.
Tetapi usul saya sama sekali tidak mendapat tanggapan, sehingga pertemuan yang berlangsungpun tetap bernada “ngalor-ngidul”. Terakhir saya mengusulkan, agar kita dapat menerbitkan buku antologi, memuat tulisan ketiga orang dari kami, Pak Sularso, Pak Asnawi dan saya. Usulan ini dengan pertimbangan bahwa ketiga kami adalah sudah biasa menulis tentang masalah perkoperasian, sehingga tulisan-tulisan yang sudah ada dikumpulkan dan diseleksi yang masih relevan dengan kondisi perkoperasian pada saat ini.
Tulisan-tulisan inilah yang saya usulkan untuk dibukukan. Setelah terbit kita selenggarakan “bedah buku”, yang mudah-mudahan bisa menarik perhatian gerakan maupun pejabat pemerintah untuk mengatasi permasalahan koperasi pada saat ini. Tetapi usul saya, yang menurut kesan saya dapat diterima oleh kedua beliau itu, ternyata sebaliknya, diam-diam tidak disetujuinya juga. Ya sekali lagi mentoklah sudah upaya saya untuk ikut serta membangkitkan kembali “kelesuan” pengembangan koperasi, apakah melalui pernyataan, diskusi terbatas atau penerbitan antologi.
Berbagai upaya saya untuk ikut berpartisipasi dalam membangkitkan kembali semangat berkoperasi, apakah melalui tulisan, atau dengan membangkitkan kembali lembaga-lembaga yang pernah saya terlibat di dalamnya, rupanya sia-sia belaka. Menyaksikan kondisi perkembangan koperasi saat ini, yang saya ikuti sejak 1968, berarti lebih dari setengah dari usia saya (80 tahun), rasanya pikiran tidak bisa lepas untuk ikut serta mengatasinya.
Tetapi apa boleh buat, para senior serta para
tokoh koperasi muda yang bergelar doktor saja tidak mampu mengatasinya, apalagi
saya seorang diri. Sehingga karenanya, kadang timbul kebimbangan dalam benak
saya untuk juga menyetujui ungkapan Pak
Larso, bahwa kondisi koperasi kita pada aat ini memang sudah benar-benar “beyond help”, atau ungkapan Pak Asnawi,
bahwa koperasi sudah “luput ing cinatur”.