TARIF RESIPROKAL AMERIKA RUGIKAN EKONOMI DOMESTIK

TARIF RESIPROKAL AMERIKA RUGIKAN EKONOMI DOMESTIK


Oleh: Suroto

Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)


Kesepakatan tarif resiprokal antara Indonesia dan Amerika Serikat, yang menetapkan tarif nol persen untuk produk Amerika masuk ke Indonesia sementara produk ekspor Indonesia ke Amerika dikenai tarif hingga 19 persen, adalah bentuk ketimpangan yang merugikan. Alih-alih mencerminkan hubungan dagang yang setara, kesepakatan ini menunjukkan lemahnya posisi tawar pemerintah dalam melindungi kepentingan nasional dan ekonomi domestik.

Dalam jangka pendek, kebijakan ini akan berdampak langsung pada defisit neraca perdagangan dan neraca pembayaran nasional. Hilangnya potensi penerimaan dari bea masuk—yang seharusnya menjadi salah satu sumber pendapatan negara—akan memperlemah struktur fiskal. Dampaknya bukan hanya pada angka, tapi juga pada fondasi kedaulatan ekonomi kita.

Ambil contoh produk LPG (Liquefied Petroleum Gas). Selama ini, impor LPG dikenai tarif sebesar 4,61 persen. Dengan kebijakan tarif nol persen, negara kehilangan potensi pendapatan dari bea masuk LPG, terutama yang diimpor dari Amerika Serikat. Tidak hanya itu, Indonesia juga berkomitmen meningkatkan porsi suplai LPG dari Amerika, dari semula 54 persen menjadi 85 persen. Bila merujuk pada volume pasokan LPG tahun 2024 sebagai acuan, potensi kehilangan pendapatan negara jelas akan meningkat signifikan.

Lebih jauh lagi, kebijakan ini akan menciptakan ketergantungan struktural terhadap suplai LPG dari Amerika. Alih-alih mendorong kemandirian dan penguatan produksi dalam negeri, kebijakan ini justru melemahkan kapasitas teknis dan insentif bagi pengembangan industri energi nasional.

Kondisi serupa terjadi pada sektor pangan, khususnya kedelai. Indonesia kini mengimpor 83 persen kebutuhan kedelainya dari Amerika Serikat. Dengan penetrasi pasar Amerika yang semakin dalam, kemampuan produksi petani dalam negeri makin tersingkir. Ketergantungan ini tidak hanya merugikan secara ekonomi, tapi juga berisiko terhadap stabilitas dan kedaulatan pangan nasional.

Energi dan pangan bukan sekadar komoditas ekonomi. Keduanya adalah sektor strategis yang berkaitan langsung dengan hajat hidup rakyat. Karena itu, keduanya seharusnya dijaga dan diusahakan secara mandiri oleh negara. Pengenaan tarif dagang semestinya menjadi alat utama untuk melindungi sektor-sektor ini dari serbuan produk luar negeri, serta mendorong peningkatan kapasitas produksi dalam negeri.

Jika ingin menggunakan kebijakan tarif nol persen, idealnya diterapkan pada impor barang modal—terutama yang mendukung pengembangan sektor pangan dan energi nasional. Barang-barang seperti mesin pertanian, teknologi pengolahan hasil pangan, atau perangkat energi terbarukan justru layak dibebaskan dari tarif. Untuk itu, pemerintah bahkan perlu mempertimbangkan insentif fiskal yang besar dan terarah pada sektor-sektor strategis tersebut.

Ukuran kedaulatan ekonomi suatu bangsa adalah kemampuannya untuk mencapai surplus di sektor pangan dan energi. Karena itu, kesepakatan tarif resiprokal dengan Amerika Serikat yang justru memberikan keuntungan besar bagi mereka, sementara kita mengalami kerugian besar, adalah kegagalan diplomasi dagang yang mencolok. Istilah “resiprokal” menjadi tidak relevan jika hubungan dagang tidak saling menguntungkan.

Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa perlindungan terhadap ekonomi domestik bukan berarti anti-perdagangan bebas. Ini soal keberpihakan pada rakyat, pada petani, pada pelaku usaha lokal, dan pada kedaulatan bangsa sendiri.(*)

Sumber : https://wartakoperasi.net/tarif-resiprokal-amerika-rugikan-ekonomi-domestik-detail-458860