Oleh : Ir. Zaenal Arifin, MSc. (alumni Arhuss University Denmark)
Fungsional Perencana Madya pada Bappeda Provinsi Jambi yang juga sebagai praktisi koperasi.Email. zaenalarifin.0308@gmail.com
Artikel ini mengelaborasi pengalaman Denmark dalam mengelola lahan berbasis koperasi. Salah satu negara dengan level kesejahteraan tertinggi dalam berbagai aspek, termasuk koperasinya.
Denmark merupakan salah satu negara di benua Eropa yang berhasil mengelola sumberdaya alamnya untuk kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan Laporan World Happiness Report tahun 2019, yang dilakukan oleh Sustainable Development Solution Network untuk PBB, telah merilis daftar Negara paling bahagia di dunia.
Indeks kebahagiaan ini diraih masing-masing Negara, melalui beberapa indikator penilaian. Diantaranya a) pendapatan perkapita, b) dukungan sosial dari Negara, c) usia harapan hidup, d) kebebasan menentukan pilihan hidup, e) kemuarahan hati/kedermawanan dan f) indeks persepsi korupsi. Berdasarkan hal tersebut telah dirilis 10 negara paling bahagia yaitu 1) Finlandia, skor 7,7. 2) Denmark, skor 7,6. 3) Norwegia, skor 7,5. 4) Islandia, skor 7,49. 5) Belanda, skor 7,48. 6) Swiss skor 7,47. 7) Swedia, skor 7,34. 8) Selandia Baru, 7,3. 9) Kanada, skor 7,27. 10) Austria, skor 7,24.
Apa yang mendorong Denmark menjadi Negara urutan ke 2 paling bahaya di dunia? Ternyata faktor yang mendorong tingkat kebahagiaan penduduknya yaitu karena Denmark memiliki tradisi panjang untuk mensejahterakan penduduknya melalui produksi dan perdagangan yang dikelola koperasi dalam skala besar. Perkumpulan koperasi yang paling terkenal saat ini termasuk koperasi pertanian Dansk Landbrugs Grovvareselskab (DLG), produsen susu Arla Foods dan koperasi eceran Coop Danmark . Coop Danmark dimulai sebagai "Fællesforeningen for Danmarks Brugsforeninger" (FDB) pada tahun 1896 dan sekarang memiliki sekitar 1,4 juta anggota di Denmark pada 2017. Ini adalah bagian dari koperasi multi-sektor yang lebih besar Coop Amba yang memiliki 1,7 juta anggota di di tahun yang sama.
Bisakah Lahan di Indonesia dikelola oleh petani melalui koperasi, seperti di Denmark?
Mari kita melihat kembali pasal 33 ayat 1 dan ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945.
Ayat 1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan
Ayat 3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
Berdasarkan Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945, maka lembaga perekonomian yang sesuai
dengan maksud ayat tersebut yaitu koperasi. Sedangkan berdasarkan Pasal 33 Ayat 3 , sangat memungkinkan jika lahan negara yang dikuasi oleh pemerintah dibagikan kepada para petani (dengan sistem Hak Guna Usaha). Selama ini di Indonesia lahan yang dikuasai oleh Negara hampir semuanya diserahkan HGUnya kepada perusahaan besar, sementara di Denmark diserahkan kepada Koperasi Petani.
Tidak mengherankan jika petani di Denmark yang mengelola lahan hingga 60 hektar, mendapatkan penghasilan bersih (jika kurskan dengan rupiah) antara Rp 30 juta hingga Rp 50 juta/bulan.
Sedangkan di Indonesia (khusunya di Pulau Jawa) kepemilikan lahan dibawah 0,5 hektar. Di pedesaan sebagian besar para petani kita hanya sebagai buruh tani, yang mengerjakan pembajakan lahan. penyemaian dan pemanen). Bisa dibayangkan berapa penghasilan buruh tani di Indonesia, yang tentunya di bawah upah minimum regional.
Peluang Pemanfaatan Areal Perhutanan Sosial
Sebagaimana diketahui Perhutanan Sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak / hutan adat oleh masyarakat sekitar hutan atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk tujuan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya demi mewujudkan Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Rakyat, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan.
Kegiatan dalam program ini sifatnya legal bagi masyarakat yang turut serta dalam mengelola hutan dan memperoleh manfaat ekonomi. Perhutanan sosial menepis anggapan masyarakat mengenai sulitnya memanfaatkan kawasan hutan di sekitar mereka.
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meluncurkan suatu program peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelestarian hutan melalui program perhutanan sosial., Diharapkan melalui program perhutanan sosial ini, pembangunan pemerintah tidak hanya tertuju pada kawasan perkotaan, tetapi juga mengarah ke masyarakat yang tinggal di pinggiran atau sekitar hutan.
Tujuan Perhutanan Sosial
Tujuan dari porgram ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui proses pemberdayaan dengen berpegang pada aspek kelestarian hutan. Adapun acuan hukumnya berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 tahun 2016, program perhutanan sosial memiliki tujuan memberi pedoman akan pemberian hak pengelolaan, perizinan, kemitraan dan hutan adat. Selain itu, program dari pemerintah ini juga bertujuan sebagai solusi atas permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat sekitar hutan dalam memanfaatkan hutan untuk kesejahteraan dan pelestarian melalui prinsip keadilan, keberlanjutan, kapasitas hukum, partisipatif, dan bertanggung jawab.
Reforma Agraria dalam konteks Perhutanan Sosial
Pemerintah menyediakan lahan yang cukup untuk dapat dikelola oleh koperasi melalui program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial. Selain itu, koperasi dapat diberikan hak milik atas lahan ataupun izin pengelolaan selama 35 tahun atas kawasan hutan. Tak hanya itu, Pemerintah juga menyediakan akses permodalan, pasar, serta keterampilan yang diperlukan.
Sumber lahan Reforma Agraria berasal dari tanah-tanah eks-HGU (Hak Guna Usaha) atau HGU yang tidak diperpanjang, tanah terlantar, lahan transmigrasi, serta kawasan hutan yang dilepaskan untuk Reforma Agraria. Sementara lahan Perhutanan Sosial seluruhnya bersumber dari kawasan hutan yang dicadangkan untuk masyarakat sekitar hutan.
Reforma Agraria dan perhutanan sosial ada dalam kebijakan pemerataan ekonomi. Kebijakan ini untuk mendukung perbaikan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan. Satu koperasi dapat mengelola sekurang-kurangnya satu klaster. Dengan sistem klaster, lahan dikelola secara berkelompok dengan satu jenis komoditas unggulan tertentu, misalnya sengon dan jagung. Dengan sistem ini, usaha tani diharapkan dapat memiliki daya saing, mencapai skala ekonomi, dan produktivitas yang cukup.
Perlunya Hadirnya Wadah Koperasi
Untuk meningkatkan kesejahteraan petani pengelola perhutanan sosial tersebut, diperlukan wadah koperasi yang mampu mengelola unit usaha dalam skala bisnis sehingga menjadi pusat pertumbuhan ekonomi rakyat. Selama ini pengelolaan kawasan hutan hanya diberikan kepada perusahaan skala besar dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU). Pemberian lahan perhutanan sosial kepada masyarakat ini merupakan program Pemerintah agar taraf hidup masyarakat di sekitar kawasan hutan meningkat dan lebih sejahtera.
Program perhutanan sosial dirancang untuk memberi rasa aman dalam mengelola lahan negara. Setiap kepala keluarga mendapatkan 2 hektare lahan dengan durasi selama 35 tahun. Walaupun memang di lapangan belum jalan sempurna, tapi percepatan harus terus dilakukan, agar koperasi bisa berkembang dan maju layaknya korporasi. Oleh karena itu diharapkan kelompok masyarakat pengelola hutan sosial di Indonesia agar berkoperasi, guna memiliki daya saing untuk masuk ke global value chain (rantai pasok global)
Akses masyarakat kepada lahan akan memunculkan kekuatan-kekuatan ekonomi di masyarakat, dengan tumbuhnya koperasi-koperasi petani, perkebunan, nelayan, dan sebagainya, sebagai pusat ekonomi baru di masyarakat. Harus diakui saat ini struktur ekonomi Indonesia kurang berkeadilan. Oleh karena itu, harus ada transformasi ekonomi. Akses kepada lahan itu untuk memperbaiki struktur ekonomi yang berkeadilan. Oleh karena itu dibutuhkan adanya sinergitas dan kerjasama antar kementerian dan antar level pemerintahan, guna melahirkan ekonomi masyarakat yang adil dan sejahtera
Pengembangan hutan sosial akan memiliki dampak yang tinggi terhadap masyarakat terpencil, petani, hingga lingkungan yang terjaga, terutama terjaga dari bahaya kebakaran lahan dan hutan, yang hampir terjadi saat musim kemarau.Sehingga pada gilirannya Perhutanan sosial diharapkan dapat mengurangi terjadinya konplik lahan, serta memperkuat pertumbuhan ekonomi desa. Program ini pada akhirnya mampu menciptakan SDM Indonesia yang unggul dan sebagai wahana Indonesia maju.
Pengamatan di Lapangan
Berdasarkan kunjungan ke lokasi petani pada salah satu wilayah di Region Arhuss Denmark (saat penulis menempuh studi di Arhus University Denmark), serta berdialog dengan salah seorang Parmer Adviser (Penasihat petani) di Indonesia disebut PPL(Penyuluh Pertaian Lapangan). Berbeda dengan di Indonesia, PPL di Denmark bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang digaji Pemerintah, melainkan salah seorang petani yang memiliki ilmu dan pengalaman di bidang pertanian, yang ditunjuk oleh Koperasi petani setempat. Sehingga Parmer Adviser di Denmark mendapatkan insentif bukan dari pemerintah, melainkan dari koperasi petani,
Berdasarkan informasi dari Farmer Adviser diketahui bahwa rata-rata petani di Denmark mengelola (bukan memiliki) lahan seluas 60 hertar. Total luas lahan pertanian di Denmak mencapai 2,64 juta hektar. Para petani disini umumnya bercocok tanaman gandum. Seluruh petani di Denmark, menjadi anggota koperasi. Dengan alasan karena koperasi selain berperan melindungi mereka, juga memberikan konsultasi teknologi pertanian serta membantu menjual dan mengekspor hasil pertanian mereka ke luar negeri.
Para petani petani di Denmark mengerjakan proses pengolahan lahannya dengan luas sekitar 60 hektar secara sendirian. Mengapa bisa seperti itu? Karena mereka sudah menerapkan mekanisasi, semua pekerjaan pengolahan lahan dilakukan dengan alat/mesin pembajak tanah dan mesin-mesin lainnya.
Sehingga tidak mengherankan jika setiap petani memiliki gudang penyimpanan alat mekanisasi pertanian, seperti mesin traktor, zonder, mesin pemanen, Fork lift, dan lainnya. Bagaimana mereka bisa memilki yang yang cukup mahal tersebut ? ternyata mereka bisa membeli alat tersebut secara mencicil dari koperasi mereka.(*/PR)