TANTANGAN REGULASI & IMPLIKASI BISNIS DALAM PENERAPAN INNOVATIVE CREDIT SCORING BAGI PELAKU KEUANGAN MIKRO

TANTANGAN REGULASI & IMPLIKASI BISNIS DALAM PENERAPAN INNOVATIVE CREDIT SCORING BAGI PELAKU KEUANGAN MIKRO


Oleh Prof. Dr. H. Ahmad Subagyo


Innovative Credit Scoring (ICS) muncul sebagai solusi inovatif untuk mengatasi keterbatasan sistem penilaian kredit konvensional, terutama dalam melayani segmen masyarakat yang selama ini kurang terlayani oleh lembaga keuangan formal.

Bagi pelaku keuangan mikro di Indonesia, seperti koperasi simpan pinjam (KSP), koperasi simpan pinjam dan pembiayaan syariah (KSPPS), serta lembaga keuangan mikro (LKM), ICS menawarkan potensi besar untuk meningkatkan inklusi keuangan dan efisiensi operasional.

Secara tradisional, lembaga keuangan mikro menghadapi tantangan dalam menilai kelayakan kredit calon nasabah mereka, terutama yang berasal dari sektor informal atau tidak memiliki riwayat kredit formal.

Metode penilaian kredit konvensional yang mengandalkan data keuangan formal dan agunan fisik seringkali tidak sesuai dengan karakteristik nasabah lembaga keuangan mikro. ICS hadir sebagai alternatif dengan memanfaatkan teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (AI) dan pembelajaran mesin (machine learning) untuk menganalisis berbagai sumber data non-tradisional dalam menilai kelayakan kredit calon peminjam.

Peluang Perluas Jangkauan Layanan

Dari perspektif bisnis, penerapan ICS dapat membuka peluang besar bagi lembaga keuangan mikro untuk memperluas jangkauan layanan mereka. Dengan memanfaatkan data alternatif seperti riwayat pembayaran utilitas, pola penggunaan ponsel, aktivitas media sosial, dan perilaku daring, lembaga keuangan mikro dapat memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang profil risiko calon peminjam.

Hal ini memungkinkan mereka untuk menjangkau dan melayani segmen pasar yang lebih luas, termasuk mereka yang sebelumnya dianggap "tidak bankable".

Selain itu, ICS juga menawarkan proses penilaian kredit yang lebih cepat dan efisien. Bagi lembaga keuangan mikro yang seringkali memiliki keterbatasan sumber daya, efisiensi ini sangat berharga.

Penggunaan teknologi AI dan machine learning memungkinkan analisis data dalam jumlah besar dilakukan dalam hitungan detik, sehingga keputusan kredit dapat diambil dengan lebih cepat. Hal ini tidak hanya menguntungkan calon peminjam yang membutuhkan dana segera, tetapi juga meningkatkan efisiensi operasional lembaga keuangan mikro.

Penerapan ICS juga dapat membantu lembaga keuangan mikro dalam mengelola risiko kredit dengan lebih baik. Dengan analisis yang lebih komprehensif dan akurat, lembaga-lembaga ini dapat membuat keputusan pemberian kredit yang lebih tepat, sehingga berpotensi mengurangi tingkat kredit macet. Hal ini sangat penting mengingat kesehatan keuangan lembaga keuangan mikro sangat bergantung pada kualitas portofolio kredit mereka.

Tantangan Sektor Regulasi

Namun, dari sisi regulasi, penerapan ICS di sektor keuangan mikro Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan. Saat ini, belum ada regulasi khusus yang secara spesifik mengatur penerapan ICS di lembaga keuangan mikro. Meskipun demikian, beberapa regulasi terkait dapat menjadi acuan dalam penerapan ICS.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 3 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan menjadi landasan penting bagi pengembangan ICS di Indonesia. Meskipun tidak secara eksplisit mengatur ICS, regulasi ini membuka peluang bagi inovasi teknologi di sektor keuangan, termasuk dalam penilaian kredit. POJK ini mengatur tentang Sandbox regulatori, yang memungkinkan pelaku industri untuk menguji inovasi mereka dalam lingkungan yang terkendali sebelum diluncurkan secara luas.

Bagi lembaga keuangan mikro yang ingin menerapkan ICS, mereka dapat mengajukan permohonan untuk mengikuti Sandbox sesuai dengan ketentuan dalam POJK tersebut. Hal ini memberikan kesempatan bagi lembaga keuangan mikro untuk menguji model ICS mereka dalam skala terbatas dan mendapatkan umpan balik dari regulator sebelum penerapan secara penuh.

Selain itu, POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi juga relevan dalam konteks penerapan ICS di lembaga keuangan mikro. Meskipun regulasi ini lebih fokus pada fintech lending, prinsip-prinsip yang diatur di dalamnya, seperti manajemen risiko dan perlindungan konsumen, juga dapat diterapkan dalam pengembangan ICS di lembaga keuangan mikro.

Aspek perlindungan data pribadi juga menjadi perhatian penting dalam penerapan ICS. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, lembaga keuangan mikro yang menerapkan ICS harus memastikan bahwa penggunaan data alternatif dalam penilaian kredit sesuai dengan ketentuan undang-undang tersebut. Hal ini mencakup aspek persetujuan pengguna, keamanan data, dan transparansi dalam penggunaan data.

Tantangan regulasi lainnya adalah terkait dengan standarisasi dan validasi model ICS. Saat ini, belum ada standar baku yang ditetapkan oleh regulator mengenai kriteria dan metodologi yang digunakan dalam ICS. Hal ini dapat menimbulkan risiko bias dan diskriminasi dalam penilaian kredit jika tidak diatur dengan baik.

Untuk mengatasi tantangan regulasi ini, diperlukan kolaborasi yang erat antara regulator, lembaga keuangan mikro, dan penyedia teknologi ICS. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator utama sektor keuangan dapat mempertimbangkan untuk menerbitkan pedoman atau regulasi khusus terkait penerapan ICS di lembaga keuangan mikro. Pedoman tersebut dapat mencakup aspek-aspek seperti standar minimum keamanan data, metodologi penilaian yang dapat diterima, dan mekanisme pengawasan.

Selain itu, lembaga keuangan mikro yang ingin menerapkan ICS juga perlu memperhatikan regulasi sektoral yang berlaku. Misalnya, bagi koperasi simpan pinjam, mereka harus tetap mematuhi Peraturan Menteri Koperasi dan UKM tentang pelaksanaan kegiatan usaha simpan pinjam. Integrasi ICS ke dalam operasional koperasi harus dilakukan dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip koperasi dan ketentuan yang berlaku.

Dalam konteks syariah, penerapan ICS di KSPPS atau LKM Syariah juga harus memperhatikan aspek kepatuhan syariah. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dapat berperan dalam memberikan fatwa atau panduan terkait penerapan ICS yang sesuai dengan prinsip syariah.

Meskipun menghadapi tantangan regulasi, potensi manfaat dari penerapan ICS bagi lembaga keuangan mikro di Indonesia sangat besar. Dengan meningkatkan akurasi penilaian kredit, ICS dapat membantu lembaga-lembaga ini memperluas jangkauan layanan mereka tanpa meningkatkan risiko secara signifikan. Hal ini sejalan dengan misi utama lembaga keuangan mikro dalam meningkatkan inklusi keuangan dan mendukung pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Ke depan, pengembangan kerangka regulasi yang komprehensif untuk ICS di sektor keuangan mikro akan menjadi kunci dalam memaksimalkan potensi teknologi ini. Regulasi yang tepat harus mampu menyeimbangkan antara dorongan inovasi dan perlindungan konsumen, serta memastikan integritas sistem keuangan. Dengan pendekatan regulasi yang tepat, ICS dapat menjadi katalis penting dalam mentransformasi lanskap keuangan mikro di Indonesia, membuka akses keuangan yang lebih luas, dan pada akhirnya mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif di tingkat akar rumput.(*)

Sumber : https://wartakoperasi.net/tantangan-regulasi-amp-implikasi-bisnis-dalam-penerapan-innovative-credit-scoring-bagi-pelaku-keuangan-mikro-detail-455110