Oleh : Munaldus Teras Narang
(Founder CU Keling Kumang dan Tokoh CU Nasional)
Pernahkah Anda berjalan di kampung Dayak yang masih menyimpan tembawang tua? Di sana, durian, langsat, cempedak, sibau, melany’an, kemantan dan rambutan tumbuh berdampingan tanpa saling berebut sinar matahari. Setiap pohon tahu waktunya sendiri untuk berbuah. Tidak tergesa, tidak serakah. Begitulah cara alam bekerja — dan begitulah cara orang tua kita dulu berpikir tentang masa depan.
Mereka tidak menanam untuk hari ini. Mereka menanam untuk cucu. Bahkan, untuk cucu yang belum lahir. Tidak ada yang bertanya, “Berapa hasilnya tahun ini?” Karena mereka tahu, tembawang bukan proyek tahunan. Ia proyek kehidupan.
Saya teringat pada gerakan Credit Union yang mulai memekarkan diri ke koperasi sektor riil. Orang-orang menyebutnya “spin-out”. Tapi sebenarnya, ini bukan hal baru. Ini hanya versi modern dari tembawang leluhur kita. Kalau Credit Union ibarat pohon durian tunggal, maka koperasi hasil spin-out adalah tembawang baru — penuh pohon buah dari berbagai jenis.
Satu pohon durian mungkin bisa membuat orang satu kampung berebut ketika musim tiba. Tapi kalau ada langsat, manggis, dan cempedak di sekitarnya, semua bisa kenyang tanpa saling sikut. Begitulah logika sederhana yang dilupakan ekonomi modern. Semua ingin jadi durian, tak ada yang mau jadi cempedak.
Gerakan Koperasi Keling Kumang tampaknya paham betul filosofi ini. Mereka tidak puas hanya dengan satu pohon. Mereka menanam banyak. Ada koperasi konsumsi, koperasi produksi, koperasi pendidikan, koperasi hotel, koperasi wisata. Semuanya dari akar yang sama. Sama-sama tumbuh dari semangat gotong royong, swadaya, solidaritas, dan pendidikan.
Kalau saya boleh bilang, ini bukan sekadar strategi bisnis. Ini strategi bertahan hidup. Karena kalau kita hanya bergantung pada satu jenis usaha, begitu badai datang — habis semua. Tapi kalau punya tembawang, kalau durian gagal berbuah, langsat bisa jadi penolong. Kalau pertanian lesu, mungkin pariwisata bangkit. Kalau koperasi hotel sedang sepi, mungkin koperasi mart justru ramai.
Kearifan lokal kita ini luar biasa. Cuma sayangnya, sering dianggap kuno. Padahal, rumah betang Dayak, misalnya, sudah punya sistem manajemen yang lebih canggih dari banyak korporasi modern. Di rumah betang, semua orang hidup bersama dalam harmoni. Ada aturan, tapi juga ada kebebasan. Ada kepemimpinan, tapi juga ada musyawarah. Tuai rumah tidak berkuasa atas orang lain. Ia menjaga keseimbangan.
Coba bandingkan dengan banyak perusahaan hari ini. Bosnya ingin dipuja, tapi tak mau mendengar. Padahal di rumah betang, suara setiap penghuni penting. Konflik tidak dihindari, tapi diselesaikan bersama. Ada mekanisme sosial yang membuat semua tetap seimbang. Ini manajemen komunitas yang berakar pada nilai, bukan pada target angka semata.
Gerakan koperasi kita, seharusnya belajar dari situ. Spin-out bukan berarti pecah kongsi. Ia justru memperluas keluarga. Seperti rumah betang yang bisa menampung lebih banyak keluarga di bawah satu atap. Selama masih ada nilai yang sama, rumah itu tidak akan roboh. Asal tuai rumahnya bijak, semua bisa berjalan damai.
Tapi tantangan hari ini berbeda. Dunia semakin cepat, serba instan. Orang ingin kaya besok. Tidak sabar menunggu pohon berbuah. Kalau bisa, hari ini menanam, besok sudah dijual di e-commerce. Tapi tembawang tak bisa begitu. Ia butuh waktu. Butuh kesetiaan. Butuh kepercayaan antar-generasi.
Saya khawatir, banyak yang lupa dengan filosofi ini. Mereka ingin hasil cepat dari koperasi, tapi tidak mau ikut menanam. Mereka ingin CU besar, tapi tak mau berkontribusi. Padahal, semangat koperasi bukan soal siapa yang untung, tapi siapa yang peduli.
Saya pernah melihat satu tembawang tua di Sekadau. Pemiliknya sudah meninggal puluhan tahun lalu. Tapi pohonnya masih berbuah setiap musim. Anak cucunya masih memetik buahnya dengan syukur. Tidak ada papan nama di sana, tapi setiap orang tahu siapa yang menanam. Itulah warisan sejati — tidak perlu prasasti.
Gerakan koperasi seharusnya begitu. Tidak perlu pamer, tidak perlu pencitraan. Cukup bekerja dengan tenang, menanam nilai, memelihara akar, dan membiarkan buahnya dinikmati orang banyak. Kalau kita mau belajar dari tembawang, kita akan tahu: yang penting bukan cepat, tapi berkelanjutan.
Spin-out juga bukan berarti melepaskan diri dari Credit Union. Ia seperti anak yang membangun rumah baru, tapi masih sering pulang ke rumah orang tua. Ada kemandirian, tapi juga ada ikatan. Kuncinya satu: saling percaya. Kalau rumah baru itu tumbuh dengan nilai yang sama, seluruh keluarga akan bangga.
Di Kalimantan Barat, Gerakan Keling Kumang sudah membuktikan. Mereka membangun koperasi sektor riil yang tidak sekadar mencari untung, tapi memperkuat ekonomi rakyat. Mereka menciptakan ekosistem, bukan sekadar institusi. Masing-masing koperasi seperti pohon yang saling memberi naungan. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih penting. Semua tumbuh bersama.
Tentu saja, tidak mudah menjaga agar tembawang itu tetap lestari. Akan selalu ada godaan untuk menebang demi kayu cepat dijual. Akan selalu ada ego pribadi yang ingin menjadi raja kecil. Tapi di sinilah pentingnya nilai-nilai rumah betang. Semua harus diatur oleh kearifan, bukan kekuasaan. Semua keputusan harus melalui musyawarah, bukan bisikan kepentingan.
Dan jika satu hari nanti, tembawang ekonomi ini benar-benar rimbun, kita bisa berkata kepada dunia: lihatlah, beginilah cara kami hidup. Kami tidak meniru kapitalisme atau sosialisme. Kami hanya meniru orang tua kami sendiri — yang dulu menanam tembawang dengan iman dan harapan.
Karena sejatinya, gerakan koperasi bukan soal menyaingi siapa, tapi soal menyambung kehidupan. Bukan tentang siapa yang paling kaya, tapi siapa yang paling berakar. Kalau dunia korporasi sibuk mencari profit, kita sibuk mencari makna.
Maka, jika Anda hari ini bekerja di koperasi, anggaplah diri Anda sedang menanam pohon di tembawang. Mungkin Anda tidak akan sempat makan buahnya. Tapi percayalah, anak cucu Anda akan duduk di bawah rindangnya. Mereka akan berterima kasih — bukan karena Anda kaya, tapi karena Anda menanam.
Itulah makna spin-out yang sejati. Bukan sekadar pemekaran organisasi, tapi kelanjutan kehidupan. Seperti tembawang, ia tumbuh pelan tapi pasti. Tak lekang oleh waktu. Dan ketika musim buah tiba, semua bisa menikmati tanpa harus berebut.***