Oleh : Suroto
Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis ( AKSES) dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat ( INKUR), Penulis Buku " Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme"
Selama ini kita dikooptasi dalam satu pemikiran bahwa rakyat itu hanyalah sebagai obyek pembangunan. Termasuk dalam konteks peranan rakyat banyak dalam soal pembangunan ekonomi. Peranan aktif partisipatoris dari rakyat banyak diabaikan, dan mereka hanya ditempatkan sebagai obyek pembangunan, bukan sebagai subyek pembangunan.
Di perusahaan BUMN ( Badan Usaha Milik Negara) misalnya, selama ini seluruh keputusan dari perusahaan ini mutlak ada di tangan Presiden yang dijalankan oleh Menteri. BUMN adalah Badan Usaha Milik Negara. Negara ini adalah milik rakyat. Tapi selama ini rakyat hanya pihak yang jadi obyek dari kebijakan perusahaan BUMN.
Keputusan penentuan target keuntungan BUMN misalnya, rakyat bukan mendapatkan manfaat maksimal tapi justru dicekik lehernya untuk meraih keuntungan sebesar besarnya dari Perusahaan BUMN tersebut. Padahal sistem ekonomi kita menurut Konstitusi adalah sistem demokrasi, bukan sistem komunisme atau sistem kapitalisme.
Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 jelas dan terang benderang sebut bahwa sistem kita adalah demokrasi. Disebut secara letter lijk(jelas dan tegas) bahwa kedaulatan (kekuasaan) itu ada di tangan rakyat. Artinya kita menganut sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Bukan dari, oleh, dan untuk pemerintah dan pemilik modal besar.
Sistem politik demokrasi adalah sistem dimana kita memilih orang yang kita (rakyat) perintah. Bukan kita diperintah oleh orang yang kita pilih. Pemerintah itu adalah pengurus, kita perintah mereka untuk mengurus urusan kita dengan sebaik baiknya. Bukan sebaliknya, justru jadikan kita budak pelanggengan kekuasaan mereka untuk menguasai kita. Inilah makna demokrasi sejati itu.
Bunyi dari pasal 33 ayat 4 jelas dan terang, bahwa asas dari penyelenggaraan ekonomi kita adalah demokrasi ekonomi. Demokrasi ekonomi itu adalah suatu sistem yang menjamin bagi setiap warga negara itu turut berpartisipasi dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi.
Keterlibatan ini tentu memiliki makna yang sungguh sungguh jika rakyat terlibat dalam turut kendalikan aktifitas dan kebijakan ekonomi. Secara aksiomatik, juga terang benderang bahwa tidak ada sesuatu yang dapat kita kendalikan jika kita tidak terlibat dalam kepemilikan.
Untuk itulah kepemilikan saham BUMN oleh rakyat secara langsung sebagai pemegang kekuasaan negara ini sangat penting artinya. Supaya rakyat dapat mengendalikanya secara riil. Turut menentukan masa depan perusahaan, menikmati keuntungan atau setidaknya manfaatnya, turut mengendalikan dalam urusan pengambilan kebijakan seperti misalnya pembubaran, merger (penggabungan) dan bahkan dalam tentukan siapa komisaris dari perusahaan.
Selama ini, kebijakan penentuan target keuntungan BUMN misalnya, semua ditentukan oleh Presiden secara multlak, siapa komisarisnya ditentukan oleh presiden secara otoriter, semua yang terkait dengan kebijakan perusahaan sesungguhnya ada di tangan Presiden, dilaksanakan Menteri dan dioperasionalkan oleh Komisaris dan Direksi.
Ketika keuntungan tinggi ditentukan Presiden, sebut saja misalnya untuk tarif listrik, telekomunikasi, tarif pesawat, tarif kereta api, bunga bank, dan lain lain dari perusahaan BUMN maka rakyat tentu rakyat yang dalam posisi sebagai korban dari komersialisasi perusahaan BUMN. Jika kita sepakat negara adalah milik rakyat, dan rakyat adalah pemilik perusahaan negara, maka keuntungan yang ditarget dari BUMN itu adalah ibarat seutas tali yang kita kenakan di leher kita sendiri, dan kita gunakan untuk mencekik leher sendiri.
Dalam penentuan kebijakan pengangkatan komisaris misalnya, semua menjadi hak istimewa Presiden. Jadi, jangan heran dan sudah menjadi rahasia umum bahwa siapa yang memberikan dukungan bagi pemenangan Presiden di Pemilu itu banyak yang mendapatkan jatah sebagai pejabat komisaris BUMN. Pengangkatanya bukan didasarkan pada basis kompetensi tapi basis politik kepentingan kekuasaan.
Dalam kebijakan gelontorkan subsidi, modal penyertaan, dana penempatan ke perusahaan BUMN dari uang pajak kita, rakyat, juga secara sepihak ditentukan oleh Presiden. Termasuk kebijakan pembubaran, merger, dilusi (pengurangan saham), dan lain lain. Semua ada di tangan mutlak kuasa Presiden.
Tahun 2019, kita masih punya 191 perusahaan BUMN. Saat ini tinggal 46. Telah terjadi pembubaran sebanyak 145 BUMN hanya dalam 4 tahun terakhir telah dibubarkan Presiden cq. Menteri BUMN. Inipun saham saham perusahaan BUMN yang sudah go public atau didaftarkan di Bursa Saham banyak yang telah dimiliki asing. Sebut saja misalnya saham Bank BRI, dari 47 persen saham publiknya, 90 persen lebih sudah dimiliki asing.
Ini artinya perusahaan BRI yang jadikan kita rakyat Indonesia sebagai obyek pengerukan keuntungan Bank ini, keuntungannya justru dinikmati oleh asing. Bahkan keuntungan itu didapat misalnya dari subsidi bunga yang uangnya berasal dari pajak rakyat. Sebut misalnya puluhan trilyun setiap tahun dana subsidi kredit program semacam KUR (Kredit Usaha Rakyat) yang dicantumkan di Nota Keuangan subsidi non-energi.
Kenapa perusahaan BUMN itu bekerja dengan sistem tata kelola seperti itu?. Semua itu karena UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN kita itu sudah tidak lagi jalankan fungsinya sebagai agen pembangunan, tapi jadi lembaga pengejar keuntungan (profit oriented). Pasal yang mengenai tujuan pengejaran keuntungan itu bahkan disebut secara redundant (berulang) hingga 4 kali di pasal yang berbeda. Lalu otoritas kekuasaan BUMN itu sepenuhnya berada di tangan Presiden dan dijalankan Menteri.
BUMN kita lepas dari kendali rakyat banyak. Kekuasaan rakyat tidak hadir dalam kebijakan BUMN karena rakyat sesungguhnya dalam praktik telah kehilangan kepemilikan dan beralih ke tangan pemerintah dan elit kaya.
Apapun dalilnya, ketika kita bicarakan BUMN maka dasarnya adalah konstitusi kita. Disebut bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat. Asas penyelenggaraan ekonomi kita adalah demokrasi ekonomi. Jadi menurut saya, saatnya saham BUMN dikembalikan ke tangan rakyat. Presiden, Menteri, Komisaris dan direksi adalah hanya sebagai pembantu kita untuk mengurus asset strategis BUMN milik kita, bukan malah jadi penguasa. Mau diberikan secara langsung atau dibuah badan hukumnya jadi koperasi itu soalnya teknisnya. Intinya rakyat harus punya kuasa atas BUMN.