Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkoperasian memasuki tahap harmonisasi dan ditargetkan selesai tahun ini. Hal itu dikemukakan Deputi Bidang Perkoperasian Kemeterian Koperasi dan UKM Ahmad Zabadi, melalui rilis media, akhir April lalu. “Arahan Presiden, yakni perlunya membangun ekosistem kelembagaan koperasi yang lebih kuat, yang di dalam RUU ini kita rumuskan adanya Otoritas OPK (Otoritas Pengawas Koperasi), LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) koperasi, APEX koperasi, komite penyehataan koperasi, hingga dalam rangka pelindungan juga kita terapkan sanksi pidana, yang perumusannya sesuai KUHP yang berlaku sekarang,” kata Deputi Ahmad Zabadi saat mengikuti Rapat Pleno Harmonisasi RUU Perkoperasian secara virtual melalui video conference, Jumat (28/04).
Dalam tahapan harmonisasi, dilakukan pembahasan pasal per pasal, melibatkan entitas gerakan koperasi, para ahli dan akademisi. Dikemukakan Ahmad Zabadi, RUU Perkoperasian diharapkan selesai tepat waktu, sehingga pada triwulan 2 tahun 2023 dapat dilakukan pembahasan dengan Komisi VI DPR RI, dan dapat segera disahkan tahun ini juga. Sejak Juli 2022, pihaknya telah melakukan serap aspirasi hingga Forum Group Discussion dengan melibatkan tidak kurang dari 5.000 orang.
Pemerintah memang berkepentingan agar UU Perkoperasian baru pengganti UU No 25 Tahun 1992 segera terbit. Hal ini menyusul kasus-kasus penyimpangan yang melibatkan sejumlah koperasi simpan pinjam dan menyebabkan timbulnya kerugian bernilai triliunan rupiah yang diderita masyarakat.
“Arah pengaturan RUU Perkoperasian ini ingin
memberikan playing field setara dengan pelaku usaha lain, lebih dari itu
koperasi juga diberi kesempatan berusaha di seluruh lapangan usaha dan juga
diberikan pelindungan terhadap anggota, masyarakat, bahkan badan hukum koperasi
sendiri,” imbuh Ahmad Zabadi.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Asep Nana Mulyana mengatakan, Indonesia perlu melakukan reformasi perkoperasian dengan pembaruan regulasi untuk menyesuaikan anatomi kelembagaan koperasi agar lebih adaptif, dengan perkembangan zaman untuk mendukung pengembangan koperasi kedepan. Dalam konteks ini RUU Perkoperasian diharapkan bisa melindungi anggota yang terlibat dan juga masyarakat luas dalam kehidupan sehari – hari.
“Melindungi anggota dan koperasi sebagai badan hukum. Perlu kita lihat bersama bagaimana citra KSP yang dalam beberapa waktu belakangan ini dikesankan sering merugikan masyarakat, dan ternyata kerap disalahgunakan oleh oknum tertentu yang menggunakan baju koperasi,” ujar Asep.
Melindungi masyarakat dan anggota koperasi dari praktek kejahatan keuangan yang melibatkan koperasi, menjadi pekerjaan rumah otoritas keuangan dan perkoperasian Indonesia. "Pemerintah memang tidak boleh terkesan diam atas kasus-kasus (kejahatan keuangan) yang melibatkan koperasi. Ada aturan yang tegas, sekaligus tindakan hukum yang terukur. Tanpa iti, maka kasus-kasus serupa potensial akan terulang di waktu lain," papar Burhan Faisal, praktisi Kopsyah BMT, Lampung, kepada Warta Koperasi (2/5). Burhan menambahkan, upaya pencegahan juga perlu diprioritaskan terlebih dahulu di kalangan koperasi.
Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki regulasi yang mampu menjalankan fungsi penangkal terjadinya praktik kejahatan keuangan berkedok koperasi. Akademisi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Emi Nurmayanti berharap RUU Perkoperasian yang baru mampu menjadi tameng untuk menangkal aksi kejahatan kerah putih tersebut. "Di komunitas koperasi ada istilah Pengusaha Koperasi. Banyak koperasi, khususnya KSP, yang melayani non anggota. Bahkan, ada KSP yang memiliki 10 ribu nasabah, tapi hanya 200 orang saja yang menjadi anggota koperasi. "Ini salah satu celah untuk praktik pencucian uang," papar Emi memberi ilustrasi.
Banyaknya praktek menyimpang, papar Emi, salah satunya adalah karena lemahnya pengawasandan ketiadaan aturan yang tegas dalam hal penindakan "Baru di RUU Perkoperasian yang baru ini sudah mulai dibahas tentang pengawasan, hingga sanksi pidana," kata Emi.
Kolega Emi di IPB, Dr Yeti Lis Purnamadewi, juga berharap RUU Perkoperasian dapat membantu menyelesaikan maraknya kejahatan keuangan, hingga mampu mampu menjamin keamanan KSP. "Koperasi memang menjadi wadah empuk untuk melakukan pencucian uang," kata Yeti. Karena itu, Yeti menyarankan aturan untuk pendirian koperasi bukan lagi dilihat dari jumlah anggota, tapi harus tercapai dari skala ekonominya. (*)