RUU PPSK DAN PENGAWASAN KOPERASI

RUU PPSK DAN PENGAWASAN KOPERASI

img-1670629747.jpg

Oleh : Suroto

Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR Federation)


Rancangan Undang Undang Omnibus Law Penguatan Dan Pengembangan Sektor Keuangan ( RUU PPSK) mendapat penolakan  kalangan koperasi di tanah air. Pasalnya, di RUU tersebut dianggap terlalu mencampuri urusan internal koperasi dengan berikan kewenangan pengawasan kepada Otoritas Jasa Keuangan ( OJK).

Sementara itu, pengawasan sektor keuangan koperasi dianggap oleh Pemerintah dan Parlemen penting untuk dimasukkan di RUU PPSK karena akhir-akhir ini memang banyak koperasi gagal bayar dan merugikan masyarakat.

Setidaknya, dari 8 koperasi bermasalah yang ditangani Kemenkop dan UKM saat ini telah menyebabkan potensi kerugian uang hingga 26 trilyun rupiah dari ratusan ribu anggotanya ( Kemenkop dan UKM, 2022).  

Masifnya kasus gagal bayar yang terjadi memang layak untuk mendapatkan perhatian. Selain karena alasan produk hukum positif perkoperasian yang ada dianggap  sudah tidak layak  lagi untuk menjamin tumbuh kembangnya koperasi yang baik oleh banyak kalangan.

Perlakuan Diskriminatif

Munculnya kasus KSP gagal bayar tentu tidak lepas dari tidak adanya lembaga penjamin simpanan bagi anggota koperasi. Lembaga Penjamin Simpanan ( LPS) yang keberadaanya sangat penting untuk memperkuat kelembagaan KSP dan berfungsi untuk memitigasi  KSP gagal bayar memang tidak dibentuk pemerintah seperti halnya untuk perbankkan umum seperti yang selama ini terjadi.

KSP kita juga  tak hanya nihil dalam mendapatkan fasilitas penjaminan kredit, namun juga nihil dalam mendapatkan fasilitas kebijakan istimewa seperti yang didapatkan perbankan umum selama ini. Sebut saja misalnya subsidi bunga dan subsidi imbal jasa penjaminan, modal penyertaan, dana penempatan, bahkan talangan (baliout) bagi bank umum ketika hadapi krisis.

Anehnya, di RUU yang bertujuan memitigasi resiko dan memperkuat sektor keuangan tersebut hanya memberikan insentif lebih banyak untuk korporasi perbankan dan asuransi komersial, tapi tidak untuk koperasi ( RUU PPSK Bagian Ketiga, pasal 3A dan Pasal 4).

Sebaliknya, prinsip utama koperasi seperti otonomi dan demokrasi yang terbukti jadi kekuatan dan daya tahan lembaga keuangan koperasi di seluruh dunia justru dikooptasi ( Pasal 191, 298-305). 

Dalam RUU tersebut, OJK diberikan kewenangan interventif melebihi forum rapat anggota koperasi yang merupakan pemegang kedaulatan tertinggi di koperasi dan bahkan masuk turut menentukan mekanisme tata kelola koperasi lebih dalam lagi.

Koperasi Simpan Pinjam (KSP) di tanah air jika dibandingkan assetnya dengan asset perbankkan komersial memang masih sangat kecil. Dari keseluruhan assetnya hanya Rp 101 trilyun  atau hanya 1 persen dari total nilai asset perbankkan komersial sebesar Rp 10.112 trilyun (OJK, Desember 2021),  namun jika koperasi diperlakukan sama tentu bukan tidak mungkin akan tumbuh dengan baik.

Sikap diskriminatif terhadap koperasi sebagai badan hukum ficta persona tersebut secara tidak langsung tentu menjadi pisau tajam bank umum komersial untuk membunuh KSP.

Daya Tahan Koperasi

Dilaporkan International Cooperative Bank Association (ICBA) tahun 2020, sebuah komite di bawah gerakan koperasi dunia International Cooperative Alliance (ICA), ada 18.500 koperasi di sektor keuangan, dengan anggota sebagai pemiliknya sebanyak 272 juta orang di lebih dari 100 negara.

Menurut laporan hasil riset Euricse ( Desember, 2022) dilaporkan bahwa dari 300 koperasi besar dunia itu justru didominasi oleh sektor koperasi keuangan baik itu asuransi dan perbankan. Walaupun secara putaran bisnis lebih banyak didominasi sektor pertanian.

Koperasi di sektor keuangan tersebut misalnya koperasi Desjardins Group di Canada, Groupe Credit Agricole di Perancis, Rabbobank di Belanda, Raiffisien bank Internasional (RBI) di Austria untuk sektor perbankkan. Kemudian Koperasi asuransi seperti State Farm di Amerika Serikat, Zenkroyen di Jepang, AP Pension di Denmark, NTUC Income di Singapura.

Mereka telah berkembang menjadi bank dan asuransi terbaik di negaranya dan sebagian ekspansi ke negara lain. Dimana tak satupun koperasi kita masuk di dalam 300 koperasi besar dunia tersebut.

Di sektor keuangan, koperasi di banyak negara  berkontribusi cukup signifikan. Berkontribusi terhadap 33 persen total deposito seluruh lembaga keuangan di Belanda, dan 40 persen di Perancis. 

Di Canada, negara kampiun koperasi sektor keuangan ini memiliki tingkat penetrasi pangsa pasar tertinggi hingga 10 juta anggota atau 1 dari 2 orang dengan asset 4.800 trilyun rupiah dan pekerja hingga 60.000 orang.  Di Amerika Serikat dengan anggota 112 juta orang dan asset  Rp10.500 trilyun.

Menurut International Labour Organization (ILO, 2018), koperasi sektor keuangan ketika hadapi krisis pada tahun 2008 terbukti memiliki resilensi yang lebih kuat dibandingkan dengan bank dan memiliki rating gagal bayar lebih rendah 5 kali lipat  dibandingkan dengan bank komersial di Eropa.

Di Amerika Serikat bahkan saat krisis terjadi justru menjadi penyelamatan usaha kecil dan menengah karena justru menunjukkan peningkatan pinjaman secara ganda (double lending) dari 30 persen jadi 60 persen. Mereka juga memiliki tingkat kepercayaan hingga 60 persen ketimbang bank konvensional yang hanya 30 persen.

Di Jerman tempat koperasi keuangan lahir pertama secara pangsa pasar kuasai 74 persen pangsa pasar sektor keuangan disana. Mereka walaupun juga sebagai pembayar pajak selama 90 tahun terbukti tidak pernah menerima dana talangan dari negara (bailout) sebagaimana didapatkan oleh bank komersial.

Kunci keberhasilan koperasi simpan pinjam atau bank koperasi di seluruh dunia  adalah karena kepemilikannya oleh nasabahnya, demokrasi satu orang satu suara, otonomi dalam tata kelola, pengembalian keuntungan kepada anggotanya (patronage refund) dan lain sebagainya. Selain keunggulan penting lainya yang turut melibatkan anggota dalam pengawasan dan juga pengambilan keputusan strategis koperasi dan juga karena kesempatan bagi setiap anggotanya untuk memiliki peluang yang setara untuk diangkat sebagai pengurus ataupun di manajemen sesuai dengan kompetensinya. 

KSP pertama yang dikembangkan oleh Frederick Welheim Raiffisien, walikota Flammesfeild, di Jerman pada tahun 1848 silam itu tetap dapat bertahan  hingga saat ini karena perbedaan nyata tersebut.

Pembelajaran

Keberadaan koperasi bermasalah tentu tidak dapat begitu saja dijadikan justifikasi untuk pihak eksternal lakukan aksi polisional dan kooptasi di luar otoritas lembaga koperasi sendiri. Koperasi  dapat berjalan dengan baik dan dapat diandalkan karena nilai dan prinsipnya sebagai dasar membangun sistem organisasi yang mengatur diri sendiri (self-regulated organization) justru direkognisi dalam regulasi, diberikan distingsi serta perlindungan yang di dalamnya menyangkut prinsip otonomi dan mekanisme kerja demokrasinya. 

Kita dapat belajar dari pengalaman kecil dari praktek Koperasi Kredit (Credit Union) di Indonesia. Saat  krisis tahun 1997 ternyata suku bunga deposito bank umum komersial yang puncaknya pernah mencapai 62 persen tidak menggoyahkan anggotanya untuk melakukan aksi penarikan uang besar besaran (rush ) dari anggotanya dan berbodong memindahkan uang mereka ke bank komersial. Bahkan secara statistik volume kekayaan dan juga pertambahan anggotanya mengalami lompatan yang cukup signifikan (www.cucoindo.org). Ini artinya koperasi sejati memiliki mekanisme kerja untuk selesaikan masalahnya sendiri.

Belajar dari praktek terbaik pengaturan lembaga keuangan koperasi yang beroperasi di negara lain, pemerintah ternyata hanya akan diperkenankan untuk mengendalikan melalui jaringan supervisi federasinya atau sekunder koperasi mereka yang didirikan oleh jaringan koperasi sendiri. Inilah makna dari otonomi tersebut dan untuk seluruh resiko dan keputusan tersebut ditentukan oleh koperasi sendiri.

Kemudian ketika aktifitas supervisi ditarik kedalam sistem pengawasan umum perbankkan, itu hanya berlaku jika koperasi bersepakat secara sengaja mendirikan bank untuk tujuan sebagai pengatur pintu likuiditas ke bank sentral dan juga mencari sumber pendanaan  di pasar modal.  Hal mana  tetap ditetapkan peraturan eksepsi yang intinya tetap menghormati prinsip prinsip otonomi dan demokrasi koperasi.

KSP memang perlu pengawasan ketat, namun juga kuat dalam menegakkan prinsip prinsip koperasi. Koperasi butuh lembaga pengawasan yang berwibawa dan namun tidak dapat mengikuti apa yang diterapkan ke dalam rezim perbankkan umum, melainkan oleh lembaga pengawasan tersendiri.

Kooptasi dan intervensi terhadap otonomi dan demokrasi koperasi juga jelas bertentangan dengan konstitusi kita yang menganut ssitem demokrasi ekonomi.  Dimana koperasi dianggap sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan demokrasi.

Memang, dalam praktek perkoperasian di Indonesia, banyak KSP berbadan hukum koperasi namun beroperasi seperti halnya lembaga keuangan perbankkan,  bahkan sebagai rentenir berbaju koperasi. Koperasi yang seperti inilah yang telah merusak citra koperasi selama ini dan biasanya berpotensi bermasalah. Kepada koperasi semacam ini sebaiknya bukan untuk diawasi, justru baiknya disuruh berubah menjadi bank umum atau kalau tidak mau dibubarkan.

Isi dari draft RUU tersebut secara keseluruhan dapat dikatakan banyak yang tidak relevan dengan persoalan fundamental yang sedang dihadapi koperasi di tanah air dan juga bagi pembangunan koperasi secara keberlanjutan. Banyak pasal pasal yang secara substansial justru melemahkan koperasi secara struktural. Selain hal penting soal prosesnya yang ternyata tidak melibatkan pelaku koperasi (*/pr)


Sumber : https://wartakoperasi.net/ruu-ppsk-dan-pengawasan-koperasi-detail-445809