Sabtu (14/11) esok, Indonesia Micro Finance Expert Association (IMFEA) menghelat Webinar bertema "Tantangan SDM Kompeten bagi LKM". Hadir sebagai narasumber Agus Rachmadi (Direktur BRI Microfinance Center), Ellis Takari (Manajer Sertifikasi LSP PI), dan Agustini (Manajer Mutu LSP - Dosen STIE GICI). Acara dipandu oleh Dr. Ahmad Subagyo.
Dalam pengantarnya, Ahmad Subagyo yang juga Ketua IMFEA mengemukakan, bbanyak perusahaan Indonesia tidak akan berperan dalam pertumbuhan negara hingga perusahaan-perusahaan tersebut dapat merekrut, mengembangkan dan mempertahankan orang yang tepat. Dalam survei terkini yang dilakukan oleh Boston Consulting Group dan the World Federation of People Management Associations, eksekutif senior menyatakan mengelola karyawan bertalenta dan mengembangkan kepemimpinan adalah dua hal yang menjadi isu penting di Indonesia. Manajemen tingkat menengah adalah titik yang krusial. Pada 2020, Indonesia akan mengalami kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan manajer menengah sebesar 40-60%.
Perusahaan di Indonesia menghadapi isu kuantitas dan kualitas SDM yang bertalenta di semua level dalam organisasi. Saat ini Indonesia kekurangan tenaga terampil menengah sebesar 20%. Pada tahun 2020, perusahaan-perusahaan besar tidak akan mampu untuk memenuhi kebutuhan posisi entry-level dengan kandidat yang berkualitas baik. 55% pekerjaan di Indonesia akan bersifat administratif atau manajerial, dibandingkan dengan saat ini yang sebesar 36%. Indonesia belum mampu menghasilkan lulusan perguruan tinggi berkualitas untuk memenuhi posisi tersebut
Perekonomian Indonesia di dukung oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang sangat tinggi dengan permintaan layanan keuangan yang besar. Masalah utama UKM Indonesia adalah kurangnya akses ke Lembaga keuangan formal. Inklusi keuangan di Indonesia baru mencapai 49% sesuai dengan survei Findex (2018).
Indonesia memiliki lanskap keuangan mikro yang beragam namun terfragmentasi. Secara khusus, Indonesia memiliki lebih dari 140.000 Lembaga Keuangan Mikro (LKM) mulai dari lembaga formal, semi formal hingga lembaga informal. Mereka semua menyediakan layanan keuangan mikro dan dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok utama:
a. Kurang lebih 80.000 koperasi keuangan (KSP/USP) dengan 22 juta anggota, yang diatur oleh Undang-Undang Koperasi No. 25 tahun 1992, di bawah pengawasan Kementerian Koperasi dan UKM dan pemerintah daerah.
b. Lebih dari 60.000 lembaga keuangan mikro (LKM), yang beroperasi di bawah pengawasan UU No. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan OJK. Namun yang terdaftar di OJK baru 215 unit. Mereka memerlukan penguatan dalam bidang pengembangan SDM, baik sebagai pengawas, pengurus maupun pengelola.
Bagi kalangan koperasi, persoalan SDM menduduki posisi penting dalam hampir semua sektor usaha. Dengan jumlah lebih dari 100 ribu unit koperasi yang eksis di Indonesia, sedikit saja koperasi yang sukses berkat SDM unggul. Di luar manajemen dan skill bisnis, SDM koperasi-koperasi di Indonesia menghadapi tantangan berat. Termasuk trend milenial yang cenderung kurang antusias menekuni koperasi.
Peneliti koperasi yang juga Komisaris Daerah Gabungan Koperasi Pegawai RI Provinsi Kalimantan Selatan HM Yahya mengemukakan, SDM koperasi belum mampu sepenuhnya menghadapi tantangan bisnis yang terus berubah. "Kalangan Koperasi Pegawai RI termasuk beruntung dikaruniai SDM berkualitas yang melimpah dan berkesinambungan. PR besarnya adalah bagaimana bisnis koperasi sukses dan sejajar dengan bisnis lain non koperasi," papar Yahya.
Pegiat koperasi milenial Firdaus Putra mengemukakan, SDM koperasi harus diperbanyak dari kalangan muda dan segar. Ini akan mendekatkan koperasi pada kalangan milenial yang akan jadi penerus organisasi dan bisnis koperasi. "Riset ICCI terhadap 1200 responden, salah satunya menyebutkan persepsi kerumitan dalam mendirikan koperasi. Ini tantangan bagi koperasi untuk berinovasi, pra maupun pasca pendirian koperasi. Orang muda perlu ditarik untuk menekuni koperasi agar SDM koperasi terjaga dan sesuai perkembangan jaman," imbuh Firdaus.
Pegiat Koperasi Dewi Hutabarat menilai, koperasi memang harus relevan dengan praktik-praktik yang berkembang dari kondisi realita yang ada. "Di Eropa dan Asia, masing masing mengembangkan praktek berkoperasi dengan karakter yang berbeda sesuai kondisi sosial ekonomi dan politik masing-masing," papar Dewi. "Koperasi tidak bisa dilihat sebagai konsep statik ideal, apalagi seakan bisa menjadi 'panasea" untuk segala macam penyakit ekonomi".
(PRIONO)